Ekonomi

Kebijakan Energi Jokowi Patut Dipertanyakan

Presiden Jokowi atau Joko Widodo (Foto: Setya/NUSANTARANEWS.CO)
Presiden Jokowi atau Joko Widodo (Foto: Setya/NUSANTARANEWS.CO)

NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Direktur CERI, Yusri Usman kepada redaksi NUSANTARANEWS.CO, Rabu (13/2) mempertanyakan kebijakan energi yang dikeluarkan oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi).

Ia menjelaskan, PT Adaro Energy dengan total produksi mencapai 56 juta metrik ton pertahun adalah salah satu dari 10 pemilik PKP2B (Perjanjian Karya Pengusahaan Batu Bara) generasi 1 yang awalnya lahan tambang ini milik PN Batubara.

Kata Yusri, hanya karena Kepres nomor 75 tahun 1996 Jo Keputusan Menteri Pertambangan dan Energi nomor 680.K/29/M/PE/1996 oleh Menteri IB Sujana telah diambil alih lahan tersebut kepada Pemerintah untuk dikerjasamakan dengan swasta. Bersamaan ketika waktu kontrak PKP2B generasi pertama ini akan berakhir tahun 2019 sampai tahun 2025.

Baca Juga: Mantan Dirjen Minerba Bongkar Karut Marut UU Minerba dan Divestasi Freeport

Seharusnya jika merujuk pada UU Minerba nomor 4 tahun 2009, maka harus dikembalikan kepada negara. Kemudian oleh Pemerintah diserahkan pengelolaannya kepada BUMN Tambang dan PLN kebutuhan PLTU nya dengan program 35.000 MW diperkirakan kebutuhan batubara pada tahun 2025 sudah mencapai 160 juta metrik ton pertahunnya, untuk menjaga ketahanan energi nasional jangka panjang.

Baca Juga:  Operasi Pasar Atasi Kelangkaan Gas Subsidi di Kabupaten Pidie Jaya

“Anehnya saat ini Pemerintah Jokowi-JK tidak melakukan kebijakan tersebut sesuai perintah UU Minerba,” kata Yusri.

Padahal 8 pemilik PKB2B dengan total produksi 180 juta metrik pertahun dapat diperoleh dengan gratis oleh BUMN Tambang dan PLN. Hal ini dikarenakan PKPB2B generasi pertama ini dikelola dengan skema Production Sharing contract. Artinya semua asetnya menjadi barang milik negara.

Sementara untuk mengakuisisi PI 40% Rio Tinto dan 9,36% di PT Freeport Indonesia, PT Inalum disuruh berhutang melalui global bond USD 4 miliar. Padahal pemerintah sendiri memiliki peluang besar mendapat gratis Freeport. Tetapi dilepas dengan entengnya oleh Pemerintah.

Tentu muncul pertanyaan menggelitik, kenapa Pemerintah Cq KESDM secara diam diam telah merevisi ke PP nomor 23 tahun 2010 ke-6 untuk digunakan sebagai payung hukum agar PKP2B itu bisa menjadi IUPK dan tetap dikelola oleh swasta.

Karena ada potensi kehilangan USD 2 miliar setiap tahun bagi keuntungan BUMN selain pajak dan royalti kalau Pemerintah tetap memberikan perpanjangan pengelolaanya kepada swasta swasta ini.

Baca Juga:  Kapal Cepat Sirubondo-Madura di Rintis, Ekonomi Masyarakat Bisa Naik

Terbukti PT Tanito Harum konon kabarnya telah diperpanjang kontraknya sejak 15 Januari 2019 oleh KESDM, sisanya seperti PT Arutmin Indonesia, PT Kaltim Prima Coal, PT Kendilo Coal Indonesian, PT Multi Harapan Utama, PT Kideco Jaya Agung (2023) PT Adaro Indonesia (2022) dan PT Berau Coal (2025) akan menyusul segera diperpanjang dalam bentuk IUPK setelah revisi ke PP 23 tahun 2010 diteken Presiden Jokowi.

Karena draft revisi PP nomor 23 tahun 2010 katanya sudah di meja Presiden, tinggal tanda tangan saja, dan sudah lolos proses harmonisasi dibeberapa kementerian.

“Padahal hasil revisi ke-6 PP nomor 23 tahun 2010 bertentangan dengan UU Minerba. Adakah yang bisa memberikan tanggapan apa dasar pemikiran Presiden Jokowi-JK sehingga menyikapi berbeda soal divestasi Freepot dgn 8 PKP2B? Apakah ada yang menyanderanya?” ujar Yusri Usman.

Pewarta: Romandhon

Related Posts

1 of 3,083