NUSANTARANEWS.CO – Seiring dengan kemajuan tehnologi informasi yang makin pesat, modus korupsi yang dilakukan elit pejabat-pun di daerah makin beragam. Salah satunya adalah rekayasa dana CSR menjadi dana Hibah yang dimasukan sebagai sumber pendapatan daerah.
Demikian ungkap Ketua FPPD Sulawesi Tengah (Sulteng), Eko Arianto, melalui keterangan tertulisnya di Jakarta yang diterima, Selasa (13/12/2016).
“Praktek ini terjadi di Pemerintah Propinsi Sulawesi Tengah ketika menerima dana CSR (Coorporate Social Responsibility) dari PT. Vale, tbk sebesar Rp. 11,7 miliar pada Kamis (14/1/2016). Direktur PT Vale Nikolas D. Karter secara tegas menyebutkan bahwa dana Rp. 11,7 miliar adalah bagian dari program CSR atau tanggungjawab sosial perusahaan untuk membantu masyarakat Sulteng dan telah dicanangkan sejak tahun 2015 (data website resmi pemerintah propinsi sulteng: www.sultengprov.go.id),” papar Eko.
Akan tetapi, lanjutnya, berdasar pada MoU yang dilakukan oleh pemerintah propinsi Sulawesi Tengah dengan PT. Vale, tbk tertanggal 14 januari 2016 telah merubah dana CSR yang menjadi tanggung jawab PT. Vale kepada masyarakat Sulawesi tengah tersebut menjadi dana hibah.
“Berdasar pada MoU tersebut, Pemprov Sulteng kemudian mengelola secara langsung dana CSR Rp. 11,7 miliar dengan menggunakan dasar hukum “dana hibah” dan menjadikannya sebagai pendapatan daerah dari sektor lain lain yang kemudian memasukkan dana tersebut kedalam APBD Perubahan tahun 2016. Tindakan Pemprov yang kemudian diamini oleh DPRD Sulteng dalam merubah status dana CSR menjadi dana Hibah jelas bertentangan dengan spirit UU No 40/2007 tentang Perseroan Terbatas, UU No 19/2003 tentang BUMN, UU Pemerintahan Daerah, PP No 58/2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, dll,” jelan Eko.
Eko menyampaikan, perubahan status dana CSR menjadi dana Hibah dengan dalih untuk mendukung pembangunan jelas sarat dengan kepentingan politik dan mengarah pada tindak pidana korupsi. Dana CSR merupakan kewajiban perusahaan terhadap sosial dan lingkungan yang sudah diatur undang undang dan dana CSR tersebut dikelola perusahaan dan diberikan langsung kepada masyarakat, tidak diperbolehkan siapapun termasuk Pemerintahan mengelola dana sendiri dengan dalih apapun.
“Jika pengelolaan keuangan daerah semacam ini terus dipelihara, maka apa bedanya Pemprov Sulteng dengan debt colletor yang melakukan pungutan dengan dalih dana hibah untuk pembangunan? Pengelolaan keuangan semacam ini praktis dapat mengganggu iklim investasi dan pembangunan,” kata Eko tegas.
Tragisnya, eko melajutkan, adalah ada unsur pemaksaan dari Gubernur Sulteng Longky Djanggola untuk merubah dana CSR ke dalam dana Hibah. Gubernur Sulteng Longky Djanggola juga berperan aktif dan menjadi aktor utama dalam mendorong perubahan dana CSR tersebut.
“Patut diduga bahwa pemaksaan yang dilakukan Gubernur Sulteng ada hidden agenda menggunakan/merampok dana CSR PT. Vale untuk kepentingan pribadi dan kelompoknya. Faktanya adalah dana CSR dari PT. Vale kemudian dilekatkan pada 14 SKPD dan Biro Pemrov Sulteng dengan dalih untuk pembangunan. Perampokan dana CSR yang dilakukan secara terselubung bersifat massif dan sistematis dengan melibatkan semua unsur birokrat di Pemprov Sulteng praktis berpotensi terjadinya tindak pidana korupsi yang merugikan negara,” terangnya lebih lanjut.
Berdasar pada hal tersebut diatas, tegas Eko lagi, Front Pemuda Peduli Daerah (FPPD) Sulawesi Tengah, pertama Mendesak kepada Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia untuk segera melakukan Audit investigasi terkait dana CSR dari Pt Vale yang diberikan kepada Pemprov Sulteng dalam bentuk dana Hibah, karena bertentangan dengan Undang undang yang ada dan berpotensi terjadinya tindak pidana korupsi.
“Kedua, mendesak KPK untuk segera memeriksa para Pihak (Gubernur Sulteng Longky Djanggola dan DPRD) terkait perubahan status dana CSR ke Dana Hibah yang dimasukan kedalam APBD Perubahan 2016. Dan Ketiga, mendesak kepada KPK untuk memeriksa Gubernur Sulteng Longky Djanggola yang memiliki peran aktif dalam mendorong perubahan dana CSR ke dalam dana Hibah dari PT vale,” kata Eko menandaskan. (ed: red-02)