MancanegaraOpini

Dilema Australia di Pasifik Dalam Tatanan Global Baru Abad 21

Dilema Australia di Pasifik
Dilema Australia di Pasifik/ Foto: Defense N ews

NUSANTARANEWS.CO – Dilema Australia di Pasifik. Di bawah pemerintahan Perdana Menteri Malcolm Turnbull, Australia telah menegaskan posisinya sebagai polisi Amerika di Pasifik sejak 2016. Canberra memang tergoda ingin memainkan peran sebagai “super power” di kawsaan Asia Tenggara dan Pasifik Selatan – sekaligus menunjukkan kekuatannya di kawasan itu. Australia boleh saja menganggap negara-negara kepulauan kecil di Pasifik Selatan sebagai daerah dalam lingkup pengaruhnya – tapi Canberra tidak memiliki kapasitas untuk mempengaruhi negara-negara di Asia Tenggara seperti Indonesia, Vietnam dan Thailand.

Memasuki Abad 21, tatanan politik global mengalami perubahan yang signifikan dari bipolar menuju multipolar dan multilateralisme. Namun Amerika Serikat (AS) tampaknya tetap berusaha mempertahankan hegemoni globalnya dengan berbagai cara.

Menjelang berakhirnya abad 20, AS kembali merumuskan Pax Americana dengan The Project for the New American Century (PNAC) untuk kelanjutan hegemoni Uncle Sam di abad 21. PNAC tampaknya telah menjadi pedoman sekaligus arah bagi kepemimpinan Amerika untuk dunia.

Baca Juga:  Strategi Pengusiran Massal di Gaza Utara: Sebuah Rencana Zionis yang Dikalkulasi Matang

Kebijakan perang tanpa akhir tampaknya telah menjadi “program unggulan” AS dan sekutunya dalam mengarungi abad 21. Bahkan, sebagai pemanasan, kekuatan militer NATO telah difungsikan untuk pertama kalinya dipergunakan untuk membantai rakyat Yugoslavia pasca bubarnya Uni Soviet. Balkanisasi, Revolusi Warna dan Arab Spring jelas dipenuhi oleh aroma aksi kejahatan NATO dan Al-Qaeda.

Paling mutakhir adalah Perang Suriah, di mana secara gamblang NATO dan Al-Qaeda telah berkolaborasi dengan persenjataan canggih untuk menggulingkan Presiden Bashar al Assad – namun gagal kerena militer Rusia, Iran dan Hizbullah ikut terjun ke gelanggang pertempuran mendukung pemerintah Suriah.

Rusia sendiri telah belajar dampak dari revolusi warna di Ukraina dan Balkanisasi di Eropa Tenggara yang begitu kacau dan menghancurkan akibat penetrasi NATO dan Al-Qaeda. Apalagi kini NATO dan Al-Qaeda telah menyiapkan puluhan ribu teroris terlatih di Idlib untuk disusupkan ke perbatasan Rusia dan Cina.

Kebijakan terbaru perang AS adalah membentuk kawasan Indo-Pasifik yang diperkenalkan sebagai upaya menghadapi musuh baru yang setara, Cina – diluar Rusia tentunya. Seperti halnya Perang Dunia II, Amerika berperang dengan Jerman di Eropa dan Jepang di Asia.

Baca Juga:  Ketegangan Geopolitik dan Potensi Terjadinya Perang Nuklir

Landskap perang tersebut tidak jauh berbeda, kini AS menghadapi Rusia di Eropa, dan Cina di Pasifik. Sementara perang global melawan terorisme tidak lain adalah bumbu penyedap rasa ideologis yang nikmat.

Strategi Indo-Pasifik memang didisain untuk melawan Cina. Sama halnya dengan Aliansi Strategis Timur Tengah (MESA) atau lebih di kenal dengan “NATO Arab” yang dikondisikan untuk melawan Iran.

Di kawasan Indo-Pasifik, AS telah mebangun aliansi Quadrilateral Securiy Dialogue (QUAD) yang terdiri dari Amerika, Australia, Jepang, dan India untuk melawan pengaruh Cina di kawasan Pasifik yang semakin meningkat. QUAD tidak mencakup kerjasama ekonomi untuk membendung proyek ekonomi Inisiatif Sabuk dan Jalan yang dilancarkan Cina secara global. QUAD lebih berorientasi pada pertahanan dan keamanan.

Diantara negara aliansi QUAD, hanya Australia yang mengalami dilema dengan kebijakan perang tersebut. Padahal Washington sangat mengandalkan Australia untuk menjadi penyeimbang bagi Cina di Pasifik Selatan dan Asia Tenggara

Baca Juga:  Buruknya Penegakan Hukum Tersebab Tololnya Seorang Kapolres

Belakangan Cina telah menandatangani Program Aksi dengan delapan negara Kepulauan Pasifik pada Forum Kerjasama Pengembangan Ekonomi Tiongkok pada Oktober tahun lalu – di mana negara-negara kepulauan Pasifik ini telah sepakat mendukung Inisiatif Sabuk dan Jalan Cina.

Dalam situasi ini, Australia menghadapi pilihan sulit karena Cina adalah mitra ekonomi Australia yang paling penting, sedangkan AS adalah mitra keamanan paling penting. Bersama AS, Australia telah terlibat agresi militer di Semenanjung Korea, Vietnam, Afghanistan dan Irak. Sementara bersama Cina, Australia telah menetapkan wilayah perdagangan bebas yang memungkinkan mereka untuk dengan cepat meningkatkan volume perdagangan bilateral.

Oleh karena itu, kemauan politik Canberra pasti akan menghadapi perlawanan dari kepentingan kapitalis di negara itu karena sepenuhnya bergantung pada Cina dan negara-negara Asia Tenggara lainnya untuk berdagang. (Agus Setiawan)

Related Posts

1 of 3,054