NUSANTATANEWS.CO – Tanggal 14 Februari seringkali hanya ditandai dengan perayaan hari Valentine (Valentine Day) alias Hari Kasih Sayang. Hari Valentine ini juga dirayakan kecil-kecil di Indonesia, khususnya bagi kalangan remaja yang tengah bergunga-bunga oleh cinta.
Hari Valentineadalah sebuah hari di mana para kekasih dan mereka yang sedang jatuh cinta menyatakan cintanya di Dunia Barat. Perayaan ini sekarang diasosiasikan dengan para pencinta yang saling bertukar kartu ucapan cinta kasih berbentuk “valentines”. Simbol modern Valentine antara lain termasuk sebuah kartu berbentuk hati dan gambar Cupido bersayap.
Di Amerika Serikat hari valentine diasosiasikan dengan ucapan umum cinta platonik “Happy Valentine’s”, yang bisa diucapkan oleh pria kepada teman wanita mereka ataupun teman pria kepada teman prianya dan teman wanita kepada teman wanitanya.
Ada yang menghubungan Hari Valentine dengan hari raya Santo Valentinus dengan cinta romantis pada abad ke-14 di Inggris dan Perancis, di mana dipercayai bahwa 14 Februari adalah hari ketika burung mencari pasangan untuk kawin. Kepercayaan ini ditulis pada karya sang sastrawan Inggris pertengahan ternama Geoffrey Chaucer pada abad ke-14.
Demikian sekelumit tentang Valentine Day’s. Mari menoleh lebih jauh ke beberapa abad yang silam. Dalam catatan sejarah, tertulis pada tanggal 14 Februari 748 M, Panglima Militer Abbasiyah yaitu Abu Muslim Al Khurasani berhasil menguasai Kota Merv (di Turkmenistan saat ini), Ibukota Provinsi Khurasan dari Bani Umayyah. Keberhasilan ini menandai konsolidasi perlawanan Bani Abbasiyah terhadap Kekhalifahan Umayyah.
Abu Muslim Al Khurasani
Tertulis dalam buku Abdul Fatah, dkk “Ensiklopedi Islam” (1993), Abu Muslim Al Khurasani bernama asli Abd Al-Rahman ibn Al-Muslim. Abdul Falah menukil satu pendapat sejarawan terdahulu bahwa, nama Abu Muslim Al Khurasani adalah nama panggilan yang diberikan oleh Ibrahim Al-Imam, salah seorang pimpinan tertinggi dari gerakan Bani Abbasiyah yang menentang kekuasaan khilafah Bani Umayyah pada zaman kemunduran dan kelemahannya. Pendapat tersebt, kata dia, ada benarnya kalau dilihat dari nama aslinya dan negeri asal dari tokoh ini.
“Kata Muslim jelas terdapat dari nama aslinya, sedangkan kata Al Khurasani merupakan negeri asalnya, yakni Khurasan. Di samping itu, pemberian nama tersebut juga bermaksud untuk menghilangkan jejak sebagai propagandis ulung dalam kaitannya menjatuhkan kekhilafahan Bani Umayyah. Dia dilahirkan di Isfahan pada tahun 113 Hijriyah/ 726 Masehi. Al Khurasani hidup pada masa kemunduran kekhalifahannya Abu Ja’far Al Mansur (754-775 M),” tulis Abdul Falah.
Data yang tertera dalam oxfordislamicstudies.com dinyatakan, Al Khurasani adalah seorang tokoh revolusioner yang cakap, yang banyak berjasa pada dinastinya dalam menumbangkan Bani Umayyah pada tahun 750 Masehi.
Harun Nasution dalam buku “Ensiklopedi Islam Indonesia” (1992) menegaskan bahwa, Al Khurasani mempunyai andil yang cukup penting dalam peristiwa pengangkatan khalifah Abbasiyah pertama di Kufah, yang mana hal ini tercapai karena adanya kemenangan militer yang dilancarkannya. Meskipun bukan sebagai orang yang melakukan operasi langsung di lapangan, namun al-Khurasanylah yang menjadi pengatur strategi.
