Kolom

Mengubur Kisruh Demokrasi Liberal, Lestarikan Demokrasi Pancasila

Panggung politik.
Panggung politik. (Foto: Ilustrasi/Internet)

Mengubur Kisruh Demokrasi Liberal, Lestarikan Demokrasi Pancasila. Pesta demokrasi segera disambut 11 hari lagi. Pil demokrasi yang telah dikonsumsi genap selama 20 tahun ini menunjukkan efek samping bagi kesehatan bangsa dan negara. Pil yang langsung ditelan rakyat tiap 5 tahunan dengan berbagai aturan dosis minum untuk pilkada, pileg, hingga pilpres berubah-ubah seolah si dokter sedang bereksperimen dosis dan obat dalam mendiagnosa penyakit demokrasi yang sudah kronis.

Walhasil meminum pil demokrasi merusak organ tubuh pemerintahan bernegara berupa berbenturannya kepentingan antar lembaga negara institusi pemerintahan yang kerap kali disajikan ke meja publik, seolah suatu hal yang lumrah dalam sistem demokrasi yang menganut kebebasan. Berbagai kepentingan pribadi maupun golongannya larut serta berperan aktif menggembirakan pada pelaksanaan sistem demokrasi Liberal ini.

Perjalanan panjang bangsa Indonesia setelah merdeka telah diuji dengan berbagai pemberontakan yang berkeinginan untuk mengganti dasar negara Pancasila dan merubah bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pada masa pemerintahan presiden Soekarno-Hatta ujian terjadi melalui berbagai pemberontakan yang bertujuan mengganti sistem negara dan Pancasila sebagai dasar negara, diantaranya:

Pertama, pada tanggal 18 September tahun 1948 terjadi pemberontakan yang dilatarbelakangi ingin mengganti Negara Republik Indonesia yang berazaskan Pancasila menjadi Republik Soviet Indonesia yang berfaham Komunisme dibawah kepemimpinan Muso

Kedua, pada tanggal 7 Agustua 1949 Negara Islam Indonesia dideklarasikan dengan tujuan merubah Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila menjadi negara teokrasi dengan agama Islam sebagai dasar negara. Di bawah kepemimpinan Sekarmadji Maridjan Kartosuwiryo sebagai imam DI/TII pemberontakan ini terjadi di beberapa daerah mulai dari tahun 1950-1959 di Jawa Tengah dibawah kepemimpinan Amir Fatah, kemudian pada tahun 1953-1962 di Aceh dibawah kepemimpinan Daud Beureueh dan di Sulawesi Selatan pada tahun 1950-1965 dibawah kepemimpinan Kahar Muzakar meski pada tahun 1962 telah dibubarkan oleh pemerintahan Soekarno saat itu.

Ketiga, PKI kembali memberontak pada tanggal 30 September 1965 malam dan 1 Oktober 1965 (G30S/PKI) terjadi penculikan dan pembunuhan terhadap 6 Jenderal senior. Yang kemudian, menyatakan Dewan Revolusi Baru telah merebut kekuasaan dengan menyebut dirinya Gerakan 30 September (G30S).

Memanasnya situasi kebebasan demokrasi ditahun politik 2019 yang telah dimulai sejak 20 tahun yang lalu perlu menjadi satu perhatian khusus bagi seluruh elemen anak bangsa. Berbagai gesekan yang mulai meruncing mengalir diantara masyarakat karena masyarakat diperlihatkan perilaku elit politik yang tidak mampu menjadikan Ing Ngarso Sung Tulodho, Ing Madyo Mangun Karso, Tut Wuri Handayani sebagai pegangan hidup dalam meraih dan melaksanakan kekuasaan itu sendiri.

Saling tunjuk hingga saling tuding antar elit berpotensi memicu berbagai gesekan (hingga benturan) di masyarakat seperti sebuah cerminan yang terjadi pada benturan antar lembaga/institusi negara. Kemunculan isu Pancasila vs Khilafah baru-baru ini bagaikan membuka gerbang perpecahan bangsa yang tidak pernah kita inginkan, bahkan dalam mimpi siang bolong sekalipun.

