Hari Kebangkitan Teroris
“Tempat ini sempit dan sumpek sekali. Sudah berapa lama saya berada di sini? Rasanya sulit sekali bernafas. Aduh, kepala ini! Apa yang menimpa kepala saya ini? Seperti bongkahan batu atau tanah? Apakah rumah saya mengalami longsor atau gempa bumi yang melanda wilayah Jawa? Kenapa tanah yang ambruk ini menimpa tubuh saya? Tapi nanti dulu, sepertinya ada orang kemari sambil membawa obor. Siapakah dia? Waduh, sepertinya besar dan tinggi sekali? Apakah dia sejenis makhluk lain ataukah manusia seperti saya? Tuh, dia semakin mendekat tapi dia seperti orang asing yang bukan dari kelompok saya. He, siapa Anda? Dari jamaah mana?”
Oleh: Hafis Azhari
“Saya tak perlu memberitahu Anda, nanti juga akan paham sendiri, di manakah posisi Anda sekarang ini?”
“Nanti dulu, akan saya ingat-ingat di manakah saya tadi. Oh ya? Saya sedang melakukan tugas suci sebagai seorang mujahid di daerah Makassar. Di ransel saya ada sebuah bom yang diledakkan di sebuah bangunan gereja. Entahlah, siapa-siapa yang menjadi korban. Tapi teman-teman yang lain, yang juga melakukan tugas atas perintah saya, di manakah mereka sekarang?”
“Kamu telah mengumpulkan jamaah untuk mencemarkan nama baik agamamu.”
“Siapa bilang? Saya ini seorang mujahid yang sedang berjuang demi agama Islam.”
“Omong kosong! Islam sama sekali tidak mengajarkan seperti itu.”
“Tapi saya menginginkan semua orang agar menjadi mujahid seperti saya.”
“Untuk apa?”
“Agar semua orang berjalan di atas rel-rel kebenaran.”
“Kebenaran macam apa?”
“Agar semua orang mendapat petunjuk dan hidayah seperti saya.”
“Memberi hidayah itu bukan urusan manusia, tapi kehendak Allah. Berarti kamu melakukan sesuatu yang melebihi kewenangan Allah.”
“Tapi setiap manusia harus mengajak kebaikan dan mencegah kemungkaran.”
“Ya benar, tapi kewenangan memberi hidayah hanya ada di tangan Allah. Jadi, apa sebenarnya tujuan orang-orang seperti kalian ini?”
“Berjuang dan berjihad di jalan Allah.”
“Tidak bisa. Kamu bukan mujahid. Bagaimanapun jihad itu adalah tugas suci, dan kamu telah mencemarinya.”
“Ha? Saya bukan mujahid? Bagaimana mungkin Anda mengatakan seperti itu?”
“Pikirkan baik-baik perbuatanmu, nanti kamu akan menyadari siapakah sebenarnya kamu ini.”
“Baik, akan saya ingat-ingat dulu. Waktu itu saya pergi ke Makassar untuk bergabung dengan suatu jamaah yang mengajarkan untuk berjihad.”
“Kamu berangkat sendiri atau ada yang mengajak?”
“Memang ada yang mengajak, tapi saya berangkat atas kemauan pribadi, atas kesadaran saya sendiri. Di sana saya dilatih oleh pemimpin jamaah, bagaimana cara-cara merakit bom serta bagaimana cara mengoperasikannya. Lalu, saya diyakinkan bahwa negeri saya ini adalah negeri perang atau Darul Harb. Setelah itu, saya diberi alamat-alamat tertentu yang menjadi target sasaran, seperti gereja, hotel, supermarket dan lain-lain.”
“Apakah kamu tahu siapa saja yang menjadi korban akibat ulah orang-orang seperti kalian?”
“Tidak.”
“Mereka yang ada di tempat itu, termasuk para pekerja dan pelayan, orang tua, wanita dan anak-anak. Itu berarti bukan jihad, tapi pembunuhan.”
“Ha? Pembunuhan? Tidak bisa… saya telah melakukan jihad… saya melakukan semua itu sambil berzikir menyebut Allahu Akbar…”
“Yang kamu tunjukkan bukan zikir tetapi dendam dan amarah. Biarpun menyebut nama Allah, bila disertai amarah, Allah sama sekali tidak berkenan.”
“Tidak bisa, Allah pasti merestui perjuangan saya.”
“Nama Allah tak pantas diperjualbelikan untuk memperoleh pujian dan popularitas semata.”
“Tapi saya berjihad dengan penuh keikhlasan?”
“Kata-kata ikhlas itu hanya di mulut, tetapi hati Anda bicara lain. Sedangkan Allah hanya melihat apa-apa yang sebenarnya ada dalam hatimu.”
“Tapi Allah pasti akan merestui perjuangan saya.”
“Tidak, justru setan dan iblis yang merestui perjuangan Anda.”
“Nanti dulu. Jadi, tempat macam apa yang saya tinggali sekarang ini? Begitu sempit dan sumpek?”
“Kamu belum paham atau pura-pura tidak paham? Tempat ini adalah alam kubur, dan kamu sendiri sudah mati dan sudah sampai di negeri akhirat.”
“Ha? Saya sudah mati? Kalau sudah mati, berarti saya ini tergolong kaum syuhada. Seharusnya saya mati syahid?”
“Terserah pada Anda. Ini buku catatanmu.”
“Catatan amal perbuatan?”
“Ya.”
“Nanti dulu, biar saya terima dengan tangan kanan. Supaya Anda tahu bahwa saya ini seorang syuhada. Tapi, ahh… tangan kanan saya hilang! Mana tangan kanan saya?!”
“Bom yang kamu bawa di ranselmu itu daya ledaknya cukup tinggi. Tangan kananmu putus menghilang. Jadi, kamu harus terima buku catatan ini dengan tangan kiri.”
“Aduhhh… saya ini mati syahid. Bagaimana mungkin menerima catatan amal perbuatan dengan tangan kiri?”
“Tidak, kamu bukan mati syahid. Kamu hanyalah seorang pembunuh, juga pembunuh para orang tua, kaum wanita, dan anak-anak… ”
“Tidak! Tidak bisa! Tidak seperti itu…!”
“Terserah pada Anda.”
“Adduhhh, ya ampun… tempat apa ini? Saya ingin bernafas tapi sesak nafas, saya merasa lapar dan haus tapi makanan dan minuman tak bisa masuk ke tenggorokan saya… dan saya ingin buang air, tapi tak ada yang bisa keluar dari kandung kemih dan anus saya… aduhhh… sakiiit… ampuuun!!”***
*Penulis: Hafis Azhari, Pengarang novel Pikiran Orang Indonesia dan Perasaan Orang Banten.