OpiniPolitikTerbaru

TRILOGI PRIBUMISME

Trilogi Pribumisme
Trilogi Pribumisme
Trilogi Pribumisme mula-mula digunakan dalam referensi ilmiah ketika diterbitkannya buku berjudul TRILOGI PRIBUMISME: Resolusi Konflik Pribumi dengan Non Pribumi di Berbagai Belahan Dunia, tahun 2018 di Jakarta setebal 480 halaman.
Oleh: M.D. La Ode

 

Trilogi Pribumisme terdiri 2 (dua) kata Trilogi dan Pribumisme. Trilogi berasal dari dua bahasa Jawa dan Yunani. Tri berarti “tiga” dari bahasa Jawa; logos berarti “ilmu” dari bahasa Yunani. Trilogi berarti “tiga ilmu pengetahuan”. Pribumisme berasal dari dua bahasa Melayu dan Yunani. Pribumi berarti “orang asli/setempat” pada suatu negara, berasal dari bahasa Melayu. Sedangkan “Isme” berarti “paham” berasal dari bahasa Yunani.  Atas penjelasan arti kata dasar itu, teori Trilogi Pribumisme didefinisikan sebagai tiga paham tentang awal mula terjadinya negara di muka Bumi oleh sekelompok orang asli/setempat. Dengan demikian maka Trilogi Pribumisme merupakan referensi baru dalam Ilmu Politik sejak kelahirannya 161 tahun silam (1858-2019). Pada mana, tahun 1858 seorang sarjana kelahiran Jerman, bernama Francis Lieber, diangkat menjadi Guru Besar dalam bidang Sejarah dan Ilmu Politik di Columbia College. Kejadian ini di Amerika dianggap sebagai pengakuan pertama terhadap Ilmu Politik sebagai ilmu yang berdiri sendiri.

Teori Trilogi Pribumisme jelas menunjuk pada substansi politics yakni: —Pribumi pendiri negara—Pribumi pemilik negara—Pribumi penguasa negara. Adapun aplikasi teori Trilogi Pribumisme dalam NKRI menjadi: —Pribumi pendiri NKRI—Pribumi pemilik NKRI—Pribumi penguasa NKRI. Ini berlaku di semua negara di dunia khususnya yang berjumlah 193 negara anggota PBB.  Satu di antaranya Negara Indonesia.

Bagaimana aplikasi teori Trilogi Pribumisme secara umum dan secara khusus? Secara umum dapat dirujuk dengan  fakta  sejarah politik 7 (tujuh) negara tertua di dunia yakni:—Mesir 3.100 SM oleh Raja Memes—Cina 2.070 SM oleh Dinasti Xia—India 1.500 SM oleh Periode Veda—Ethiopia 980 SM oleh Kerajaan D’mt —Yunani 800 SM oleh Periode Archaic—Jepang 660 SM oleh Kaisar Jimmu—Iran 550 SM oleh Kekaisaran Achaemenid. Semua pendiri 7 negara tertua di dunia itu adalah kelompok etnis Pribumi atau kelompok etnis asli/setempat.