Isu tersebut nampak seakan-akan terbentuk secara terstruktur, dengan diawalinya isu perang total yang sebagai konsumsi publik. Publik terhenyak seperti melihat sebuah sinetron mahabarata yang mengisahkan sebuah perang besar dengan melibatkan aktor-aktor di belakang layar untuk mengadu domba antara lima putra Pandu (Pandawa) dan sekutunya yang dipimpin oleh Yudistira melawan seratus putra Dretarastra (Korawa) dan sekutunya, yang dipimpin oleh Duryodana.

Sebuah kisah klasik yang memberikan hikmah pelajaran penting bagi nilai-nilai kehidupan peradaban umat manusia. Perang yang dilatarbelakangi perebutan kekuasaan mengakibatkan kehancuran yang luar biasa bagi keduabelah kubu.

Dalam sebuah buku yang berjudul NU Jadi Tumbal Politik Kekuasaan karya Choirul Anam menyebutkan, bahwasannya terdapat sebuah konspirasi untuk menghancurkan citra Islam dimata penduduk dunia. Mengapa?

Baca Juga:  Kontrakdiksi Politisasi Birokrasi dan “Good Governance”

“Sebab, dalam tulisan Edward Snowden, karena beberapa ajaran Islam sangat bertolak belakang dengan tujuan bisnis mereka. Contoh ajaran Islam yang melarang minuman khamer dan berjudi, juga larangan riba oleh kapitalis yang gemar berbisnis riba. Sebagai umat muslim yang hidup di Negara Kesatuan Republik Indonesia yang kita cintai ini, kita harus terus eling dan waspada dengan berbagai konspirasi yang khususnya dapat berpotensi memecah-belah Islam dan bangsa Indonesia. Terjadinya perpecahan antar pemeluk agama Islam menjadi dua kubu yang berseberangan akibat pesta demokrasi yang sebebas-bebasnya saat ini perlu kita sadari akan bahayanya bagi keberlangsungan bangsa dan negara.

Sebagai umat muslim kita seyogyanya kembali belajar dari peristiwa dalam memperebutkan kekuasaan dengan berbagai pemberontakan-pemberontakan di masa pasca kemerdekaan 1945. Begitu pula negara-negara di timur tengah yang rakyatnya dipecah belah antar sesama pemeluk agama. Selain daripada hal itu, sebagai rakyat Indonesia, kita tentu tidak menginginkan dikhotomi atau (seolah) pembelahan sesama pemeluk agama (Islam), sesama suku bangsa, sesama ras bangsa Indonesia, maupun antar suku, agama, ras dan antar golongan karena akan adanya kemunculan isu dasar negara baru yang berbentuk negara Islam.

Pada dasarnya perihal tersebut telah tuntas diperdebatkan dan kemudian juga telah disepakati secara musyawarah dan mufakat oleh para pendiri bangsa dimasa awal berdirinya Republik Indonesia, sehingga Pancasila adalah final. Dugaan alih-alih seakan-akan hendak bergesekan dengan Pancasila, sebagai anak bangsa, kembali kita harus tetap eling dan waspada jangan sampai bangsa Indonesia menjadi terpecah belah oleh pihak tertentu yang menginginkan bangsa Indonesia hancur ataupun demi mengamankan kepentingan-kepentingan tertentu (sesaat) yang dapat ditunggangi kepentingan besar oleh negara asing tertentu.

Kemunculan akan isu yang terus berkembang saat ini, kita jadikan dentuman besar didalam sanubari kita sebagai pemeluk agama Islam dan sebagai Rakyat Indonesia. Bahwasannya Pancasila sudah ada dan selalu hidup dalam diri kita (Rakyat Indonesia yang terdiri dari berbagai suku, agama, ras maupun golongan), selalu kita jaga, kita lestarikan dalam ketetapan batin, jiwa dan perilaku keseharian kita dalam kehidupan bermasyarakat, sebagai bagian anak bangsa, bagian dari Rakyat Indonesia, adalah hal yang kita junjung tinggi bersama sebagai Dasar Negara Indonesia.