Sementara itu, akademisi Islam berkebangsaan Mesir, Raghib As-Sirjani, di dalam bukunya “Ensiklopedia Sejarah Islam: Dari Masa Kenabian Sampai Daulah Mamluk” (2013) menukil periwayatan Baihaqi dari Hakim dengan sanadnya, bahwa Abdullah bin Mubarak ditanya mengenai Abu Muslim, manakah yang lebih baik: Abu Muslim atau Hajjaj? Dia menjawab, “Aku tidak mengatakan bahwa Abu Muslim lebih baik dari siapapun, hanya saja al-Hajjaj lebih buruk darinya; sebagian orang mengatakan dia Islam, yang lain menuduhnya zindiq, hanya saja aku tidak melihat dalam diri Abu Muslim al-Khurasani apa yang mereka tuduhkan. Bahkan sebaliknya, Abu Muslim adalah orang yang sangat takut kepada Allah terhadap dosa-dosanya, dan ia mengaku telah bertaubat atas pertumpahan darah yang dilakukannya pada saat menegakkan Daulah Abbasiyah. Hanya Allah Yang lebih Mengetahui tentang urusannya.”
Dara paparan di atas, terdapat dua versi nama Abū Muslim. Pertama, disebut bernama asli Ibrāhīm ibn ‘Uŝman dengan panggilan Abū Ishāq. Kedua, namanya diubah menjadi Abdurrahman ibn Muslim dengan panggilan Abū Muslim. Nama al-Khurasanī dinisbahkan kepada tempat kelahirannya di Khurasan. Maka nama populernya adalah Abū Muslim al-Khurasanī.
Tim Penulis Ensiklopedia Islam menyatakan, ketika Abu Muslim Al Khurasani berumur tujuh tahun dibawa ke Kufah dan tinggal sebagai pelayan atau budak dari ‘Isā ibn Ma‘qal al-Ajlī dan Idris ibn Ma‘qal al-Ajlī. Mereka berdua adalah pendukung gerakan bawah tanah yang ingin merebut kekuasaan dari Bani Umaiyah. Kedua majikannya tersebut ditangkap oleh gubernur Kufah, Yūsuf ibn ‘Umar dari Daulah Umaiyah karena diketahui terlibat dalam gerakan rahasia. Abū Muslim diajak oleh Sulaiman ibn Kaţir untuk bergabung dengan gerakan yang dipimpin oleh Ibrāhīm al-Imām, dan ia menerima ajakan itu, kemudian menemui sang pemimpin, Ibrāhīm al-Imām.
Sepak Terjang Abu Muslim Al Khurasani
Mengutip Syamruddin Nasution, dalam artikel “Politik Kepentingan: Analisis Historis Kasus Abū Muslim al-Khurasanī di Masa Daulah Umaiyah dan Abbasiyah” (Jurnal Ilmu Syari’ah dan Hukum, Vol. 47, No. 2, Desember 2013), dalam usia 19 tahun dia dikirim oleh Ibrāhīm al-Imām ke tanah kelahirannya al-Khurasan pada tahun 128 H/746 M sebagai propagandis. Di Khurasan dia berhasil mempercayakan publik sehingga gerakan bawah tanah yang dipimpin Ibrahim al-Imam dia deklarasikan menjadi oposisi terang-terangan dan berhasil menarik simpati sebagian besar penduduk Khurasan. Lebih dari itu para tuan tanah Persia bergabung dengan gerakan ini.
Syamruddin menyebutkan ada dua faktor keberhasilan Abū Muslim. Pertama, bahwa secara internal dia mendekati masyarakat ketururunan Persia yang satu suku dengan dia. Mereka selama ini diperlakukan tidak setara dengan keturunan Arab. Perlakuan ini memunculkan rasa antipati terhadap Daulah Umaiyah. Dalam kondisi seperti ni datanglah Abū Muslim. Maka mereka bergabung dengan Abū Muslim untuk menumbangkan Daulah Umaiyah.
Selanjutnya, tulis Syamruddin, pada tahun 129 H/747 M Ibrāhīm al-Imām memerintahkan kepada Abū Muslim untuk merebut Khurasan dan menghancurkan orang-orang Arab yang mendukung Bani Umaiyah di Khurasan. Hal tersebut diketahui oleh penguasa Daulah Umaiyah Marwan ibn Muhammad sehingga Ibrāhīm al-Imām ditangkap dan dihukum mati. Kepemimpinan gerakan ini kemudian beralih ke tangan saudaranya Abdullah ibn Muhammad yang lebih dikenal dengan Abū Abbas aş-Şaffah.
