ArtikelEkonomiKolom

Unsur Penipuan (Fraud) Atas Rekayasa Laporan Keuangan Garuda Indonesia, Terbukti!

garuda indonesia, pertamina, harga tiket pesawat, nusantaranews
Menyoroti Garuda Indonesia dan Pertamina Terkait Mahalnya Harga Tiket Pesawat. (Foto: Ilustrasi/NUSANTARANEWS.CO)

Oleh: Defiyan Cori, Ekonom Konstitusi

NUSANTARANEWS.CO – Setelah Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)  melalui Anggota I Badan Pemeriksan Keuangan, Agung Firman Sampurna mengungkapkan bahwa BPK menemukan sejumlah masalah dalam hasil audit laporan keuangan PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk. Secara umum BPK melihat ada dugaan kuat terjadi financial enginering seperti disampakan oleh Agung pada tanggal 20 Juni 2019.

Anggota I BPK tersebut lebih jauh mengungkapkan bahwa BPK menemukan salah satu masalah itu adalah soal pengakuan piutang Garuda yang dicatatkan dalam laporan keuangannya, tapi intinya menurut anggota BPK ini adalah temuannya banyak.

Agung menjelaskan, temuan itu diketahui setelah BPK melakukan sidang badan sehari sebelum tangga 20 Juni 2019. Dalam sidang itu auditor BPK menyampaikan hasil review terhadap kantor akuntan publik yang melakukan pemeriksaan audit laporan keuangan Garuda. Kemudian, hal yang sama juga disampaikan oleh Sekretaris Jenderal Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Hadiyanto yang menduga proses audit keuangan Garuda Indonesia belum sepenuhnya mengikuti standar akuntansi yang berlaku. Tapi pihak Kementerian Keuangan menyatakan bahwa tidak bisa serta merta kami memuutuskan sanksinya. Berbeda dengan BPK dan Kementerian Keuangan, pihak Otoritas Jasa Keuangan (OJK) justru telah menetapkan sanksinya berupa denda sebesar Rp 1,25 Miliar dan masing-masing Direksi serta Komisaris sebesar Rp 100 Juta.

Pertanyaannya adalah, apakah pelanggaran rekayasa laporan keuangan (istilah populernya make up) oleh Direksi BUMN Garuda Indonesia yang merupakan maskapai kebanggaan bangsa Indonesia ini dibiarkan begitu saja, atau hanya cukup denda administratif yang dibayarkan ke OJK? Apalagi, secara terbuka pihak manajemen Garuda Indonesia melakukan perubahan atas laporan keuangan Tahun Anggaran (Buku) 2018 dan menyatakan (financial report restatement) bahwa korporasi mengalami kerugian Rp Rp 2,4 Triliun, yang sebelumnya laporan keuangan mencatatkan laba Rp 11,5 Miliar. Artinya, selisihnya merupakan rekayasa laporan atau penipuan yang telah dilakukan oleh Direksi Garuda Indonesia. Lalu pertanyaan berikutnya adalah, apa tindakan pemerintah, baik itu Menteri BUMN sebagai kuasa Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), Menteri Perhubungan sebagai lini koordinasi sektor dan terlebih Presiden Joko Widodo atas perbuatan ini?

Rekayasa Yang Mempermalukan

Sejumlah standar telah dibentuk sebagai bagian dari International Financial Report Standard (IFRS) yang dahulu dikenal dengan nama Internasional Accounting Standards (IAS). IAS dikeluarkan antara tahun 1973 dan 2001 oleh Badan Komite Standar Akuntansi Internasional (bahasa Inggris: Internasional Accounting Standards Committee (IASC)). Pada tanggal 1 April 2001, International Accounting Standard Board melalui Standar Akuntansi Internasional dari IASC.

Baca Juga:  Kondisi Jalan Penghubung Tiga Kecamatan Rusak di Sumenep, Perhatian Pemerintah Diperlukan

Tujuan keseluruhannya adalah untuk menciptakan dasar guna standar akuntansi pada masa mendatang yang berbasis prinsip, konsisten secara internal dan diterima secara internasional. Karena hal tersebut, (dewan) IASB dan FASB Amerika Serikat melaksanakan proyek secara bersama.

