Gestur Politisi Kita
Oleh: Indah Noviariesta, esais dan pegiat Gerakan Membangun Nurani Bangsa
“Pada puncak kesadarannya yang terdalam, para politisi itu sebenarnya menolak kebohongan yang diciptakannya. Karena itu, dalam kesendiriannya, seorang pembohong selalu mengalami perang batin di mana sang antagonisnya adalah dirinya sendiri.”
Salah satu kenangan dari karakteristik mahasiswa Indonesia yang diungkap Jokowi dalam perhelatan akbar pertemuan alumni UGM beberapa waktu lalu, adalah kumpul makan-makan di kantin kampus, dan sesekali Jokowi sempat berkelakar kepada penjaga kantin, “Pak, tolong dihitung dulu kue-kuenya, jangan sampai ada yang makan lima, bilangnya cuma dua.”
Karakteristik manusia Indonesia yang dikenal sebagai hipokrit pernah pula disampaikan sastrawan Mochtar Lubis dalam bukunya, Manusia Indonesia, Sebuah Pertanggung Jawaban (Penerbit Idayu, 1970). Maraknya kaum politisi yang hipokrit dan tidak jujur, mengindikasikan fenomena keseharian yang kita saksikan bersama, berapa ratus pejabat dan politisi kita yang terjerat kasus suap dan korupsi dalam beberapa tahun terakhir ini.
Mestinya para seniman dan sastrawan Indonesia memiliki kepekaan dan kepedulian lebih awal untuk menuangkannya dalam karya sastra. Karena hal tersebut merupakan bagian dari tradisi dan warisan leluhur yang bersifat negatif, di samping banyak hal-hal positif yang perlu kita lestarikan bersama. Untuk apa menghindar dari pergumulan pemikiran dan penghayatan yang lebih mendalam, lalu menentukan pilihan karya tentang pelesiran wara-wiri travelling, meributkan kalkulasi anggaran dari Pemda untuk dibagi-bagi sama rasa sama rata. Kemudian, yang merasa tidak kebagian menggoreskan pena tentang akhlak kaum birokrat, seakan-akan menggugat ketidakadilan yang sebenarnya tercetus dari problem dan urusannya sendiri.
Dalam cerpen Politisi Tua (Hafis Azhari) dikisahkan tentang politisi yang sudah uzur, mengalami kesulitan ekonomi agar terus bereksistensi di dunia politik. Ia tak bisa melepaskan diri dari bayang-bayang keberhasilannya di panggung politik masa lalu, mengimpikan kesehatannya pulih, padahal organ-organ tubuhnya sudah mengkerut dan keropos. Bagaikan tokoh Riggan Thomson dalam film peraih Oscar, ‘Birdman’ yang disutradarai Alejandro Gonzalez. Dalam Politisi Tua diungkap pula sang superhero yang menderita post-power syndrome, sejenis penyakit dan gejala kejiwaan yang membuat penderitanya serba takut dihantui oleh masa tua dan masa akhir kesuksesan dalam perjalanan karir politiknya.
Propaganda kepahlawanan kosong yang diungkap dalam ‘Politisi Tua’ seakan menuntut pertanggungjawaban agar bersikap jujur kepada diri sendiri. Bukan zamannya lagi bicara kebanggaan diri, heroisme, dan keangkuhan kekuasaan yang diumbar dalam beragam pencitraan yang dipublikasikan. Propaganda kepahlawanan kosong harus disingkap hingga menelusuri kedalaman psikologi manusia tentang siapakah hakikat diri yang sebenarnya.
Seorang tokoh yang pernah mengalami masa puncak kejayaan di panggung politik, tetapi kemudian di usia senjanya menderita penyakit patologis, sejenis penyakit yang menolak kodrat kehidupan manusia, seakan menghindar dari ruang-waktu yang terus berproses menuju suatu kehidupan duniawi yang semu dan nisbi. Ia mengira bahwa kemegahan hidup adalah abadi, padahal segala puncak kemewahan dan kesenangan yang diberikan Tuhan di dunia ini hanyalah fana dan sementara.
Sebagaimana tokoh-tokoh politik yang digambarkan dalam novel Perasaan Orang Banten, lebih mendekati gaya pengungkapan sastra Dostoyevski maupun Franz Kafka dalam menelusuri relung batin manusia hiper modern yang keranjingan popularitas dan syahwat kekuasaan. Ia mengungkap kedalaman jiwa seorang politisi berikut gestur-gesturnya yang gampang ditebak, semacam deformasi jiwa yang tak bisa menghindar dari segala keangkuhan dan kebanggaan diri. Bagaikan rasa frustasi seorang pengusaha gelap maupun bandar judi yang sudah uzur dan pernah mengalami masa kejayaannya, dibayang-bayangi oleh popularitas yang pernah disandangnya. Hingga kemudian, membuatnya bertindak dan berulah di luar nalar dan akal sehat manusia.
“Pak, tolong dihitung kue-kuenya, jangan sampai ada yang makan lima, bilangnya cuma dua.”