Situasi yang semakin memprihatinkan dalam pesta demokrasi saat ini dengan adanya isu saling tikam psikologi, yang saat ini ramai berputar disebuah proses kebebasan demokrasi era reformasi sudah masuk tahap sangat memprihatinkan. Seolah tiada kepedulian dengan konsekuensinya, elit politik nampak bertikai dihadapan publik yang dapat mengakibatkan retaknya persatuan dan kesatuan di tingkat bawah, dikarenakan hanya untuk membela pihak yang dianutnya dalam pemilihan langsung secara serentak ini. Meski Indonesia telah mengarungi proses kebebasan demokrasi dalam kurun waktu seperlima abad semenjak reformasi bergulir, namun bangsa ini seolah tidak kunjung lebih dewasa, bahkan cenderung mengalami kemunduran.

Berbagai isu yang dapat mengadu-domba antar anak bangsa tumbuh dan berkembang subur mengkristalkan sebuah gesekan tingkat bawah, antar elemen bangsa disebabkan hilangnya kebijaksanaan elit yang sedang mengampu amanah kekuasaan dalam berusaha meraih kemenangan. Patut diduga isu perihal ideologi Pancasila yang sedang diotak-atik kembali seolah-olah hendak diganti, mesti menjadikan perhatian serius bagi seluruh anak bangsa.

Pancasila yang menjadi dasar filosofi kehidupan berbangsa dan bernegara merupakan hasil dari perjalanan yang penuh khidmat dan bijaksana, yang dalam perjalanannya telah mengalami berbagai macam ujian, cobaan dan pengorbanan besar oleh para pendahulu pendiri Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Bila kita melihat kembali dengan kacamata kebiijaksanaan pada diri kita, bangsa Indonesia, Pancasila telah ada jauh sebelum negara ini terlahir dan dijalankan oleh masyarakat umum dalam berperilaku kehidupan sehari-hari. Hingga saatnya tiba waktu kemerdekaan, menjadi sebuah kemufakatan dalam bermusyawarat para pendiri bangsa untuk menjadikan Pancasila sebagai dasar negara, satu pandangan hidup bersama bangsa Indonesia. Strategi dalam menempuh perjalanannya sebagai arah menuju kedaulatan, keadilan, kemakmuran dan kesejahteraan bangsa Indonesia.

Baca Juga:  Fenomena “Post Truth" di Pilkada Serentak 2024

Meski ujian dan cobaan Pancasila sebagai dasar negara Indonesia pernah mengarungi perjalanan sejarah kelam, pertumpahan darah faham komunisme, keinginan mendirikan negara Islam, yang kesemuanya hendak menggantikan dasar negara Pancasila, mengalami kegagalan. Hal ini dikarenakan dengan pemaksaan faham-faham yang akan menggantikan Pancasila sejatinya tidak berkesesuaian dengan kemajemukan, pribadi bangsa Indonesia yang saling hormat-menghormati sebagai pribadi-pribadi, golongan, ras, suku-suku, agama-agama sebagai sebuah keyakinan masing-masing orang dengan payung besar Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Kemudian kegagalan daripadanya itu, menjadi sebuah momentum bersama untuk mengembalikan kekuatan nasional bangsa Indonesia bersatu menjaga, menghayati nilai-nilai Pancasila dalam bingkai keluarga besar Bhineka Tunggal Ika yang saling menghormati, bergotong-royong, bermusyawarah mufakat, dan bersatu melawan segala bentuk penindasan, penjajahan maupun ancaman dan tantangan dalam mengisi kemerdekakan Indonesia.

Sejarah telah mengajarkan pada bangsa ini, sehingga kita musti kembali belajar bersama untuk selalu mawas diri dalam perjalanan kehidupan berbangsa dan bernegara. Karena sesungguhnya sistem kebebasan demokrasi sebebas-bebasnya ini, telah melahirkan keindividualisan, pengkotak-kotakan dalam golongan-golongan, terpisah dalam suku-suku, ras, dan agama, sehingga nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila terabaikan.