Demikian pula halnya dengan perusahaan-perusahaan (termasuk BUMN) di Indonesia, telah pula memiliki bermacam macam standar akuntansi yang digunakan di berbagai entitas usaha dan organisasi. Standar akuntansi di Indonesia juga mengacu pada teori yang ada seperti layaknya IFRS yang di gunakan pada skala global. Sedangkan penggunaan IFRS sendiri ditentukan karena Indonesia merupakan anggota IFAC (Internatinal Federation of Accountants) yang menjadikan IFRS sebagai standar akuntansi di Negara Kesatuan Republik Indonesia .

Saat ini ada 4  macam standar akuntansi yang  diterbitkan oleh Dewan Standar Ikatan Akuntan Indonesia (DSAK IAI) dan telah ada 1 (satu) acuan standar yang dikeluarkan oleh Komite Standar Akuntansi Pemerintahan (KSAP). Standar yang telah ditetapkan ini banyak dipakai oleh kebanyakan entitas, baik oleh pihak swasta maupun lembaga negara.

Jika akhirnya laporan keuangan Garuda Indonesia disampaikan ulang, dan terbukti adanya selisih dari pernyataan awal yang mencatatkan laba Rp 11,5 Miliar dan dirubah menjadi rugi Rp 2,4 Triliun, atau rekayasa akuntansinya adalah sejumlah Rp 2,411,5 Triliun. Maka secara logis dapat disimpulkan bahwa laporan keuangan Garuda Indonesia tak memenuhi kaidah-kaidah yang telah menjadi acuan secara nasional dan internasional, dan hal ini merupakan perbuatan yang memalukan rakyat, bangsa dan negara Indonesia, tidak hanya Presiden Republik Indonesia. Pelanggaran rekayasa laporan keuangan ini telah membuat publik tidak memperoleh informasi keuangan dengan benar, obyektif dan faktual serta tak menggambarkan kondisi yang ada.

Penipuan Pada Rakyat Dan Presiden

Direksi Garuda Indonesia (berdasarkan keberatan 2 (dua) orang Komisaris) jelas sudah melakukan pelanggaran hukum berupa penipuan. Persoalan pokok kejahatannya bukan pada penipuannya secaea langsung, akan tetapi adalah pada tanggung jawab Direksi atas penyediaan informasi keuangan berupa laporan keuangan yang akuntabel dan memenuhi Standar Akuntansi Keuangan yang berlaku Sesuai Pasal 66 Undang-Undang No 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas yang menyatakan:

Pertama, diireksi menyampaikan laporan tahunan kepada RUPS setelah ditelaah oleh dewan komisaris dalam jangka waktu paling lambat 6 (enam) bulan setelah tahun buku perseroan berakhir.

Baca Juga:  Membanggakan di Usia 22 Tahun, BPRS Bhakti Sumekar Sumbang PAD 104,3 Miliar

Kedua, laporan tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memuat sekurang-kurangnya: (a), Laporan keuangan yang terdiri atas sekurang-kurangnya neraca akhir tahun buku yang baru lampau dalam perbandingan dengan tahun buku sebelumnya, laporan laba rugi dari tahun buku yang bersangkutan, laporan arus kas, dan laporan perubahan ekuitas, serta catatan atas laporan keuangan tersebut. (b), Laporan mengenai kegiatan Perseroan.

Selanjutnya adalah huruf, (c), Laporan pelaksanaan tanggung jawab sosial dan lingkungan. (d), Rincian masalah yang timbul selama tahun buku yang mempengaruhi kegiatan usaha perseroan. (e), Laporan mengenai tugas pengawasan yang telah dilaksanakan oleh dewan komisaris selama tahun buku yang baru lampau. (f), Nama anggota direksi dan anggota dewan komisaris, dan (g), Gaji dan tunjangan bagi anggota direksi dan gaji atau honorarium dan tunjangan bagi anggota dewan komisaris perseroan untuk tahun yang baru lampau.

Laporan keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a disusun berdasarkan standar akuntansi keuangan. Neraca dan laporan laba rugi dari tahun buku yang bersangkutan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a bagi perseroan yang wajib diaudit, harus disampaikan kepada Menteri terkait sesuai dengan ketentuan peraturan Perundang-Undangan.

Lebih lanjut Pasal 68 menyatakan bahwa (1) Direksi wajib menyerahkan laporan keuangan perseroan kepada akuntan publik untuk diaudit apabila: Kegiatan usaha Perseroan adalah menghimpun dan/atau mengelola dana masyarakat, Perseroan menerbitkan surat pengakuan utang kepada masyarakat, Perseroan merupakan Perseroan Terbuka, Perseroan merupakan Persero, Perseroan mempunyai asset dan/atau jumlah peredaran usaha dengan jumlah nilai paling sedikit Rp 50.000.000.000 (Lima puluh miliar rupiah), atau, diwajibkan oleh peraturan Perundang- Undangan.

