Cerpen Muhammad Daffa: Mengusir Arwah
SEISI kampung menemukan tubuhnya hangus terpanggang di dalam rumahnya sendiri pada ahad pagi. Setelah berbulan-bulan sebelumnya ia mencoba mengusir arwah-arwah jahat yang merasuki tubuh seorang remaja. Awalnya kami tak terlalu percaya kalau Abah Juhari, lelaki tua itu, memang dukun. Karena nyatanya dalam keseharian ia tetaplah seorang petani yang kerja pagi dan pulang petang hari. Ia lelaki tua yang taat menyembah tuhan. Tak pernah sekali pun mangkir dari salatnya, setidaknya begitulah kesaksian dari orang-orang, juga kawan-kawannya, yang menyangsikan bahwa Abah Juhari tewas dengan cara yang mengenaskan—kisah kematiannya barangkali akan jadi pengantar percakapan di warung kopi Mak Ida, seorang janda tua yang lebih suka menyebut Abah Juhari sebagai ‘seorang tua yang berumah di masjid’. Tak seorang jua pun di antara kami yang pernah melihatnya mempraktekkan langsung kehebatan mantra-mantranya, atau setidaknya ritual mengusir setan yang diyakininya selama ini.
****
Dalimun sedang khusyuk membaca tajuk utama koran pagi ketika aku menepuk pundaknya secara tiba-tiba. Ada apa? Tanyanya. Aku ingin mendengar langsung darimu tentang Juhari, ceritakanlah ia padaku. Juhari yang kata orang sekampung adalah seorang cenayang berkemampuan mumpuni, seorang cenayang yang mewarisi amalan nabi-nabi, penerus segala wali. Juhari yang senantiasa tak mampu dijamah iblis jahanam mana pun, Juhari yang senantiasa fasih melafadzkan firman tuhan. Juhari yang mampu mengusir setan-setan terkutuk.
Cukup! katanya. Baiklah. Aku akan bercerita yang sebenarnya padamu tentang Juhari, juga gunjing tentang ilmu cenayangnya itu.
****
Aku tak tahu pasti sejak kapan ia memiliki ‘bakat cenayang’nya. Yang jelas, tujuh hari sebelum kematian ayahnya, ia berjalan mengendap-ngendap ke kamar ayahnya, hanya untuk memastikan apakah penyakit jantung yang menimpa ayahnya kambuh lagi seperti malam-malam sebelumnya.
“Ju..ha..ri..”, katanya. Suaranya mulai terpatah-patah, berkejaran dengan angin yang susul-menyusul di luar rumah.
“Apakah sesak dada ayah kambuh lagi?..”, tanya Juhari seraya mendekat ke pembaringan ayahnya.
Mata Sarmun—ia ayah Juhari yang selalu merasa dikejar oleh bayangan masa lalunya—setidaknya itulah yang kudengar langsung dari kisah Abah Juhari, ketika aku bertamu ke rumahnya beberapa waktu lalu, sebelum ia tewas.
Aku telah lama menderita, katanya. Kau harus melepaskannya. Lepaskan apa yang belum dilepaskan.
Aku tak mengerti, ayah, kata Juhari.
Ambikan aku segelas air putih, dan bawa kemari. Kali ini Mata Sarmun menatap ke arah jendela. Ia kembali melihat bayang masa lalunya—kenangan-kenangan yang hanya sepotong, yang kerap membuatnya terkenang Saminah.
“Andai malam itu kau tak melepaskan tujuh ikatan rantai di tubuhnya, mungkin perempuan itu masih hidup, Sarmun!”
Kau seorang yang lemah! Kau bukan seorang dukun yang mumpuni! Ilmumu hanya sebatas mantra-mantra usang, kitab-kitab penuh debu, dan kutuk yang terus menerus, kutuk yang turun-temurun diwariskan, dicawiskan dari generasi ke generasi.
Mata Sarmun memejamkan matanya. Bulir-bulir kesedihan mengalir di pipinya. Dan ia pun menyadari bahwa seorang lelaki cengeng seperti dirinya tak semestinya menjadi seorang cenayang. Karena ia toh tak pernah mengaku kalau dirinya adalah cenayang. Ia merasa gagal. Saminah, Saminah, katanya.