Berbagai perilaku elit politik tidak sepatutnya untuk saling melontarkan berbagai tuduhan kepada pihak lain yang dapat mengakibatkan perpecahan ditubuh NKRI. Hal ini seyogyanya, kita bersama-sama berpikir dan merenungkannya kembali dikarenakan ekses daripada itu akan menimbulkan konflik antar anak bangsa yang menjadikan cikal bakal perpecahan bangsa dan negara Indonesia.

Kebijaksanaan yang telah menjadi kepribadian bangsa Indonesia, yang sudah tumbuh sepanjang hidup tidak boleh diracuni hal-hal yang menjadikan diri kita lupa akan prinsip kekeluargaan dan kegotong-royongan, hormat-menghormati, tolong-menolong dengan sesama anak bangsa, sesama pemeluk agama/suku/ras dan golongan, antar pemeluk agama/suku/ras dan golongan.

Kedewasaan dan kematangan elit politik dan pemerintahan saat ini diuji dalam menyambut pesta demokrasi yang sedang berlangsung untuk memilih Kepala Negara dan sekaligus Kepala Pemerintahan Indonesia. Kontestasi demokrasi yang melibatkan langsung masyarakat dari tingkat grass root hingga tingkat elit diwarnai sebuah perjalanan berat karena diliputi berbagai macam perilaku saling menyalahkan dan mengklaim diri sebagai yang benar, bahkan kebenaran itu sendiri.

Nilai-nilai permusyawaratan jangan dikesampingkan dengan perilaku-perilaku secara tersembunyi maupun terbuka hanya untuk mengutamakan kepentingan pribadi maupun golongannya. Sepatutnya pemerintahan yang sedang mengemban tugas amanah kekuasaan lebih bijaksana tanpa mengedepankan kepentingan pendek tertentu saja, melainkan hanya untuk kepentingan nasional (negara) bagi seluruh rakyat Indonesia.

Pemerintah mempunyai sebuah amanah yang berkekuatan besar untuk selalu menjaga dan menjalankan amanah tersebut dengan sebaik-baiknya dan sebenar-benarnya. Amanah besar tersebut merupakan amanah yang mulia. Karena terdapat kepercayaan rakyat kepada pemimpin yang telah terpilih dalam kontestasi demokrasi setiap periode sebagai salah satu perwujudan dalam mengisi kemerdekaan, dalam mencapai keadilan dan kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia, bukan hanya segelintir orang saja.

Utamanya, pemangku kekuasaan membimbing, mencerdaskan, mengayomi, melindungi, menyejahterakan serta mengatakan sebuah kebenaran yang sebenar-benarnya tanpa musti mengingkari sebuah hal-hal yang sejatinya membahayakan situasi negara dimasa kini maupun mendatang.

Pancasila yang merupakan berkah dari Tuhan Yang Maha Esa bukan hanya sebagai slogan-slogan saja untuk memuluskan kepentingan tertentu, dia harus terus hidup dan berkembang dimasyarakat. Demokrasi yang berazaskan Pancasila tidak pernah mengajarkan sebuah tindakan-tindakan yang mengakibatkan kemelut dendam pribadi, golongan, suku, agama, ras, jangan sampai hanya tinggal sebuah slogan semata.

Baca Juga:  Runtuhnya Realitas di Era Budaya Pop

Bhineka Tunggal Ika yang menjadi anugrah bangsa Indonesia dengan berbagai perbedaannya harus dijunjung tinggi sebagai pemersatu dalam meraih cita-cita Kemerdekaan Republik Indonesia tahun 1945. Bukan sebagai slogan belaka apa lagi hanya menjadi alat sekadarnya dalam meraih sebuah kepentingan tertentu semata. Perjalanan demokrasi yang sebebas-bebasnya seperti halnya saat ini, dalam penyelenggaraan negaranya telah mengkotak-kotakkan anak bangsa.

Mengkristalnya keindividuan dan kekelompok-kelompokan, golongan, telah menggiring bangsa Indonesia menuju pada perpecahan. Bila kita sebagai anak bangsa tidak segera mengambil sikap untuk mawas diri, mengembalikan pondasi demokrasi yang berlandaskan Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa dan UUD Revolusi Kemerdekaan 1945 sebagai landasan konstitusionil berbangsa dan bernegara, kita bagaikan mengkhianati diri kita sendiri sebagai satu kesatuan utuh bangsa Indonesia.