Pimpinan baru gerakan ini tetap memberikan kepercayaan kepada Abū Muslim untuk memimpin perlawanan di daerah Khurasan, sedangkan tokoh-tokoh gerakan lain dari keturunan Bani Hasyim seperti Abū Abbās, Abū Ja’far al-Manşūr, ‘Isā ibn Mūsā, dan ‘Abdullah ibn ‘Alī, menggerakkan pemberontakan di daerah Kufah, Damaskus, Palestina, danYordania.
Kemudian Abū Muslim mengumpulkan seluruh kelompok yang menentang Daulah Umaiyah di Khurasan dan memanfaatkan pertentangan antara sesama orang Arab; yaitu orang Yaman dan orang Mudar di Khurasan. Dia minta bantuan orang Yaman untuk menjatuhkan gubernur Daulah Umaiyah di Khurasan yaitu Naşr ibn Sayyar dari orang Mudar. Gubernur Naşr pun dapat dikalahkan.
“Faktor kedua dari keberhasilan Abū Muslim dalam gerakannya di Persia adalah kelihaiannya mengadu dua kekuatan besar keturunan Arab di Khurasan, yaitu antara suku Yaman dan suku Mudar. Dengan cara begitu dia berhasil menjatuhkan gubernur Daulah Umaiyah Naşr ibn Sayyar di Khurasan. Gubernur Khurasan sebelumnya adalah As’ad ibn Abdullah, keturunan Yaman. Dia menyisihkan orang Mudar dari pemerintahan sehingga orang Mudar benci kepada orang Yaman,” tulis Syamruddin menukil buku “Ensiklopedi Islam Indonesia”.
Setelah Abū Abbās aş-Şaffah dibai‘at menjadi Khalifah pertama Daulah Abbasiyah pada tahun 750 M, Abū Muslim diangkat menjadi gubernur Khurasan. Abū Ja’far bermaksud memindahkan jabatan Abū Muslim dari gubernur Khurasan menjadi gubernur di Syiria dan Mesir, tetapi ditolak oleh Abū Muslim karena menganggap bahwa Khurasan adalah milik dan tanah kelahirannya.11 Sebelumnya, sewaktu terjadi pemberontakan pada masa kekuasaan Abū Ja’far al-Manşūr (754-775 M) yang didalangi oleh ‘Abdullah ibn ‘Alī, paman Abū Ja’far al-Manşūr yang ingin menjadi Khalifah sepeninggal Abū Abbās aş-Şaffah, Abū Muslim ditugaskan memadamkan pemberontakan tersebut, saat ini dia masih taat pada Khalifah.
Abu Muslim mulai membangkang kepada Khalifah al-Mansur pertama sewaktu akan dipindahkan dari gubernur Khurasan menjadi gubernur Mesir dan Syiria. Kedua, sewaktu dia diundang menghadap Khalifah. Akhirnya Abū Ja’far al-Manşūr menganggapnya sebagai saingan utama bagi kekuasaannya dan kelangsungan Daulah Abbasiyah di kemudian hari akhirnya Abū Muslim dibunuh.
Abu Muslim Kuasai Kota Merv: Umaiyah Tumbang, Berdirilah Abbasiyah
Syamruddin sebelumnya menulis dalam bukunya “Sejarah Peradaban Islam Masa Klasik”, bahwa sejak ‘Umar ibn ‘Abdul Azīz (717-720 M / 99-101 H) -khalifah ke-8 dari Daulah Umaiyah- naik tahta, telah muncul gerakan oposisi yang hendak menumbangkan Daulah tersebut yang dipimpin oleh ‘Alī ibn Abdullah, cucu ‘Abbās ibn ‘Abdul Muţālib, paman Nabi dari kelompok Sunni. Kelompok Sunni ini berhasil menjalin kerja sama dengan kelompok Syi’ah, karena mereka sama-sama keturunan Bani Hasyim.