****
Juhari kembali ke kamar Mata Sarmun dengan membawa secangkir air putih. Mata Sarmun bangkit dari rebahnya, ia mereguk setengah dari air itu, lalu menyisakannya untuk Juhari. Minumlah, anakku, kau akan jadi yang berikutnya.
Berikutnya? Apa maksudmu, ayah? Aku tak mengerti.
Kelak kau akan mengerti. Ini belum seberapa dengan yang diderita oleh ibumu. Aku dan kau sama-sama dilahirkan dari kutuk, terasing dalam ketakutan-ketakutan yang tak tertebak. Aku tahu kau sanggup. Aku tahu kau sangat membutuhkannya. Dan kelak, kau akan tahu, orang-orang menyebutmu sebagai ‘cenayang’. Karena mereka mengerti bahwa itulah jalan hidupmu, jalan yang berkelok tajam, jalan hitam, jalan yang menggenang keganjilan-keganjilan.
Aku semakin tak mengerti, ayah. Terangkanlah padaku keganjilan macam apa yang akan kudapati.
Kau akan tahu dengan sendirinya. Kau akan menemuinya dalam setiap waktu dan keadaan.
Dan pada bilur-bilur yang muncul dari tubuh ayahnya, Juhari mengerti apa makna ‘keganjilan’ itu—hantu-hantu—entah benar atau tidak dugaannya. Atau hanya pandangan matanya yang mulai terganggu?
Minumlah, Juhari, minumlah, anakku. Kau akan tahu. Kau akan mengerti. Dan biarkan aku pejam dalam bayang-bayang malam—Saminah—terimalah kedatanganku ke pintu-pintu baka, tubuhku bakal suaka, lelap kita hanya dalam luka—jangan lagi kau gugurkan air mata. Telah kulepaskan seluruh yang kumiliki. Juhari, aku dan ibumu pasti mengiring setiap langkah-langkahmu. Aku dan ibumu senantiasa terngiang-ngiang dalam benakmu, juga dalam setiap kebingunganmu.
Awalnya aku ragu apakah akan meminum air itu atau tidak. Tapi setelah ayah kembali menyentakku, aku pun bergegas meminumnya. Kutuk telah diwariskan. Kutuk telah ditanamkan ke dalam diri yang baru. Yang akan menanggung keganjilan-keganjilan, ketakutan-ketakutan, juga yang kau namakan hantu-hantu—barangkali merekalah yang menjemputmu dalam ajal.
Bilur-bilur itu—apakah semacam pertanda bagi kematian? Kematian orang-orang yang menanggung kutuk serupa kita? Atau sebagai sebuah tanda bagi mereka yang mampu bertarung dengan dunia asing—awalnya aku sebut demikian—yang pelan-pelan menjerumuskan kita ke dalam keganjilan, bahkan ketersesatan?
Dari wajah ayah, aku melihat beratus kunang-kunang berdesakan keluar. Mereka menyerbuku hingga aku tersungkur ke lantai. Setelah itu aku melihat wanita itu—kata ayah dia ibu—yang lama berteduh dalam keheningan dada ayah. Tapi aku tak percaya. Karena bisa saja dia jelmaan. Bukan wujud yang sesungguh-sungguhnya.
****
Teruskan ceritamu, Dalimun, bujukku. Kau belum merampungkannya hingga ke akhir.
Baik, aku akan meneruskannya. Tapi jangan kau sela aku lebih dulu, sergahnya. Aku mengiyakan.
Setelah ia mendapati kunang-kunang di malam kematian ayahnya, Juhari merasa dirinya berbeda. Setiap kali ia berkaca, ia mendapati wajahnya adalah wajah Sarmun. Wajah lelaki yang telah memberikannya bakat cenayang. Ia bisa melihat hantu-hantu dengan leluasa sekarang. Ia mampu membedakan mana sakit kiriman dan sakit yang berasal dari penyakit murni. Tapi ia tak pernah berujar pada siapa pun akan bakatnya. Ia tak pernah bercerita pada siapa pun tentang kemampuan berdukunnya. Tapi ada segelintir orang yang kemudian tahu akan kemampuannya dan mau berobat dengannya. Dan alhasil mereka percaya dengan ilmu cenayang yang dimiliki Juhari. Ia pun semakin disegani. Meski kerap dianggap sebagai orang yang biasa-biasa saja di mata penduduk desa kami.