Terhitung seperlima abad sejak reformasi, kebebasan demokrasi yang bangsa Indonesia jalani merupakan sebuah alat yang belum mampu secara signifikan mendekati perwujudan cita-cita kemerdekaan. Rakyat telah menyaksikan kegamangan sistem yang semakin ambigu dalam mencapai cita-cita besar kemerdekaan itu sendiri. Kita harus menghindarkan rakyat, bangsa Indonesia dari ancaman perpecahan akibat penyelenggaraan negara dengan sistem yang tidak berpijak pada azas demokrasi yang berpandangan hidup kepada kekeluargaan dan kegotong-royongan untuk bermusyawarah dalam permufakatan, Pancasila.

Mengingat kembali bahwa kita adalah satu keluarga besar, bangsa Indonesia, dan pemilihan presiden dalam pergantian periodenya bukanlah sebuah kompetisi tidak sehat yang mengandung makna peperangan secara total untuk mencapai kemenangan. Bila kita tidak kembali pada kepribadian kebijaksanaan bangsa kita yang mengedepankan sebuah permusyawaratan mufakat, niscaya sebuah pikiran perpecahan dengan stigma memerangi bangsa sendiri menjadi hal yang nyata. Oleh karenanya, hal ini harus segera dihentikan.

Bangsa Indonesia, para pejuang pendiri bangsa tidak mengingikan sebuah sistem pemilihan dalam pergantian kepemimpinan dengan sistem yang tidak sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia. Apalagi bila hal ini dijadikan sebagai sebuah alat pembenaran kepentingan melalui pemikiran untuk memerangi sodara sebangsa dan setanah air. Rakyat dan para pendiri bangsa telah berkorban jiwa dan raga untuk memerdekakan Indonesia, dan terus mempertahankan keutuhan bangsa dan negara dengan penuh kebijaksanaan. Sehingga kita tidak boleh terpancing dengan kepentingan-kepentingan sesaat dengan kembali mengorbankan rakyat Indonesia.

Ruh dan jiwa perjuangan serta rela berkorban dalam membela kebenaran dari para pejuang pendahulu kita tertanam dalam setiap sanubari rakyat Indonesia, hal ini jangan sampai tercemari oleh hal-hal yang sifatnya kepentingan sesaat. Jiwa dan raga yang melestarikan dan menjaga Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa Indonesia dan menjaga UUD Revolusi Kemerdekaan Indonesia tahun 1945.

Puncak momentum bagi seluruh Rakyat Indonesia telah sampai pada sebuah pintu gerbang emas guna kembali pada jati diri bangsa Indonesia, untuk memilih pemimpin yang berdedikasi, berintegritas, mengabdi pada kebenaran, berkomitmen menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia, mengamalkan serta melestarikan Pancasila sebagai pandangan hidup berbangsa dan bernegara dengan meletakkannya dasar konstitusionil UUD Revolusi Kemerdekaan Republik Indonesia tahun 1945.

Pancasila merupakan nilai-nilai universal yang lahir dan hidup dari sendi-sendi kehidupan masyarakat, bangsa Indonesia sejak zaman dahulu kala yang terus kita junjung tinggi. Jangan sampai kita terlena utamanya momentum pesta kebebasan demokrasi yang akan kita jalani bersama ditahun 2019 agar tidak menjadi perseteruan antar individu, kelompok atau golongan untuk dipecah-belah oleh kepentingan asing dengan kaki tangannya.

Tapi hal ini kita jadikan momentum besar bersama untuk mengembalikan Pancasila menjadi landasan pondasi dasar idiil dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dan UUD Revolusi Kemerdekaan Republik Indonesia tahun 1945 sebagai landasan konstitusionil di bumi pertiwi tercinta.

Oleh: Hartsa Mashirul, Direktur Indonesian Club

Related Posts

1 of 3,052