“Kedua kelompok ini juga menjalin kerja sama dengan orang-orang Persia, karena orang-orang Persia dianaktirikan oleh Daulah Umaiyah, baik secara politik, ekonomi maupun sosial. Padahal mereka sudah lebih dahulu memiliki peradaban maju. Tujuan aliansi adalah untuk mengembalikan dan menegakkan kepemimpinan Bani Hasyim dari garis keturunan Nabi Muhammad dari pamannya Abū Ţālib, yaitu Syi’ah maupun dari garis keturunan Nabi dari pamannya ‘Abbās dengan merebutnya dari tangan Bani Umaiyah. Untuk mencapai tujuan itu berbagai kelemahan Daulah Umaiyah, mereka manfa’atkan sebaik-baiknya,” tulisnya sebagaimana ia nukil dari Siti Maryam dkk., dalam “Sejarah Peradaban Islam”.
“Mereka melantik dan menyebar para propagandis terutama untuk daerah-daerah yang penduduknya mayoritas bukan orang Arab. Tema propagandis ada dua. Pertama, al-Musawah (persamaan kedudukan). Kedua, al-Işlāh (perbaikan), yang berarti kembali kepada ajaran al-Qur’an dan Hadis,” imbunya.
Lebih lanjut Saymruddin memaparkan, dalam usaha menumbangkan Daulah Umaiyah, pada mulanya mereka melakukan gerakan rahasia. Akan tetapi ketika aliansi dipimpin oleh Ibrāhīm ibn Muhammad, gerakan itu berubah menjadi gerakan terang-terangan. Perubahan itu terjadi setelah mereka mendapat sambutan luas, terutama di wilayah Khurasan yang mayoritas penduduknya muslim non-Arab, dan setelah masuknya seorang Jenderal cekatan ke dalam gerakan ini, yaitu Abū Muslim.
“Abū Muslim adalah seorang budak yang dibeli oleh Muhammad, ayah Ibrāhīm. Dia adalah kader yang dididik oleh Muhammad dan tinggal bersama anaknya Ibrāhīm. Pada tahun 129 H/747 M Abū Muslim dikirim Ibrāhīm sebagai propagandis ke tanah kelahirannya dan mendapat sambutan yang baik dari penduduk. Dia membentuk pasukan militer yang terdiri dari 2.200 orang infantri dan 57 pasukan berkuda,” tuturnya.
Selain itu, Ibrāhīm al-Imām memerintahkan kepada Abu Muslim untuk merebut Khurasan dan menghancurkan orang-orang Arab yang mendukung Bani Umaiyah di Khurasan. Hal tersebut diketahui oleh penguasa Daulah Umaiyah Marwan ibn Muhammad, sehingga Ibrāhīm al-Imām ditangkap dan dihukum mati. Kepemimpinan gerakan ini kemudian beralih ke tangan saudaranya ‘Abdullah ibn Muhammad yang lebih dikenal dengan Abū ‘Abbās aş-Şaffah.
“Sebelum diekskusi mati, Ibrāhīm al-Imām mewasiyatkan kepada Abū ‘Abbās agar pindah ke Kufah. Abū ‘Abbās segera pindah ke Kufah diiringi oleh para pembesar Abbasiyah yang lain, seperti Abū Ja’far, ‘Isā ibn Mūsā dan ‘Abdullah ibn ‘Alī. Penguasa Daulah Umaiyah di Kufah berhasil ditaklukkan oleh Abbasiyah dan diusir dari Kufah. Perlu kiranya dicatat bahwa pada saat-saat terakhir kekuasaan Daulah Umaiyah, tepatnya menjelang tahun 132 H, Kufah menjadi pusat perhubungan antara Khurasan dan Hamimah (tiga pusat kota basis perlawanan Bani Abbasiyah). Kota tersebut menjadi pusat pertemuan tentara yang datang dari Khurasan dengan kelompok Ahlul Bait yang melarikan diri dari Hamimah,” papar Syamruddin mengutip keterangan historis dari buku “Sejarah Kebudayaan Islam” karya Ahmad Syalabi.
Dalam pada itu, lanjut Syamruddin, Abū Muslim memerintahkan panglimanya, Qutaibah ibn Syahib untuk merebut seluruh wilayah Kufah. Dalam gerakannya menuju Kufah, dia dihadang oleh pasukan Daulah Umaiyah di Karbela. Pertempuran sengit pun terjadi. Dia memenangkan peperangan itu, akan tetapi dia tewas.
Pewarta: Achmad S.
Editor: M. Yahya Suprabana