Membaca Ulang Perasaan Orang Banten
Oleh: Muakhor Zakaria, pengamat sastra, dosen di Perguruan Tinggi La Tansa Mashiro, Rangkasbitung, Banten
Kita mengenal istilah POB yang tak lepas dari novel Perasaan Orang Banten. Buku sastra ini pernah dibahas dalam wacana-wacana di harian umum maupun media daring. Saat ini, tiba-tiba mencuat menjadi perbincangan di kalangan akademisi dan intelektual, sehubungan dengan perdebatan hangat di seputar watak dan karakteristik orang Sunda dan Jawa Banten.
Sewaktu dibahas di komunitas diskusi mahasiswa Untirta (2012), novel tersebut sempat membingungkan banyak orang. Tak berapa lama, lembaga sastra dan kebudayaan (Rumah Dunia) pimpinan Gol A Gong penasaran mengundang pembicara dari Komunitas Kubah Budaya, sambil menghadirkan penulisnya pula. Menyusul beberapa pesantren seperti Al-Bayan, La Tansa, Daar el-Qolam, Al-Mizan, ikut-serta menyelenggarakan acara bedah bukunya.
Di antara para pakar dan pengamat sastra menyatakan bahwa novel tersebut ditulis seakan-akan tanpa plot, namun setiap tokoh yang ditampilkan saling berkaitan antara satu dengan yang lainnya. Ia bergerak dengan narasi-narasi mendetil tentang para tokoh yang ditampilkan bagai antologi biografi. Bukan hanya menjelaskan siapa itu pengusaha kampung yang kepincut pada gerombolan partai politik, siapa itu selabtiri dan artis dangdut yang terjerat narkoba, siapa itu penyair jalanan yang mengalami disrupsi, tapi juga menjelaskan setiap latarbelakang mereka satu-persatu, kemudian dipertemukan dalam setting lokasi yang sama (gardu ronda).
Dengan fungsi narator yang maksimun, cerita terus digerakkan dengan menampilkan watak dan karakteristik para tokoh satu persatu. Kita bisa memahami, dalam cover buku tersebut disampaikan kata-kata tegas, “Sebuah novel yang mengungkap pertanggungjawaban manusia Indonesia”. Karena memang, apa yang menjadi motif bagi penulisnya adalah transformasi dan perubahan mental manusia Indonesia, dengan mengambil setting lokasi di wilayah Banten sebagai tanah kelahirannya.
Orang Banten dan Indonesia
Banyak yang menyoroti buku sastra POB sebagai panduan utama bagi perubahan mental masyarakat kita. Tapi saya melihat dari perspektif lain menyangkut bunga rampai ambisi, tabiat, bahkan tentang keyakinan masyarakat Indonesia secara umum. Hampir semua tokoh dalam novel tersebut dihadapkan pada pilihan-pilihan hidup yang kritis, dilematis, hingga terus mencapai puncak keyakinannya. Bahkan satu-persatu menghadapi siklus sebab-akibat sebagai pertanggungjawaban atas apa-apa yang dipilih dan diputuskannya.
Di sinilah massage dan nilai-nilai religiositas yang seakan ingin disampaikan pengarangnya. Bukan dalam kerangka penghakiman yang bersifat hitam-putih, juga sama sekali tak ada indikasi menghakimi watak dan karakteristik orang Banten dan Indonesia. Ia bicara tentang manusia pada umumnya (makro) dengan pendekatan mikrosopik, seperti yang terungkap dalam teks Alquran: “Dan mengenai dirimu sendiri, mengapa kamu tidak memperhatikannya?” (adz-Dzariyat: 21)
Digambarkan dalam novel tersebut, bahwa hidup manusia diselubungi oleh keyakinan yang ada pada dirinya. Setiap langkah dilatarbelakangi oleh keputusan yang menjadi pilihannya. Masalahnya, apakah kita meyakini bahwa masadepan mesti dihadapi dengan keyakinan yang positif ataukah negatif? Apakah kita sewajarnya berburuk sangka pada keputusan Tuhan, ataukah menjatuhkan pilihan untuk senantiasa bersyukur dan berbaik sangka kepada-Nya, dalam situasi segenting apapun?
Seringkali manusia merasa sulit untuk keluar dari tempurungnya (caged life). Kita tidak mudah untuk berpindah ke daerah lain, juga tidak mudah untuk mencari pekerjaan di tempat lain. Bahkan kita tak bisa menentukan siapa yang harus menjadi rekan kerja, klien ataupun bos kita di kantor. Tapi melalui karya sastra POB, kita dapat mengambil banyak hikmah dan pelajaran, bagaimana kita harus menentukan emosi dan keyakinan dalam hidup kita.
