PuisiTerbaru

Sajak-Sajak Mahesa Asah

Sajak-Sajak Mahesa Asah
Sajak-sajak Mahesa Asah

 

Pemuka Do’a

“Bismillahi takdir qadar menguntai”

Lafadz sesejak udara berdenyut dalam nadi

Tiada hitung. Tiada ukur

Tiada batas. Tiada tukar

Tuhan pun ridha menyisip harap

Ditiap ucap

“Ya Habibati Aisyah Ya Habibati Aisyah”

Kunang-kunang penjar cahayanya

Terbang, dari sudut paling gelap

Titik hati terdalam

Mengalahkan pijar lentera sebagai

Hangat raya

Ya Habibi

Kalau aku mengumpamakan kata

Berarti hati belum sedia memiliki

Kalau aku mati berkata

Berarti detik merindu kian luruh

Pada akhirnya segenap

Perjumpaan

Rekah

Senyum senantiasa

Bertemu dalam do’a-do’a pemimpi

 

Kelas Bahasa MASA, 2020

 

 

 

Cara Melihatmu

;Nona Bnta

Elok pemandangan gunung merapi akibat pepohonan rindang,

desa asri kan sejuk bila udara tak tercemar.

Adakah keindahanmu cukup mata dan akal sebagai perantara.

Sekian kemungkinan ku kernyitkan kening

berharap gelak tawa bibir seksimu tertangkap, menyatu kembali berkeliaran

saling memenuhi episode ludah tahun lalu.

Semenjak rabun jauh meregang diam-diam,membatasi jarak sepasang bola mata.

Warung bermenu kopi tubruk, nasi rawon, rujak cingur.

Papan menunya kini kabur seketika, seiring matarasa memutuskan mendekap buta.

Buta bingkai derita yang bergelantungan di pojok-pojok warung itu.

Tanpa sadar nafsu memotong pergelangan tangan

hendak mempersilahkan anjing piaraan tuan menyantap lahap.

Karna kesempurnaan bagimu cukup mata jernih,

bukan rabun jauh berskala sepanjang uluran tangan.

Baca Juga:  Rabat’s Choice as World Book Capital, Recognition of Morocco’s Commitment to Culture – Ministry

Namun, murni sejauh masa depan.

Sampai silau cahaya menutup retina.

mengeluarkan serangkaian tragedi pasundan,

seusai kau menangis meratapi tinta mata dipenghujung malam.

 

Ruang Literasi, 2020

 

 

 

 

Lagu Langit

Biarkan waktu yang menerjemahkan tiap rintik hujan

Dibalik awan hitam kesepian, sebelum nanti angin memahami

Kematian langit biru tanpa bekas luka di badan

 

Aku payung atas bumi yang sudah tak tentu

Menghitung jarak waktu.

Dari atmosfer detak jantungku menetap, hilang.

Dan sebuah jawaban penyesalan mulai tertulis

Aku menangis dan belum mengerti arti

Hamba pada makna-Mu

 

Annuqayah 2020

 

 

 

 

Kabar Waktu

Sedetik sebelum aku dirangkai menjadi puisi

Aku membuang angka-angka

Agar tak ada akhir untuk penyair mencipta kata

Semenit sebelum aku diracik menjadi imaji

Aku menghilangkan awal dan akhir

Agar tak ada rasa kesakitan dalam khayalan penyair

Sejam sebelum aku benar-benar utuh menjadi puisi

Aku meminta pada penyair

Agar setia menuang hasrat setiap kali

Aku meminta

 

Lubangsa A/18, 2021

 

 

 

 

Di Taman Aloska

;Aisya Bnta

Di Taman Aloska,

Sunyi dapat kurasa merangkul jiwa,

Dengan pohon yang berbaris rapi

Sejuk matamu dapat kusangsikan

Bersama dedaunan yang gugur

 

Di Taman Aloska,

Aku hidup bak dipelantara surga

Baca Juga:  Panen Bunga Sedap Malam di Pasuruan, Khofifah Sebut Petani Milenial Jatim Tertinggi di Indonesia

Dewi-Dewi sekadar menyapa

Walau kerap itu hanya melintas mengejar nun disana.