Aplikasi teori Trilogi Pribumisme secara umum itu dijelaskan dengan teori asal mula terjadinya negara yang dikonstruksi oleh George Jellineck dikutip dalam buku berjudul Ilmu Negara (Umum dan Indonesia) karya Prof. Dr. C.S.T. Kansil, S.H dan Christine S.T. Kansil, S.H., M.H tahun 2001. Menurut Jellineck bahwa asal mula terjadinya negara terdiri dari 4 (empat) fase yakni:—Fase Genootschap (Genossenschaft): “sekelompok orang asli/setempat” yang menggabungkan diri untuk kepentingan bersama dan didasarkan pada kepentingan bersama”— Fase Reich (Rijk=Kerajaan): “kelompok orang-orang yang sadar akan hak atas tanah atau wilayah hingga muncullah tuan yang berkuasa sebagai awal feodalisme”—Fase Staat: “masyarakat yang sadar bahwa semula tidak bernegara menjadi bernegara dan sadar pula bahwa mereka berada pada satu kelompok”—Fase Democratische natie dan Fase Dictatuur: “perkembangan lebih lanjut dari fase Staat: atas dasar kesadaran akan adanya kedaulatan di tangan rakyat”. Uraian teoretis di atas tampak jelas bahwa tujuh negara tertua di dunia dan 193 negara anggota PBB semuanya didirikan Pribumi serta menjadi hak milik Pribumi serta semua generasi penerusnya secara berkelanjutan. Kecuali kelompok etnis Anglo Saxon dari Inggris datang mendirikan negara: —Amerika Serikat di atas wilayahnya Pribumi etnis Indian—Canada di atas wilayahnya Pribumi etnis Canadian—Australia di atas wilayahnya Pribumi etnis Aborigin—Selandia Baru di atas wilayahnya Pribumi etnis Mauri. Tujuannya mulia untuk hidup bersama Pribumi Anglo Saxon. Deskripsi teoretis itu sekaligus diperoleh pengetahuan analitis bahwa ukuran Pribumi ditentukan kelompok etnis asli/setempat yang mula mula bersepakat mendirikan negara. Bukan diukur dengan DNA yang hanya membuktikan bahwa individu satu dengan individu lainnya terdapat informasi hubungan darah. Inilah satu di antara kekuatan politik etnisitas yang tak dapat dibantah dengan DNA. Meskipun menurut DNA Jenderal  “A” dengan Jenderal “B” ternyata bersaudara, namun keduanya telah mendirikan Negara yang berbeda, maka keduanya sah saling mendiskriminasi. Bahkan berperangpun sah. Jenderal “A” dengan Jenderal “B” saling membunuh untuk membela kedaulatan negaranya masing masing juga sah. Ini menunjukkan tanggung jawab moral politik Jenderal “A” sebagai Pribumi dari Negara “C” miliknya. Demikian pula sebaliknya Jenderal “B” Pribumi dari Negara “D” miliknya. Terdapat dua dasar bertindak kedua Jenderal “A” dan “B” di atas. Pertama, hubungan DNA bukan dasar toleransi jika kedaulatan politik Pribumi atas negaranya diganggu oleh bangsa lain. Kedua, Negara adalah  kekuasaan politik, oleh karena itu Negara adalah kekuasaan diskriminatif atas Negara dan bangsa lain. Penjelasan filsafat politik di atas, menginformasikan kekuatan ilmiah bahwa meskipun banyak warga Pribumi ada kesamaan DNA dengan Cina melalui beberapa gelombang imigrasi Cina ke Nusantara, bukan alasan kaum imigran Cina di Indonesia lantas bisa disebut Pribumi. Artinya adanya Pribumi ditentukan saat suatu Negara didirikan oleh satu kelompok etnis tertentu. Jadi DNA secara tegas bukan penentu adanya Pribumi.

Baca Juga:  Relasi Budaya Pop dan Creative Hub

Apa tujuan mereka dan bagaimana cara mereka menentukan pemimpin untuk mencapai tujuan akhir mereka bernegara? Tujuan mereka mendirikan negara ialah untuk mencapai tingkat kehidupan kemakmuran umum (bonum publicum). Faktor tuntutan wujud bonum publicum menjadi sangat penting sebab dengan begitu negara diperlukan. Jika tidak begitu, maka negara tak diperlukan. Cara mereka menentukan pimpinan ialah “yang terkemuka di antara yang sama” (“Primus Inter Pares”). Dengan perkataan lain “yang terkemuka di antara sesama Pribumi”. Semua ECI Non Pribumi, oleh karenanya ECI tak setara dengan Pribumi. Jadi ECI tak berhak menjadi pemimpin atas Pribumi. Jika ada Pribumi yang menjadikan ECI sebagai pemimpin berarti ia menyodorkan dirinya guna dijajah oleh bangsa lin, ECI. Menurut garis politik etnisitas, kasus demikian itu disebut kecelakaan sejarah politik Pribumi atas negara miliknya.

Aplikasi teori Trilogi Pribumisme secara khusus ditujukan di Indonesia. Rakyat adalah satu di antara unsur negara. Rakyat terbagi dua yakni asli/setempat dan bukan asli/setempat. Contoh semua orang asli/setempat di Nusantara dan semua generasi penerusnya secara berkelanjutan ialah Pribumi. Sedangkan semua orang bukan asli/setempat ialah Non Pribumi. Saat ini yang fenomenal ialah kelompok etnis Cina Indonesias (ECI) yang berkhianat terhadap perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia juga saat ini, tetapi mau berkuasa di Indonesia. Beda dengan kelompok etnis Arab, Pakistan, India, dan Persia disetarakan status sosial politiknya dengan Pribumi karena membantu memerdekakan Pribumi dari penjajah Belanda. Mereka juga Non Pribumi! Tapi sukar dijawab tanpa konsistensi dukungan nasionalisme etnis Arab, India, Pakistan, dan Persia, apakah Indonesia bisa merdeka? Nah, kelompok kelompok etnis Arab, India, Pakistan, dan Persia boleh memimpin di Indonesia. Wah, ini namanya diskriminatif! ECI harus sadar bahwa Negara adalah kekuasaan politik dan oleh sebab itu Negara adalah kekuasaan diskriminatif atas negara lain dan bangsa lain atau Non Pribumi.  Inilah yang disebut penegakkan kedaulatan Politik Negara secara konsisten. Sikap mengikuti teori Trilogi Pribumisme seperti itu sesuai dengan lima asas Bela Negara menurut Lemhannas dan Kementerian Pertahanan yakni—Cinta Tanah Air—Sadar Berbangsa dan Bernegara—Yakin Pada Pancasila Sebagai Ideologi Negara—Rela Berkorban Untuk Bangsa dan Negara—Memiliki Kemampuan Awal Bela Negara. Lima asas ini yang harus mewarnai sikap Politik Negara bagi semua Pribumi Nusantara.