Ketika kita memupuk dan mengembangkan keyakinan yang positif, dan fokus pada apa yang kita tuju, maka segala rintangan dan hambatan akan menjadi ilmu dan pembelajaran untuk melangkah ke masadepan. Boleh-boleh saja ide dan gagasan kita dijegal atau diremehkan orang lain. Silakan saja pendapat kita dicemooh, diabaikan, bahkan dianggap sableng. Tetapi bila kita meyakini bahwa ide dan gagasan itu bertujuan baik dan bermaslahat, tentu saja kita dapat bertahan, tetap tegar dan terus optimistis.
Skeptisisme Orang Kita
Melalui karya sastra POB, kita sebagai orang Indonesia diajarkan untuk tidak skeptis dalam memandang fenomena yang ada. Kegagalan yang terungkap dalam novel tersebut adalah wilayah visualisasi sastra yang tak perlu diambil hati. Memang begitu caranya bila seorang pengarang mencita-citakan masyarakat unggul yang bangkit dari keterpurukan. Bukan dengan sikap angkuh, jumawa dan membangga-banggakan diri. Juga bukan dengan bernostalgia yang membuat kita terlena untuk tidak bangkit dan bangun dari tidur panjang.
Melalai karakter tokoh-tokohnya, novel POB juga mengajarkan kita agar jangan skeptis dalam menatap perubahan Indonesia ke depan. Kita tidak boleh beranggapan seperti selentingan sebagian orang politik yang menyatakan, “Ah, negeri ini sudah telanjur kacau-balau… tak ada orang yang bisa dipercaya… semua birokrat dan petugas hanya melayani rakyat bila diberi pelicin… semua proyek hanya menjadi ajang suap dan korupsi… semua pembangunan tak bisa diandalkan sama sekali…”
Coba bayangkan, seandainya pandangan skeptis ini merajalela dan menjadi keyakinan bagi mayoritas masyarakat kita. Apa jadinya negeri yang kita cintai ini, bila sejak awal diselubungi oleh pikiran dan perasaan bahwa tak mungkin ada perubahan sama sekali. Mau apa kita, bila jauh-jauh hari sudah tidak mendukung adanya transformasi dan perubahan,lalu mengembangkan keyakinan negatif seolah-olah tak ada lagi solusi dan jalan keluar, lalu berceramah ke sana kemari bahwa esok hari kiamat akan menghantam kita?
Bila keyakinan kita menunjukkan sikap yang berlawanan, tentu saja keyakinan itu dapat menggerogoti hasrat dan kehendak untuk berubah. Jangan-jangan, di sinilah sumber kegagalan orang Indonesia dalam mencanangkan iklim perubahan itu sendiri. Sebab, Tuhan sendiri berfirman, “Bagi mereka yang berbaik sangka kepada-Ku, maka akan Aku berikan jalan keluarnya.”
Kalau hidup orang Indonesia selalu pesimis dan skeptis – seperti tergambar dalam beberapa tokoh POB – maka layakkah kita melemparkan pertanggungjawaban kepada pihak lain, mengapa hidup kami bisa menjadi kacau-balau begini, kenapa situasi politik makin karut-marut begini?
Di sinilah pentingnya membaca karya sastra. Karena ia adalah ilmu positif yang membangun perubahan, membangkitkan kesadaran masyarakat, melalui pertanyaan-pertanyaan mendasar yang membutuhkan jawaban logis dan rasional. Karya sastra juga menohok dan menggugat pertanggungawaban politisi dan penguasa sebagai pihak yang berwenang. Bahkan dapat menjebak mereka pada situasi bumerang apabila tidak mengamalkan hikmah yang terkandung di dalamnya.
Novel Perasaan Orang Banten, dengan ending yang cukup hati-hati dari penulisnya, dapat memberikan solusi dan jawaban yang esensial, ketika menghadapi pertanyaan: “Mengapa situasi Indonesia seperti saat ini?”
Jawabannya, kita mesti kembali kepada latarbelakang keyakinan yang kita pupuk dan kembangkan, apakah selama ini kita telah menanam benih-benih keyakinan positif untuk mewujudkan transformasi dan perubahan Indonesia, ataukah sebaliknya?