NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Penulis Novel “Cantik Itu Luka”, Eka Kurniawan menolak dengan sadar Anugerah Kebudayaan dan Maestro Seni Tradisi 2019 yang rencananya akan diberikan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) kepadanya pada Kamis (10/10/2019) malam ini.
Sikap penolakan tersebut ia sampaikan secara terbuka melalui akun Facebook pribadinya, pada Rabu (9/10) dan telah dibagikan sebanyak 479 kali. Novelis penerima Prince Claus 2018 dari Kerajaan Belanda itu menolak Anugerah Kebudayaan dan Maestro Seni Tradisi 2019 oleh Kemendikbud dilandasi sejumlah alasan.
Salah satu alasan terpenting yang disampaikan Eka ialah lantaran pemerintah dinilainya tidak sungguh-sungguh memberi apresiasi kepada pekerja sastra dan seni, dan pegiat kebudayaan secara umum.
Berikut ini pernyataan lengkap penolakan Eka Kurniawan:
“Apakah Negara Sungguh-Sungguh Memiliki Komitmen dalam Memberi Apresiasi Kepada Kerja-Kerja Kebudayaan?”
Ketika sekitar dua bulan lalu saya dihubungi oleh staf Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, dengan informasi bahwa saya calon penerima Anugerah Kebudayaan dan Maestro Seni Tradisi 2019, untuk kategori Pencipta, Pelopor dan Pembaru, yang rencananya diberikan besok, 10 Oktober 2019, pertanyaan saya adalah, “Pemerintah bakal kasih apa?”.
Dia bilang, antara lain, pin dan uang 50 juta rupiah, dipotong pajak. Reaksi saya secara otomatis adalah, “Kok, jauh banget dengan atlet yang memperoleh medali emas di Asian Games 2018 kemarin?” Sebagai informasi, peraih emas memperoleh 1,5 miliar rupiah. Peraih perunggu memperoleh 250 juta. Pertanyaan saya mungkin terdengar iseng, tapi jelas ada latar belakangnya.
Jujur, itu terasa mengganggu sekali. Kontras semacam itu seperti menampar saya dan membuat saya bertanya-tanya, Negara ini sebetulnya peduli dengan kesusastraan dan kebudayaan secara umum tidak, sih? Meskipun terganggu dengan pertanyaan itu, terpikir juga oleh saya untuk: ya sudah, ambil saja uangnya, setelah itu kembali beraktivitas seperti biasa. Uang sebesar itu bisa untuk membayar iuran BPJS selama bertahun-tahun. Bisa juga untuk meringankan beban Pajak Penghasilan. Saya pun mengikuti sesi wawancara untuk membuat profil.
Ketika surat resmi dikirim melalui surel datang, ternyata pertanyaan itu terus mengganggu saya. Seserius apa Negara memberi apresiasi kepada pekerja sastra dan seni, dan pegiat kebudayaan secara umum? Memberi penghargaan kepada penulis macam saya memang tak akan menjadi berita heboh, apalagi trending topic di media sosial. Tapi, terlepas dari kekesalan dan perasaan di-anak-tiri-kan macam begitu, selama beberapa hari saya mencoba mengingat dan mencatat dosa-dosa Negara kepada kebudayaan, setidaknya yang masih saya ingat:
Beberapa waktu lalu kita tahu, beberapa toko buku kecil digeruduk dan buku-buku dirampas oleh aparat. Kita tahu, itu kasus yang sering terjadi, dan besar kemungkinan akan terjadi lagi di masa depan. Bukannya memberi perlindungan kepada perbukuan dan iklim intelektual secara luas, yang ada justru Negara dan aparatnya menjadi ancaman terbesar.
Akhir-akhir ini, industri perbukuan, terutama penerbit-penerbit kecil dan para penulis, menjerit dalam ketidakberdayaan menghadapi pembajakan buku. Saya tak ingin bicara tentang pajak yang diambil dari perbukuan, salah satu yang membuat buku terasa mahal bagi daya beli masyarakat kebanyakan. Bagaimanapun, membayar pajak adalah kewajiban semua orang. Yang jelas, sudah selayaknya Negara memberi perlindungan. Jika perlindungan kebebasan berekspresi masih terengah-engah (ilustrasi: gampang sekali aparat merampas buku dari toko), setidaknya Negara bisa memberi perlindungan secara ekonomi? Meyakinkan semua orang di industri buku hak-haknya tidak dirampok?
Memikirkan ketiadaan perlindungan untuk dua hal itu, tiba-tiba saya sadar, Negara bahkan tak punya komitmen untuk melindungi para seniman dan penulis (bahkan siapa pun?) atas hak mereka yang paling dasar: kehidupan. Apa kabar penyair kami, Wiji Thukul? Presiden yang sekarang telah menjanjikan untuk menyelesaikan kasus-kasus HAM masa lalu, termasuk penghilangan salah satu penyair penting negeri ini. Realisasi? Nol besar.
Di luar urusan hadiah, ada hal-hal mendasar seperti itu yang layak untuk membuat saya mempertanyakan komitmen Negara atas kerja-kerja kebudayaan. Kesimpulan saya, persis seperti perasaan yang timbul pertama kali ketika diberitahu kabar mengenai Anugerah Kebudayaan, Negara ini tak mempunyai komitmen yang meyakinkan atas kerja-kerja kebudayaan.
Dengan kesadaran seperti itulah, beberapa hari lalu saya membalas surat dari Direktur Warisan dan Diplomasi Budaya, Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Kebudayaan tersebut, bahwa saya memutuskan tidak datang pada tanggal 10 Oktober 2019 besok, dan bahwa saya menolak Anugerah Kebudayaan dan Maestro Seni Tradisi 2019. Saya tak ingin menerima anugerah tersebut, dan menjadi semacam anggukan kepala untuk kebijakan-kebijakan Negara yang sangat tidak mengapresiasi kerja-kerja kebudayaan, bahkan cenderung represif. Suara saya mungkin sayup-sayup, tapi semoga jernih didengar. Suara saya mungkin terdengar arogan, tapi percayalah, Negara ini telah bersikap jauh lebih arogan, dan cenderung meremehkan kerja-kerja kebudayaan.
Terakhir, terima kasih sekaligus permohonan maaf untuk siapa pun yang telah merekomendasikan saya untuk anugerah tersebut.
9 Oktober 2019
Sekadar diketahui, Eka Kurniawan lahir di Kota Tasikmalaya, Jawa Barat, 28 November 1975. Alumnus pendidikan tinggi dari Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta itu terpilih sebagai salah satu “Global Thinkers of 2015” dari jurnal Foreign Policy. Penulis novel “Cantik itu Luka” itu telah diganjar sejumlah penghargaan internasional seperti Emerging Voice 2016 di New York dan 0World Reader’s Award 2016.
Selain menulis sejumlah novel, Eka juga menerjemahkan beberapa karya sastrawan dunia, antara lain Pemogokan (Hikayat dari Italia) karya Maxim Gorky, Cannery Row karya John Steinbeck, Catatan Harian Adam dan Hawa karya Mark Twain, dan Cinta dan Demit-demit Lainnya karya Gabriel Garcia Marquez. (red)
Editor: Achmad S.