Dalam hal kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tersebut tidak dipenuhi, maka laporan keuangan tidak disahkan oleh RUPS. Laporan atas hasil audit akuntan publik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan secara tertulis kepada RUPS melalui direksi. Jika aset dan/atau jumlah peredaran usaha sudah mencapai Rp 50 Miliar atau lebih, laporan keuangan PT Garuda Indonesia pun wajib diaudit oleh akuntan publik.

Bahkan untuk badan usaha Perseroan Terbatas (PT), UU PT telah mengatur perlunya dibentuk Komite Audit untuk membantu Dewan Komisaris dalam mengawasi kinerja perusahaan (Pasal 121). Komite ini akan menganalisis keuangan perusahaan, termasuk dalam menilai telah terjadinya fraud atau tidak yang dilakukan oleh Direksi atau Pengurus Perusahaan.

Baca Juga:  Sokong Kebutuhan Masyarakat, Pemkab Pamekasan Salurkan 8 Ton Beras Murah

Tentu saja proses audit yang telah dilakukan adalah bertujuan untuk meningkatkan kepercayaan pihak ketiga atau yang berkepentingan, seperti lembaga keuangan, investor dan pemerintah dalam membaca laporan keuangan perusahaan. Artinya, audit diperlukan untuk memperkecil kesempatan penipuan, pencurian dan kesalahan yang mungkin terjadi.

Dalam konteks laporan keuangan ini, maka aspek konstitusi ekonomi (pasal 33 UUD 1945) dan hukum pidana memegang peran penting bagi direksi, dewan komisaris, dan akuntan publik dalam melaksanakan fungsinya masing-masing.

Penyampaian laporan keuangan kepada pemerintah menjadi cara efektif memperkecil terjadinya kecurangan dalam perusahaan. Pemerintah dalam hal ini Kementerian BUMN, Kementerian Perhubungan serta Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mestinya bisa mencegah terjadinya penyimpangan perusahaan yang mengelola dana negara dan yang berasal dari pengumpulan dana masyarakat melalui Pasar, yaitu Bursa Efek Indonesia (BEI). Masalahnya dalam kasus rekayasa laporan keuangan Garuda Indonesia ini, bagaimanakah peran yang diambil oleh komite audit perusahaan dan akuntan publik? Apakah rekayasa laporan keuangan tersebut dilakukan berdasar pesanan Direksi BUMN Garuda Indonesia atau hanya kreasi dari Komite Audit dan Akuntan Publik yang disewa korporasi?

Berdasarkan konstitusi ekonomi, maka segala hal yang berkaitan dengan pelanggaran hak publik atas pengelolaan perekonomian negara yang tidak memberikan kemakmuran bersama adalah inkonstitusional. Terlebih lagi polemik mahalnya harga tiket Garuda Indonesia yang kemudian membuat bingung publik atas informasi sebenarnya soal persentase harga avtur sebagai pembentuk Harga Pokok Penjualan tiket.

Oleh karena itu, Presiden sebagai Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan  berwenang melakukan tindakan hukum atas masalah penipuan laporan keuangan ini, apakah Kementerian BUMN, Kementerian Perhubungan, dan Kementerian Koordinator Perekonomian yang telah saling lempar tanggungjawab (saat polemik mahalnya tiket pesawat) tak mengetahui atau bahkan ikut terlibat dalam rekayasa laporan keuangan ini? Rasanya tak cukup adil pengabaian perintah Kepala Negara dan pelanggaran melalui rekayasa laporan keuangan yang terindikasi penipuan dan merupakan tindak kejahatan ini hanya dikenakan sanksi berupa denda tanpa adanya unsur pidana. Yang tak kalah penting bagi publik atas temuan BPK ini adalah, bagaimana halnya dengan laporan keuangan BUMN lainnya yang telah diaudit akuntan publik, apakah juga menggambarkan kondisi perusahaan yang sebenarnya atau adakah juga rekayasa seperti kasus Garuda Indonesia? Presiden mesti segera bertindak, agar rekayasa laporan keuangan ini tak menjadi preseden buruk dan menular ke BUMN lain. []

Related Posts

1 of 3,157