Juhari menjadi kesohor. Ia dipuja-puja beberapa warga desa sebelah yang anaknya pernah ditangani langsung oleh Juhari.
“Juhari memang sakti. Buktinya, penyakit aneh yang menimpa anakku bisa sembuh total karena bantuan ilmu gaibnya!”
“Dia lelaki sakti, sayang tak ada yang berkeinginan menjadikannya suami. Padahal semua orang di sini sudah mafhum akan kepandaiannya dalam berdukun. Juhari tidak diragukan lagi ilmunya!” seloroh Mak Ida di warung kopinya.
“Aku juga merasakannya. Setiap ia berjalan-jalan pada malam hari di seputaran dusun, aku melihat ratusan kunang-kunang berkejaran di atas kepalanya. Kunang-kunang itu terkadang masuk ke dalam tubuhnya, bahkan ada yang mengendap-ngendap terbang ke arah ladang. Kadang aku jadi takut sendiri. Dulu orang-orang tua di kampung pernah berkata bahwa kunang-kunang adalah jelmaan setan..”
“Hus! Jangan ngawur kau! Aku yang sering berobat padanya saja tak pernah merasa kalau bakatnya berasal dari jamah tangan-tangan iblis. Juhari mewarisinya dari Mata Sarmun, ayahnya yang terkenal sebagai cenayang di kampung sebelah..”
“Ya, aku juga mendengarnya. Sarmun adalah seorang cenayang ampuh yang dapat mengusir arwah-arwah jahat bahkan memusnahkannya hanya dengan tangan kosong dan mantra-mantra gaibnya..”
Omongan-omongan orang di desa membuat Juhari merasa ditinggikan. Ia merasa masih jauh dari anggapan mereka. Orang-orang desa tak tahu apa sebenarnya yang tengah ia tanggung selain bakat cenayang dari Sarmun—lagi-lagi ia terkenang wajah ayahnya sewaktu ratusan kunang-kunang keluar dari sana, memancar, menyerbu ke arahnya.
Juhari merasa kunang-kunang itu tinggal di dalam dirinya, di dalam dadanya. Ia merasakan degup koloni mereka, bergemuruh dalam darahnya. Tiba-tiba ia teringat kata terakhir Sarmun sebelum ajalnya.
“Kau akan disegani. Seluruh setan jahanam tak mampu menandingimu. Karena kau bagian dariku. Karena kau bagian dari kutuk. Karena kau bagian dari orang-orang yang dilebihi kasih oleh tuhan..”
****
Ia tak tahu mengapa Sarmun selalu berkata bahwa kepandaian yang dimilikinya bermula dari kutuk. Sarmun juga tidak pernah menjelaskan perihal ini—atau hanya ia yang lupa? Juhari kemudian mencari jawab ke berbagai orang pintar dan bertemu dengan seorang mahaguru yang berdiam di puncak bukit.
Kutuk itu bermula dari leluhurmu, Raden Batara Maja. Ia memiliki banyak kesaktian karena mencuri sebuah kitab pusaka yang terkubur selama ratusan tahun di Gunung Kidul. Kitab pusaka itu berisi ajian-ajian kuno dan ia merapal seluruh mantranya. Lalu terdengar suara yang tak diketahui dari mana sumbernya, berkata dengan nada yang mengancam.
“Kau telah mencabut roh terkutuk yang sengaja aku kurung dalam kitab itu! Kau telah mencurinya dari para dewa! Maka dengarlah, kau dan seluruh keturunanmu akan menjadi cenayang selamanya. Hingga kematian menjemput kalian satu-persatu. Kau dan seluruh keturunanmu akan menanggung ketakutan demi ketakutan, dan menderita karenanya!”
Setelah suara itu lenyap, Batara Maja mengembara tak tentu rimba. Seraya mencari dukun tangguh yang sanggup mencabut kutukan kitab pusaka.
Namun sayang, tak ada seorang pun dari dukun-dukun yang ditemuinya yang bisa mencabut kutukan itu, kesaktian dari kitab tetap melekat dalam tubuhnya, lalu hal itu berlanjut kepada anaknya, dan menurun kepada keturunan-keturunannya yang lain.
