Opini

Bahaya Aneksasi Cina Komunis (Bagian I)

Jika Ingin Jadi Negara Tangguh, Bumiputra Wajib Kuasai Sektor Kekuatan Indonesia
Direktur Eksekutif Center Institute of Strategic Studies (CISS) M. Dahrin La Ode. (Foto Dok. NUSANTARANEWS.CO)

NUSANTARANEWS.CO – Harian Umum Kompas, pada tanggal 8 Dessember 2018 pada halaman 2 kolom 3-6 memberitakan artikel judul Toleransi Hadapi Tantangan Kompleks. Substansi beritanya bahwa ada 10 kota dengan skor toleransi tertinggi yakni: Kota Singkawang dengan skor 6,513; Salatiga dengan skor 6,477; Pematang Siantar dengan skor 6,280; Manado dengan skor 6,030; Ambon dengan skor 5,960; Bekasi dengan skor 5,890; Kupang dengan skor 5,857; Tomohon dengan skor 5,833; Binjai dengan skor 5.830; dan Surabaya dengan skor 5,823. Rentang nilai 0-10, semakin tinggi skor berarti semakin toleran. Begitu tulis Kompas.

Dari berbagai sumber dikumpulkan bahwa selama 4 (empat) tahun terakhir telah berseliweran diberbagai media elektronik, media sosial, media cetak tentang isu-isu intoleran, radikalisme, SARA, rasis, diskriminatif, terorisme, ‘saya Pancasila saya Indonesia’, ujaran kebencian dan lain seterusnya.

Maka tak ayal isu-isu itu telah berhasil membuat masyarakat terpecah belah dalam sikap politik pro dan kontra tentang status politik kelompok etnis Cina Indonesia (ECI) dan Cina Komunis.

ECI adalah bangsa Indonesia dan ada yang mengatakan ECI bukan bangsa Indonesia tetapi ECI keturunan imigran dari Cina daratan atau negara Cina Komunis. Lucunya menurut Prof. Dr. Koentjaraningrat silsilahnya kelompok etnis yang paling lengkap di Indonesia adalah kelompok etnis Batak hingga 16 tingkatan.

Baca Juga:  Artileri Berat Korea Utara Dalam Dinas Rusia Dikonfirmasi

Mendengar deskripsi itu, sontak orang termangguk-mangguk karena dia baru tahu (sikap Pribumi). Namun ketika mendengar deskripsi bahwa ekonomi nasional dewasa ini antara 75% sampai dengan 80% didominasi kelompok ECI, sontak pula orang menyanggah dengan kata “jangan rasis dong Pak” (sikap Pribumi).

Padahal kedua deskripsi itu benar adanya. Deskripsi pertama tentang silsilah kelompok etnis Batak Pribumi Nusantara Indonesia. Deskripsi kedua tentang dominasi ekonomi ECI yang berstatus politik Non Pribumi.

Mengapa Pribumi bersikap pro dan kontra seperti itu terhadap Non Pribumi ECI dan Cina Komunis?

Maunya Penguasa Politik ECI Baru Toleran

Rilis Kompas tentang 10 kota toleran di Indonesia, tak harus divalidasi benar atau salah. Meskipun teknik pengumpulan datanya tidak dijelaskan Kompas. Dengan perkataan lain, maksud dikutip hanya menjadi pengetahuan politik subjektivitas ECI dan Cina Komunis ditemukan dengan pasti. Bukan hanya analisis seperti selama ini diketahui banyak orang.

Sesuai realitas politik, di Kota Singkawang bahwa Walikota Singkawang seorang warga ECI perempuan bernama Thjai Chui Mie. Ia terpilih menjadi Walikota Singkawang saat Pilkada serentak tanggal 27 Juni 2018. Ia didukung PDIP dan meraih 42,60% dari total suara pemilih.

Baca Juga:  Untuk Kesekian Kalinya, Putin Menunjukkan Bahwa Ia Tidak Menggertak

Terpilihnya Kota Singkawang sebagai kota paling toleran di Indonesia, terdapat korelasi antara kemauan subjektivitas politik kelompok ECI di Indonesia dengan isu-isu intoleran, rasis, SARA, diskriminasi, ujaran kebencian, dan lain seterusnya.

Ternyata riuhnya isu-isu itu ada sponsornya yakni ECI dan Cina Komunis tentunya (hubungan tradisionalisme Cina Daratan yang komunis dengan Cina Perantauan).

Tampaknya menurut pesan sponsor, maunya penguasa politik ECI baru toleran. Kemauan subjektivitas ECI dan Cina Komuns itu, tentunya kekuasaan politik nasional juga.

Jika belum tercapai maka konsekuensinya, pribumi dan ummat Islam senantiasa akan dituduh ECI dan Cina Komunis sebagai pihak yang intoleran, diskriminatif, SARA, rasis, radikalisme dan lain seterusnya.

Dalam psikologi politik seperti ini, pribumi dan ummat Islam tidak berani menuntut kepada pemerintah meskipun dia sudah merasa tidak adil.

Kekuatan ECI dan Cina Komunis Bidang Ekonomi

ECI memiliki kuasa ekonomi nasional antara 75 %-80 %. Cina Komunis memiliki kuasa ekonomi nasional setelah memasukkan investasinya di Indonesia dan pinjaman kepada pemerintahan Jokowi dalam jumlah besar.

Baca Juga:  Memilih Ketua MA di Era Transisi Kepemimpinan Nasional

Dua kekuatan ini tak ayal pemerintahan Jokowi semacam menjadi pesuruh ECI dan Cina Komunis dalam hal politik dalam negeri. Bebas menekan kekuatan politik Pribumi dan Ummat Islam hingga pada tingkat ketidak adilan politik dan hukum.

Semuanya dipenuhi Jokowi untuk menyenangkan ECI dan Cina Komunis. Pihak ini disebut Pro ECI dan Cina Komunis. Di sisi lain Pribumi dan Ummat Islam yang paling ngotot untuk merdeka dari penjajahan bangsa Belanda, dalam perspektif ini menjadi objek ketakadilan.

Pihak inilah yang bersikap kontra terhadap ECI dan Cina Komunis. Berhubung kemerdekaan sebagai hak-hak sipilnya yang sangat fundamental namun Pemerintahan Jokowi “mengampuatasinya” untuk dibagikan kepada ECI dan Cina Komunis.

Padahal, hingga saat ini dua pihak itu masih berstatus pengkhianat terhadap bangsa Indonesia, Islam, politik, ekonomi, dan ideologi Pancasila. Dalam pada itu, sekali lagi maunya penguasa politik ECI baru toleran.

Ini ironi politik dalam negeri yang berkembang pesat di Era Jokowi. Penopang utamanya ialah Mendagri Tjahyo Kumolo, Luhut Binsar Panjaitan, dan Rini Soemarno.

*M.Dahrin La Ode, Penulis adalah Direktur Executive CISS.

Related Posts

1 of 3,056