Baca Juga:  Diambil Sumpah, Marsono Resmi Jabat Ketua DPRD Tulungagung

Menurut Letnan Jenderal TNI (Purn) Prof. Dr. Syarifudin Tippe, M.Si bahwa “Bela Negara berarti sebuah konsep pertahanan yang filosofis dan mengakar pada sejarah bangsa. Sejarah perjuangan yang melibatkan semua komponen bangsa secara total, terarah dan terpadu. Oleh karena itu sistem pertahanan yang mewadahinya kemudian disebut sebagai sistem pertahanan semesta. Sistem ini, kini disebut juga sistem pertahanan militer dan nir militer. Mengikuti paham Bela Negara Prof. Tippe itu, jelas terkorelasi langsung dengan teori J.J. Rousseaue yang ditulis di dalam bukunya Kontrak Sosial bahwa “kedaulatan tidak boleh dicabut” dan “kedaulatan tidak boleh dibagi”. Jika Pribumi memilih ECI menjadi pemimpin artinya telah mencabut dan membagikan kedaulatan secara cuma cuma kepada bangsa lain khususnya Non Pribumi ECI. Tindakan pelanggaran politik etnisitas ini tidak boleh ditolerir karena tidak sesui dengan teori Trilogi Pribumisme yang menganjurkan penegakkan kedaulatan Politik Negara secara konsisten tanpa kecuali.

Konsistensi aplikasi teori Trilogi Pribumisme itu sesuai dengan semboyan NKRI Harga Mati yang selama ini biasa kita ucapkan.  Semboyan itu tertulis besar berwarna merah ditempatkan tertinggi di salah satu gedung besar Sesko TNI, Bandung, bernama Merampit yang menjadi sarana olah raga bagi Sesko TNI.  Dalam kata NKRI terdapat rakyat. Oleh karena itu militer menggunakan pula semboyan bahwa militer: “dari rakyat, untuk rakyat, oleh rakyat”. Rakyat sebagai benda, mengikuti administrasi negara yang didasarkan atas paradigma Politik Negara yang senantiasa struktural. Merujuk pada paradigma Politik Negara itu jelas sekali bahwa Pribumi adalah penguasa atas Non Pribumi. Jika terjadi sebaliknya, namanya penjajahan Non Pribumi terhadap Pribumi bagai era Hindia Belanda masa lampau.  Tentu ini kesalahan aplikasi Politik Negara oleh apparatus negara dan partai politik.

Baca Juga:  Kontrakdiksi Politisasi Birokrasi dan “Good Governance”

Di mana “letak titik temu NKRI Harga Mati”? Sudah sejak lama militer Indonesia menggunakan semboyan itu. Dengan semboyan itu pula membuat mentalitas, identitas, integritas, nasionalisme, profesionalisme, dan konsistensi militer terhadap NKRI tak perlu diragukan oleh seluruh rakyat Indonesia. Bahkan kalau ada Pribumi yang meragukan militer dia pasti salah. Namun ketika ada pertanyaan terlitas dalam benak setiap orang yang memekikkan: “NKRI Harga Mati”! Kemudian mereka ditanya di mana “letak titik temu NKRI Harga Mati dalam Negara Pancasila”? Tak satupun yang langsung dapat menjawab dengan pasti dan fokus. Namun dengan arahan teori Trilogi Pribumisme, pertanyaan tersebut sangat mudah dijawab dengan logis bahwa “titik temu NKRI Harga Mati dalam Negara Pancasila” lerletak pada Pribumi NKRI. Oleh karena itu bila hak Bonum Publicum Pribumi minus dan berakibat kemiskinan setelah ekonominya didominasi ECI, maka Militer wajib membebaskan Pribumi dari akibat dominasi ekonomi ECI tersebut.

Manfaat terbesar, karakteristik, dan kharismatik teori Trilogi Pribumisme ialah membuktikan Pribumi dan Non Pribumi pada tiap tiap negara di dunia ada dan penguasa atas semua Non Pribumi. Pengetahuan ini membuka kesadaran moral bahwa militer rela mengorbankan jiwa dan raganya untuk membela negara dari invasi bangsa lain, karena negara ialah hak miliknya sebagai Pribumi. Dengan demikian maka isu isu HAM, diskriminatif, intoleran, radikalisme, rasis, SARA, ujaran kebencian, dalam rangka Bela Negara guna menegakkan kedaulatan Politik Negara, semua isu tersebut sah diabaikan. Sebab semua isu itu merupakan strategi Non Pribumi untuk merebut kedaulatan Politik Negara Pribumi atas negaranya. Jika ECI sebagai Non Pribumi juga bangsa lainnya yang keberatan dengan penggarisan aplikasi khusus teori Trilogi Pribumisme, silahkan cari negara lain.[]

Related Posts

1 of 3,050