****
Setelah puluhan tahun melewati hidupnya yang kian ganjil, Abah Juhari memutuskan mengembara. Ia pergi ke berbagai pelosok dan mengobati orang-orang yang didera ragam sihir. Ia terus mengembara hingga sampai pada sebuah desa yang seolah-olah mati. Di alun-alun desa itu ia menemukan seorang remaja yang tubuhnya diikat dengan tujuh rantai. Dan Juhari kembali teringat dengan ayahnya, juga Saminah, yang dinikahi oleh ayahnya setelah tujuh hari tujuh malam terikat di sebuah gudang tua. Terikat dengan tujuh rantai yang konon telah dipercik air mantra-mantra.
Juhari berusaha menolong remaja itu, membebaskan ikatannya. Dan ia bertanya pada remaja belasan tahun itu, apakah ia disiksa oleh orang-orang dusun ini—ataukah ada sesuatu lain yang membuatnya terganggu hingga beberapa warga kemudian mengikatnya dengan belenggu rantai? Aku tidak tahu, jawabnya. Mereka—orang-orang di desa ini menganggap aku terkena sakit gila—tak ada satu dukun pun yang berani datang mengobatiku karena menurut salah seorang di antara mereka, ada arwah-arwah yang sengaja mengurung dirinya dalam diriku—dan mereka selalu mampu mengalahkan setiap dukun yang berkehendak menyembuhkanku. Aku Johan—remaja itu memperkenalkan diri, dengan mata yang mendelik tajam ke arah Juhari.
Ia bisa melihat kekosongan di mata Johan—ia bisa merasakan suara-suara lain yang bersembunyi dalam diri Johan, suara-suara yang sama yang pernah didengarnya ketika masih berada di Dusun Geni, ketika Juhari mengobati seorang bocah perempuan yang dirasuki tujuh setan sungai, dan saat itu semua upayanya nyaris sia-sia karena meskipun Juhari telah berulang kali membacakan firman tuhan, bocah perempuan tak bergeming. Tujuh setan dalam tubuhnya makin merasa di atas angin. Lalu Juhari teringat dengan apa yang dikatakan ayahnya, setan-setan yang hidup dalam belenggu, mereka terikat dalam pemanggilan yang tak dibarengi dengan doa-doa. Bisa jadi mereka yang datang adalah setan-setan jahat, bukan roh-roh dari orang yang sudah mati, dan satu-satunya jalan mengusirnya adalah dengan keyakinanmu sendiri, jika kau terus dipenuhi ketakutan-ketakutan, mereka dengan leluasa menghancurkanmu, menghempas seluruh keyakinanmu hingga ke tepi—bahkan yang lebih parah melenyapkannya dari dirimu—kau tak akan pernah bisa tahu mana yang setan sungguhan atau arwah orang mati—Juhari kembali mendapatkan keyakinannya dan memercik air tempayannya ke wajah si bocah perempuan. Dan keajaiban pun terjadi, tubuh bocah perempuan itu mengeluarkan cahaya, cahaya yang teramat terang, yang menyilaukan mata siapa pun yang memandang. Dan ia tersungkur ke atas tanah. Setelah itu Juhari semakin yakin dengan apa yang diwarisinya dari Sarmun.
Johan mendelik tajam ke arah Juhari. Kali ini ia seperti bukan dirinya—kuasa arwah menguasainya dengan penuh.
Menyadari bahwa remaja itu tengah dirasuki, Juhari berupaya kembali mengikatnya dengan buntalan kain yang dibawanya—karena belenggu rantai yang mengikat Johan berhasil dilepaskan Juhari sebelumnya. Buntalan kain dililitkan pada tubuh Johan. Remaja itu meronta-ronta minta dilepaskan. Tapi Juhari tak melepasnya. Ia mengikatnya kembali ke pohon yang sama di mana remaja tersebut terikat pada mulanya.
Bebaskan anak ini dari derita. Aku Juhari Sarmun dari Dusun Geni, enyahlah!
Abah Juhari memercik air dari dalam sebuah tempayan yang telah dibacakannya dengan doa-doa.
Johan tak bereaksi. Tubuhnya dipenuhi bilur-bilur hitam. Lalu belatung-belatung menyerbu keluar dari lubang hidungnya.
Belatung-belatung itu membesar, seukuran pepaya. Menyerang Juhari.
