Artikel

Merekontruksi ‘Perayaan’ Hari Pekerja

Oleh: Nur Faizin Darain*

NUSANTARANEWS.CO – Layaknya hari raya, Hari Buruh Internasional dapat kita maknai sebagai hari raya para pekerja. Hari raya adalah semangat. Sebuah keterpanggilan tidak hanya untuk menyuarakan hak-hak kaum pekerja, tapi juga menginternalisasi semangat kerja ke dalam kehidupan sehari-hari.

Semangat kerja memiliki relevansi kognitif sebagaimana menjadi jargon pemerintahan Jokowi-JK, kerja, kerja, kerja. Tidak hanya bagi buruh dan pekerja lepas (freelance), jargon tersebut menjadi harapan dan semangat untuk memperoleh penghasilan layak bagi seluruh elemen bangsa di negara merdeka Indonesia. Dalam kalimat kerja tak ada sekat antara bawahan dan atasan, antara pekerja bangunan dan karyawan kantoran, antara menteri dan tukang photo copy, atau antara presiden dan rakyat. Semua elemen sama di dalam kapasitasnya masing-masing.

Dalam kamus bahasa Indonesia, seseorang yang melakukan kerja atau bekerja dan atau melakukan suatu pekerjaan disebut sebagai pekerja. Pemaknaan tersebut sama halnya pada semangat Hari Buruh Internasional yang dihelat saban 1 Mei. Menelisik semangat jargon kerja, tentu hari buruh dapat kita rayakan sebagai hari pekerja. Mengapa pekerja? Semangat kerja tidak hanya dimiliki oleh mereka yang bekerja di pabrik, tetapi juga menjadi semangat seluruh elemen bangsa dalam setiap kapasitasnya masing-masing.

Konotasi Negatif ‘Buruh’

Mindset kata buruh selama ini berkonotasi negatif. Buruh sudah dikenal sejak sebelum Indonesia merdeka dan atau sejak sebelum revolusi industri yang merebak di negara-negara maju. Sejak revolusi industri terjadi di Eropa pada sekitar tahun 1750-1850-an buruh (labour) dinisbatkan pada sosok pekerja kasar atau mengandalkan semata-mata kekuatan fisik.

Mereka menyebar di pelbagai bidang industri, seperti pertanian, perikanan, manufaktur, pertambangan, transportasi, teknologi, informasi dan lainnya. Bahkan tidak jarang mereka layaknya mesin yang memproduksi benda atau teknologi yang mereka sendiri tidak bisa memperolehnya. Hingga kini buruh dan kuli masih dipakai dalam literatur yang mengacu pada pekerja kasar.

Kita sudah merdeka, jadi tak layak menempatkan diri kita pada posisi sebagai sekedar buruh, kuli, dan kalimat berkonotasi rendah lainnya. Bagi kaum pekerja yang identik dengan semangat memperoleh penghasilan layak, kata buruh tidak elok lagi direkatkan pada mereka yang bekerja di pabrik atau pekerjaan kasar lainnya. “Kerja” yang ditekankan pada usaha mencari nafkah memiliki makna mendapatkan penghasilan (to ern) yang layak, tidak sekedar mendapatkan gaji (to get a money). Saatnya merubah mindset sebagai pekerja (worker), bukan buruh (labour) yang acap disuruh atau bekerja dengan peran minimalis.

Saban tahun kaum pekerja melakukan aksi massa, turun ke jalan, dan menuntut hak-hak mereka untuk memperoleh upah dan penghidupan yang layak. Ribuan pekerja (buruh) menuntut pemerintah membuat regulasi yang memihak mereka. Walaupun sejatinya pemerintah telah terus berupaya membuat regulasi yang sama-sama menguntungkan dan menjembatani (buruh dan pengusaha), tetap saja demonstrasi selalu ditujukan kepada pemerintah.

Penulis tidak mengkritisi kawan-kawan pekerja melakukan aksi demonstrasi ke pemerintah. Itu sah-sah saja. Aksi tersebut dapat menjadi penyeimbang keberpihakan pemerintah terhadap industri. Akan tetapi yang perlu diperhatikan, spirit berkelompok kaum pekerja seyogianya lebih menekankan pada pembenahan dan pemanfaatan sumber daya internal, baik kaum pekerja sendiri dan atau pihak industri melalui skema hubungan industrial (bipartit dan tripartit). Seyogianya aliansi pekerja atau buruh memanfaatkan skema hubungan industrial dengan menekankan pemanfaatan kapasitas pekerja dan dialog mufakat.

Spirit Serikat Buruh Jerman

Semangat kaum pekerja dapat kita contoh pada spirit yang dimiliki Serikat Buruh Jerman (Deutsche Arbeitsfront). Serikat tersebut tidak hanya turun ke jalan dan meneriakkan hak-haknya sebagai pekerja, tetapi mereka berserikat mendirikan pabrikan otomotif Wolkswagen yang berbasis di Wofsburg, Lower Saxony, Jerman pada tahun 1937. Tidak banyak yang tahu pabrik yang menghasilkan mobil berkelas seperti Audi, Bentley, bugatti, Lamborghini, Scania tersebut berawal dari otokritik kelompok pekerja untuk benar-benar memperoleh upah dan penghidupan yang layak.

Banyaknya serikat buruh atau kelompok pekerja di Indonesia seyogianya tidak semata-mata melakukan demonstrasi besar-besaran tanpa melakukan peningkatan kapasitas dan keterampilan kelompoknya. Nah, bila kelompok pekerja hanya dimanfaatkan “sekedar” demonstasi tanpa aksi pelatihan keterampilan sama saja memanfaatkan massa pekerja untuk kepentingan gerakan politik pihak-pihak tertentu. Inilah yang perlu disadari dan dijadikan pembelajaran bagi kita semua.

Kelompok pekerja di Indonesia dapat belajar dari kelompok gerakan buruh di negara-negara maju. Tidak sedikit gerakan buruh di negara maju sukses tidak hanya sebagai paguyuban, pun juga jembatan optimalisasi peran pekerja dalam memperoleh haknya secara nyata. Mengapa kaum buruh di beberapa negara Eropa sukses membentuk aliansi hingga partai politik? Sebab mereka memiliki cita-cita bersama untuk setara dan bangkit dari penindasan.

Semangat kerja atau bekerja dapat menjadi momentum bagi para pekerja atau kelompok pekerja untuk bangkit menata aliansi. Marxisme mengajarkan kaum pekerja untuk melawan segala bentuk penindasan dan kapitalisme. Spirit Marxis dapat diinternalisasi pada kaum pekerja menjadi gerakan bersama, tidak hanya menyuarakan hak-haknya pada pemerintah, juga menjadi landasan berpikir dan berpijak untuk mandiri tanpa menggantungkan kesejahteraan hidup pada pemberi kerja.

*Nur Faizin Darain, alumnus Pascasarjana Sosiologi UGM Yogyakarta.
Editor: M. Romandhon

Related Posts

1 of 7