 

Di Taman Aloska,

Aku menerjemahkan dirimu

Sebagai bagian dari lentera malam

Yang senantiasa menyala

Menemani kunang-kunang

Dan menyendiri dibawah tangis rembulan.

 

Kalianget, 2021

 

 

 

 

Stanza Kali Brantas

biarkan kutenang menenggelamkan murka

diujung hulu batas deru nafasmu—aku menemukanmu

sebagai oase abadi, kala gerah tubuh menemani bumi nusantara

dengan kepulan asap pabrik

jantungku menggerang lara

dengan riuh bunyi benda mati

telingaku lepas dari tempatnya

aha.. bagai membawa semerbak bunga surga

sekujur tubuhmu adalah saksi keabadian yang membentang kasih,

maerangkul dewa-dewa, menghidupi manusia dan singgasana suarga bagi segala khayal

penyair mengabadikan namamu brantas

dalam keterbatasan kata

arusmu menjelma diksi

pertanda batas antar rasa

asin, kecut dan entahlah

apalagi?

pohon beringin kembali menyapaku

dengan belaian daun

seraya berpesan

“datanglah untuk kembali kasih, menjemput deras rindu”

 

TulungAgung, 2020

 

 

 

 

Sebelum

;Wanita Ganding

Sebelum hujan terbentuk Terik panas matahari menguap,

Terbang bersama awan-awan

Lalu menyirami ladang, sawah dan perkebunan

Membekaskan senyum basah sejahtera

 

Sebelum bunga mawar mekar sempurna,

Kawanan lebah kerap datang

Menghampiri putik, mengambil sari pati

Menyulapnya menjadi madu

Dan berpamit penuh rasa hormat

 

Sebelum debur ombak berhamburan,

Aku merasakan surut lautan

Baca Juga:  Jadi Bulanan Serangan Hoaks, Pemuda Pancasila Dukung Gus Fawait Djos di Pilkada Jember

Menenggelamkan jiwa ke dasar paling petang

Hingga aku tak dapat melihat mentari

Yang menemani kawanan lebah madu

Dan membuat hujan kenangan

Berirama pilu

 

Sumenep, 2021

 

 

 

 

Aku Bersumpah

;Kekasih Bnta

Aku bersumpah,

Demi nyawa yang kelak akan pergi dari pemiliknya

Bahwa tak ada yang berhak melihat kekasih sebelum ajal tiba.

 

Aku bersumpah,

Mengatasnamakan hamba paling sengsara dalam memahami cinta

Akan mengamini tiap luka-luka yang hadir bersama senyum bahagia

 

Aku bersumpah,

Di akar kata-kata dan imajinasi paling sempurna

Bersedia dan setia mengukir kertas dengan pena sampai tetes tinta menutup kisah

 

Kalianget, 2021

 

 

 

 

Aisyah

Arca mengukir kata menyihir raga

Intan bersenandung didalamnya

Sebagai nyanyian sunyi

Yang tak pernah terdengar oleh manusia

Angkasa menurunkan hujan petaka

Hadir tak diundang seamsal hamba

 

Annuqayah, 2020

 

 

 

 

Akhir dari Cinta

Adinda, sebutlah nama kekasihmu ini

Pada petang kehidupan dan teriknya perjuangan

Serta; rinduilah kekasihmu ini tanpa mengenal detik jarum jam

 

Adinda, makilah kekasihmu bila waktu kesetiaan

Berakhir dalam suka

Ia tak takut melupakan Tuhan

Dan memilih jalan sesat di rimba kenangan

 

Annuqayah 2021

 

*Mahesa Asah, Santri Annuqayah Lubangsa Kelahiran TulungAgung, Aktif di Majelis Sastra Mata Pena (MSMP)

Related Posts

1 of 3,052