Juhari mereguk air dari tempayannya, dan disemburlah belatung-belatung tadi. Tiba-tiba belatung menghilang dan menjelma ribuan kunang-kunang yang beterbangan ke atas langit.
Siapa pun kau yang menghuni tubuh anak ini, dengarlah. Ia tak berdosa. Ia tak pernah tahu bahwa kau sangat menyiksanya dengan cara seperti ini.
Aku Juhari Sarmun dari Dusun Geni, enyahlah!
Kali ini Johan bereaksi, ia berkata pada Juhari, “Kau lahir dari ketersesatan leluhurmu, Juhari. Kau lahir dari ketersiksaan kutuk leluhurmu. Kau tidak akan mampu mengenyahkan aku dari tubuh ini. Seperti halnya leluhurmu. Batara Maja. Ia mati setelah berjuang 40 hari 40 malam berupaya membuang sihir dari tubuh istrinya sendiri. Dan hal itu terulang pada ayahmu. Meski ia baru mati setelah usia yang sudah sangat renta. Dengarlah, Juhari. Kau bukan siapa-siapa bagiku. Kau bukan seorang imam yang menawarkan jalan surga. Kau bukan seorang Santo yang menawarkan jalan cahaya. Kau hanya bagian dari ketersesatan ayahmu, juga leluhurmu!”
“Dengan seluruh nama-Mu, dengan seluruh keagungan dzat Maha Tinggi, Yang Tak Dikalahkan, Yang Mengatur Segala Kehendak, enyahkanlah roh-roh jahat yang tersesat dalam diri anak ini. Hancurkanlah mereka dan benamkan tubuh-tubuh mereka ke dasar Jahanam!”
Johan kembali mendelik ke arah Juhari. Ia kembali berkata, “Dia tak akan mendengarmu, Juhari!”
Ketika itulah Juhari melihat kobar api yang mendadak mengepung tubuh Johan—kobarannya semakin besar ketika Juhari terus mengulang-ngulang kalimat pengusirannya terhadap arwah-arwah jahat, dan Juhari yakin bahwa kobaran api tidak menghanguskan tubuh Johan, tapi arwah-arwah yang terkurung dalam dirinya, merekalah yang musnah dan mengabu.
Tapi Johan tetap tak bisa diselamatkan. Ia kehabisan banyak tenaga karena pengaruh arwah yang terlalu lama menetap dalam dirinya. Di beberapa bagian tubuhnya timbul bilur-bilur hitam—Juhari kembali teringat saat ia menghadapi kematian Sarmun.
****
Pagi ahad ketika orang-orang Dusun Geni menemukan tubuhnya hangus terpanggang, berbagai kabar serentak berhembus, telinga ke telinga.
“Setelah berbulan-bulan mengembara, Juhari pulang ke kampung ini. Ia kembali melakukan rutinitasnya sehari-hari sebagai seorang petani di ladang. Bahkan ia sempat bercerita banyak padaku tentang dirinya, juga saat ia melakukan pengusiran arwah pada diri seorang bocah di pelosok yang entah. Sepulang dari sana—Juhari merasa ada yang selalu mengejarnya—kali ini bukan bayang Sarmun atau pun Saminah—tapi seperti kiriman badai yang berpusing—merasuk tubuhnya. Ia juga melihat banyak kunang-kunang bertebaran di mana-mana. Di jalan, di dinding-dinding tetangga, di ladang, di sungai-sungai, hingga di wajah-wajah setiap orang yang ditemuinya atau ingin bertemu dengannya. Juhari merasa nyaris gila karena setiap yang dilihatnya pastilah sosok arwah-arwah yang tak pernah dikenalnya—atau memang pernah dikenalnya dari tubuh-tubuh pasien yang ia tangani. Arwah-arwah yang pernah terkalahkan yang kini menyerang balik dirinya—menurut dugaanku mereka-mereka itulah yang memanggang tubuh Juhari—dengan daya sihirnya. #
Surabaya, 30 November 2018
Muhammad Daffa, lahir di Banjarbaru, Kalimantan Selatan, 25 Februari 1999. Menulis puisi dan cerpen. Buku puisi tunggalnya TALKIN(2017) dan Suara Tanah Asal(2018). Mahasiswa Bahasa Dan Sastra Indonesia, Universitas Airlangga.