Oleh: Defiyan Cori, Ekonom Konstitusi
NUSANTARANEWS.CO – Pada Semester I Tahun 2019 Turun 69%, laba bersih PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGN) mengalami penurunan sebesar 69,87% atau menjadi US$ 54,04 juta jika dibandingkan dengan laba bersih yang berhasil PGN pada Semester I Tahun 2028 yang mencapai US$ 179,39 Juta.
Berdasarkan laporan keuangan PGN yang telah dipublikasikan di Bursa Efek Indonesia (BEI), penurunan laba bersih itu terjadi di tengah penurunan pendapatan perusahaan sebesar 6,77% menjadi US$ 1,79 miliar dari sebelumnya US$ 1,92 miliar.
Pendapatan PGN tersebut setara dengan sekitar Rp 25,4 triliun (kurs rata-rata semester I tahun 2019 Rp 14.195/US$). Pendapatannya itu berasal dari hasil penjualan gas sebesar US$ 1,33 miliar, penjualan minyak dan gas sebesar US$ 196,2 juta, transmisi gas sebesar US$ 163,4 juta dan pendapatan usaha lainnya sebesar US$ 97,19 juta.
Mencermati perkembangan kinerja keuangan PGN tersebut, maka kebijakan menaikkan harga gas industri adalah momentum yang tepat dalam menjaga keberlanjutan BUMN strategis tersebut. Penolakan para pengusaha yang tergabung dalam Kamar Dagang dan Industri (KADIN) yang sekaligus terkesan mengancam pihak PT. Perusahaan Gas Negara Tbk (PGN) adalah tidak masuk akal. Apalagi, jika hal itu dikaitkan dengan posisi atau permasalahan yang sama atas kondisi perusahaan para anggota KADIN yang berada dalam kinerja buruk.
Selain menolak kenaikan harga gas dalam pernyataan yang disampaikan oleh Wakil Ketua Komite Industri Hulu dan Petrokimia Kadin Achmad Widjaja, saat berakhirnya kegiatan Kelompok Diskusi Terarah (Focus Group Discussion/FGD) pada Hari Rabu tanggal 25 September 2019 lalu, para pengusaha itu juga dengan tegas menyampaikan kesepakatan pelaku industri untuk menggunakan harga lama jika PGN tetap bersikeras atau ngotot menaikkan harga gas.
Pernyataan pihak KADIN dengan menolak penetapan kebijakan kenaikan harga gas industri oleh perusahaan seolah menolak substansi sebuah organisasi bisnis. Bahwa PGN adalah entitas ekonomi yang harus menyelamatkan kepentingan bisnisnya dan apalagi PGN merupakan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang dituntut berkontribusi bagi penerimaan negara dan mengatasi defisit minyak dan gas (migas) serta defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang semakin parah.
Sebagaimana halnya korporasi swasta, maka PGN juga dituntut untuk dapat mempertahankan kelangsungan hidupnya (survive) sebagai sebuah organisasi perusahaan dengan menerapkan logika ekonomi dan manajemen yang profesional, efisien dan efektif dalam mencapai tujuannya. Disamping itu, PGN sebagai BUMN juga memiliki tugas penyediaan gas subsidi atau LPG kepada masyarakat sebagai tanggungjawab negara atas kelompok masyarakat tertentu (Public Service Organisation/PSO) yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN dan tanggungjawab itu tak diwajibkan pada korporasi swasta.
Tanggapan reaktif KADIN tersebut semakin menunjukkan bukti nyata bahwa kalangan industriawan Indonesia tidak mau tahu tentang pelaksanaan konstitusi ekonomi, dan sejauhmana posisi penguasaan negara atas cabang-cabang produksi yang penting dan menguasai hajat hidup orang banyak perkembangan terkininya (up date), salah satunya adalah soal penguasaan hulu minyak dan gas. Bahwa selama ini BUMN juga dihadapkan pada mekanisme pasar persaingan dan harus mengikuti harga keekonomian dunia, sementara itu beban subsidi harus ditanggung oleh BUMN melalui mekanisme subsidi silang (cross subsidize), menjadi bertambah bebannya apabila sumber gas masih berasal dari impor.
KADIN seolah-olah tak mau tahu bahwa, Pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) telah melakukan penyesuaian harga energi, yaitu Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis solar dan gas serta listrik pada Tahun 2020. Hal ini sebagai tindak lanjut dari kebijakan pemerintah dalam memangkas subsidi energi pada Tahun 2020 sebesar Rp 137,5 triliun terdiri dari subsidi listrik sebesar Rp 62,2 triliun dan subsidi BBM sebesar Rp 75,3 triliun. Angka subsidi energi ini turun jika dibandingkan dengan 2019 sebesar Rp 142,6 triliun.
Lebih dari itu adalah, subsidi energi harus diarahkan untuk menjaga stabilitas harga dengan memperkuat pengendalian dan pengawasan konsumsi energi dalam menjaga pertumbuhan ekonomi nasional. Selain itu adalah untuk mengarahkan subsidi yang tidak tepat sasaran dan selama ini dinikmati oleh kalangan industri atau bukan kelompok masyarakat miskin. Sedangkan untuk gas industri, maka para pengusaha KADIN juga harus memahami logika penetapan harga industri (setting price) berdasar pembentukan Harga Pokok Produksi yang terjadi, sebagaimana halnya korporasi swasta menetapkan pola ini pada barang dan jasa yang mereka tawarkan pada konsumen.[]