NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Mengacu pada Undang-Undang Sistem Jaminan Sosial Nasional (UU SJSN) dan UU Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS), sebenarnya seluruh pekerja wajib ikut jaminan sosial (kesehatan maupun ketenagakerjaan), tetapi bila mengacu pada regulasi operasional seperti Peraturan Presiden (Perpres) dan Peraturan Pemerintah (PP) yang ada, maka Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU) belum diwajibkan untuk ikut saat ini, berbeda dengan Pekerja Penerima Upah (PPU) yang sudah ada kewajiban untuk ikut dengan tenggat waktu tertentu.
“Kalau PPU wajib ikut BPJS Kesehatan paling lambat 1 januari 2015 (Perpres Nomor 111 Tahun 2013) dan wajib ikut 4 program per 1 juli 2015 (PP Nomor 44 Tahun 2015, PP Nomor 45 Tahun 2015 dan PP Nomor 46 Tahun 2015 jo PP 60),” ungkap Koordinator Advokasi BPJS Watch, Timboel Siregar, kepada Nusantaranews, Jakarta, Jum’at (7/4/2017).
Memang untuk kesehatan, Timboel mengatakan, PBPU sebenarnya diwajibkan paling lambat 1 januari 2019 (Perpres Nomor 19 Tahun 2016), namun untuk BPJS Ketenagakerjaan belum ada regulasi yang secara eksplisit menyebutkan tentang tenggat waktu kepesertaan wajib PBPU tersebut.
“Ini yang menurut saya pemerintah relatif lalai terhadap nasib kepesertaan PBPU di BPJS Ketenagakerjaan. Fakta ini yang menyebabkan kepesertaan PBPU di BPJS ketenagakerjaan masih sangat rendah sekitar 500 ribuan peserta. Dengan fakta struktur ketenagakerjaan kita yang didominasi oleh PBPU, maka seharusnya pemerintah lebih concern terhadap nasib PBPU untuk mendapatkan jaminan sosial. Selain itu PBPU juga merupakan kelompok pekerja yang memiliki resiko kecelakaan kerja yang tinggi,” ujarnya.
Menurut Timboel, jika PBPU tidak ikut BPJS Kesehatan bisa dikenakan sanksi tidak mendapat pelayanan publik, kenapa tidak PBPU di BPJS Ketenagakerjaan juga dikenakan sanksi yang sama pada tenggat waktu tertentu.
“Menurut saya urgensi kesehatan dan JKK JKm dan JHT relatif sama, sehingga pemerintah harus fokus meregulasikan juga tenggat waktu kepesertaan wajib PBPU di BPJS Ketenagakerjaan,” katanya.
Timboel menuturkan, seharusnya pemerintah memberikan tenggat waktu juga bagi PBPU di BPJS Ketenagakerjaan, tentunya bisa diakomodir melalui revisi PP Nomor 44, 45 dan 46 jo. 60. Misalnya pertama kali untuk pekerja yang memiliki unsur upah dan pekerjaan (ada unsur kemitraan) seperti pengemudi Go Jek, Uber, dan sebagainya, serta untuk selanjutnya PBPU lainnya.
“Saya kira ini menjadi salah satu PR (Pekerjaan Rumah) penting bagi pemerintah, bila pemerintah memang patuh pada UU SJSN dan UU BPJS,” ungkapnya tegas.
Sambil menunggu regulasi tersebut ada, lanjut Timboel, saat ini memang Pemerintah dan BPJS Ketenagakerjaan harus pro aktif dan massif mensosialisasikan 3 program jaminan sosial yaitu JKK JKm dan JHT ke PBPU. Anggaran sebesar Rp738 miliar di RKAT 2017 BPJS Ketenagakerjaan diharapkan bisa digunakan secara maksimal untuk sosialisasi dan penyuluhan 3 program tersebut ke PBPU. Bagaimana caranya PBPU memahami isi Permenaker Nomor 1 tahun 2016 sehingga Kepesertaan PBPU di BPJS Ketenagakerjaan meningkat signifikan, itulah tugas utama pemerintah dan BPJS Ketenagakerjaan tahun ini.
“Untuk PPU di BPJS Ketenagakerjaan saat ini saya kira tidak terlalu penting untuk sosialisasi, tetapi yang penting adalah lakukan penegakkan hukum saja. Memang anggaran follow up penegakkan hukum di RKAT 2017 relatif kecil hanya Rp7,19 miliar, seharusnya bisa ditingkatkan via amandemen RKAT 2017,” ujarnya.
Di samping itu, Timboel menyampaikan, pemerintah dalam hal ini Kmendagri juga harus pro aktif mendukung PBPU di daerah agar ikut BPJS Ketenagakerjaan. Peran Pemda sangat penting dalam hal ini. Bila Kemendagri menyatakan JKN sebagai Program Strategis Nasional (UU Nomor 23 Tahun 2014), maka seharusnya Kemendagri juga menyatakan program JKK JKm dan JHT termasuk pensiun masuk kategorial Program Strategis Nasional sehingga seluruh Pemda di 514 kabupaten/kota dan 34 provinsi berkewajiban meningkatkam kepesertaan JKK JKm dan JHT serta Pensiun bagi PPU dan PBPU di BPJS Ketenagakerjaan. Untuk di awal, Pemda bisa mendorong PBPU yang punya relasi mitra untuk segera ikut BPJS Ketenagakerjaan.
“Selain itu Kemendagri juga bisa mendorong pemda kabupaten/kota serta provinsi mengalokasikan APBD-nya untuk mendukung JKK dan JKm bagi PBPU yang masuk kategorial miskin seperti nelayan, buruh tani, pedagang asongan, dan sebagainya. APBD mengalokasikan dana untuk membiayai iuran JKK JKm untuk PBPU kelompok itu,” katanya menambahkan. (DM)
Editor: Achmad Sulaiman