Celotehan sederhana dari Presiden Jokowi ini, mengingatkan kita pada dialog Pak Majid dengan Pak Salim untuk mengantisipasi ulah kaum poilitisi bersama konstituennya dalam novel Perasaan Orang Banten (hlm. 120). Terdengar kata-kata yang rileks dan sederhana, tapi memancing gelak tawa ribuan para alumni Universitas Gadjah Mada selaku almamaternya.
Tersirat dari ungkapan presiden itu suatu pesan akan kejujuran, fair-play, menghindari sikap-sikap curang dan bohong sedapat mungkin. Para penguasa dan kepala daerah juga harus menyadari bahwa kemenangan pilkada, bukanlah tujuan akhir untuk meraih kekuasaan. Setiap kandidat harus memahami bahwa ajang pilkada hanyalah sarana untuk ‘memenangkan’, dalam arti menjalankan pengabdian diri untuk melakukan sesuatu yang lebih bermaslahat bagi kepentingan umat.
Apalah artinya kemenangan dalam pilkada, jika kepemimpinan yang diraihnya tidak membawa ketentraman dan kebahagiaan batin? Karena pada prinsipnya, apa yang menjadi puncak tujuan manusia adalah hidup tentram dan bahagia. Persoalan ini sangat penting menjadi kesadaran bersama untuk menyelamatkan masyarakat kita dari degradasi moral, yang dampaknya pasti akan dihadapi oleh sang penguasa sendiri, seperti yang sudah dibuktikan oleh petualang-petualang politik terdahulu.
Kita masih ingat beberapa bulan lalu ketika mantan ketua DPR Setya Novanto bersikukuh merasa dirinya tidak bersalah. Dari balik jeruji besi sebagai tahanan KPK, ia menulis surat untuk koleganya di DPR, kemudian satu surat lagi untuk para pengurus di partainya. Ia minta diberi kesempatan untuk membuktikan pembelaannya seakan-akan tidak bersalah, sehingga menolak dicopot sebagai ketua Partai Golkar.
Tetapi rasa was-was, takut dan ketidaktentraman batin, sulit untuk ditutup-tutupi. Para sastrawan dan budayawan akan mudah menebak gestur politisi yang dalam terminologi mahasiswa disebut ‘Politisi Nasi Bungkus’. Politisi yang sudah kehilangan kepercayaan dari rakyat, hidupnya ibarat seonggokan mayat yang masih bergerak. Onggokan mayat yang bergerak itu seringkali disebut ‘Zombie’, seakan masih menyimpan naluri untuk terus memelihara hasrat untuk berkuasa.
Kita bisa menemukan berbagai properti dan rumah mewah yang dimiliki Setya Novanto dan para koruptor kelas kakap, di mana para penghuninya sudah kabur, termasuk penjaga dan para pembantunya sudah ogah bekerja. Karena ketika majikannya dipenjara, tidak ada kejelasan tentang perpanjangan kontrak yang dapat dipertanggungjawabkan. Politisi macam itu — berikut kaki-tangannya – ibarat kartu-kartu domino yang berdiri secara berjejer. Ketika pentolannya tumbang, maka yang lainnya terkena dampak, bertumbangan dengan sendirinya.
Berkaitan dengan gestur politisi korup yang terungkap secara jelas dalam novel Perasaan Orang Banten, saya akan mengutip karya sastra dari epos Mahabharata, yang bicara tentang moral dan etika sejak abad ke-9 Masehi, berbunyi: “Jika seorang pemimpin merampas hak rakyat dengan mengandalkan kekuasaannya, hidupnya akan diliputi rasa waswas dan penuh kegelisahan. Sehingga pada waktunya nanti, bukan saja apa yang dicurinya itu kembali diambil, tetapi harta miliknya dan perilakunya sendiri akan ikut terampas dengan sendirinya.”
Pelajaran dari epos Mahabharata ini sangat vital dijadikan petuah dan nasihat bagi para pejabat dan politisi kita, baik yang sudah duduk dalam tampuk kekuasaan maupun yang berancang-ancang ingin menjadi penguasa dan anggota legislatif di negeri ini. Berhati-hatilah, waspadalah, jika Anda akan coba-coba mengulangi sejarah yang sudah dialami para pendahulu, maka hidup Anda sehari-hari akan senantiasa diselubungi rasa takut dan waswas kalau-kalau perilaku yang korup itu akan terungkap. Jika sudah terperosok, hanya kenistaan dan kehinaan yang akan didapat.
Bukan cuma harta hasil korupsi, juga akan ikut-serta harta milik Anda, serta perilaku Anda – yang mungkin ada yang baik – niscaya akan ikut terampas dengan sendirinya. Apakah Anda rela harta milik Anda ikut terampas, juga amal kebaikan Anda menjadi sirna, lenyap, dan tak diperhitungkan lagi?
Tetapi faktanya, seperti itulah yang dialami para pendahulu kaum politisi kita, yang terbukti telah melakukan pelanggaran dan kesewenangan terhadap hak-hak rakyat Indonesia.