NUSANTARANEWS.CO – Ketua Umum Hipmi, Bahlil Lahadalia mengatakan sudah saatnya KPPU dikuatkan perannya dalam penyelenggaraan praktik usaha yang sehat di Tanah Air. Sebab, praktik konglomerasi di Tanah Air juga malah memperkuat dugaan monopoli yang kian massif. Hal ini disebabkan usaha-usaha besar menguasai praktik usaha dari hulu sampai hilir. Hal ini sangat berbeda dengan industri dan usaha besar di Jepang dan negara-negara maju. Industri besar di sana selalu ditopang oleh UMKM-UMKM yang ikut memasok dan menjadi mata rantai usaha di negera-negara itu.
“Tidak usah jauh-jauh, lihat saja perusahaan-perusahaan Jepang di Cikarang sana. Di sekelilingnya langsung tumbuh UKM-UKM bonafide, pemiliknya beda-beda. Mereka kompak menjadi pemasok. Kalau di Indonesia, konglomerasi dan industri dikuasai dari A sampai Z,” ujar Bahlil dalam siaran persnya, Sabtu (25/3/2017).
Sebagaimana diketahui, sebagian pelaku usaha besar berencana mengajukan uji materi (judicial Review) atas Undang-Undang (UU) No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat ke Mahkamah Konstitusi (MK). Para pengusaha kakap ini mempermasalahkan tugas Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) yang terlalu besar seperti tercantum dalam pasal 35 di UU tersebut. Tugas KPPU yang digugat pengusaha antara lain meliputi penilaian terhadap perjanjian dan kegiatan usaha atau tindakan pelaku usaha yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.
Selain itu, ada juga kewenangan KPPU untuk melakukan penilaian terhadap ada atau tidaknya penyalahgunaan posisi dominan yang mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. Juga tugas KPPU untuk mengambil tindakan sesuai wewenangnya, memberikan saran dan pertimbangan terhadap kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan praktik monopoli, hingga menyusun pedoman dan atau publikasi yang berkaitan dengan UU tentang Larangan Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
Revisi UU No. 5 Tahun 2009 saat ini memang masuk dalam program legislasi nasional (Prolegnas) prioritas tahun 2017. Namun, pembahasan draf revisi beleid itu hingga kini belum final. Dalam draf revisi yang disusun oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan dibahas di tingkat panitia kerja, ada beberapa poin revisi. Antara lain, peningkatan sanksi bagi pelaku usaha yang terbukti monopoli berupa denda 5 persen-30 persen dari hasil penjualan. Saat ini denda berlaku hanya maksimal 30 persen.
Penulis: Eriec Dieda