Berita UtamaFeaturedMancanegara

Tragedi Rohingya, GP Ansor: Tragedi Kemanusiaan Terparah di Asia Tenggara

NusantaraNews.co, Jakarta – Pengurus Pusat Gerakan Pemuda Ansor (PP GP Ansor) dengan seksama membaca tragedi kemanusiaan yang menimpa warga muslim dari etnis Rohingya, di daerah Arakan, Wilayah Rakhine, Myanmar sejak rangkaian serangan pada tanggal 9 Oktober 2016 hingga saat ini.

Menurut laporan GP Ansor usai menelaah laporan UN Office of the High Commissioner for Human Rights (OHCHR) – 2017 maupun laporan-laporan dari lembaga yang dipercaya lainnya, di mana diketahui 60 ribu lebih etnis Rohingya merasa nyawanya terancam pergi menyelamatkan diri dari daerah konflik. Tak hanya itu, ada ribuan lebih korban telah tewas dibunuh secara keji dan ribuan orang dihilangkan secara paksa.

“64% dari etnis Rohingya melaporkan pernah mengalami penyiksaan secara fisik maupun mental, 52% perempuan Rohingya melaporkan mengalami pemerkosaan dan/atau pelecehan seksual lainnya yang mengerikan, ditambah lagi dengan penangkapan dan penahanan secara sewenang-wenang sekaligus penyiksaan selama penahanan terhadap ribuan warga Rohingya, perusakan maupun penjarahan terhadap rumah, harta benda, makanan dan sumber makanan warga Rohingya secara masif, serta pengabaian maupun ketiadaan perawatan kesehatan terhadap para korban,” ungkap Wakil Sekretaris Jenderal PP GP Ansor Dr. Mahmud Syaltout dalam keterangan tertulisnya, Jumat, 1 September 2017.

Atas dasar itu, kata Mahmud Syaltout, GP Ansor menilai bahwa ini merupakan tragedi kemanusiaan terparah di kawasan Asia Tenggara saat ini, dan menduga keras ini dilakukan oleh tangan Negara, baik aparat militer, keamanan, kepolisian maupun pemerintahan Myanmar, setidaknya didasarkan pada laporan pengindraan secara satelit oleh UNOSAT maupun HRW, terdapatnya pola-pola (patterns) serangan terhadap desa-desa etnis Rohingya yang memang telah ditargetkan.

Baca Juga:  Anton Charliyan dan Ade Herdi Waketum DPD Gerindra Jabar bagikan Al Quran dan Perangkat Sholat Titipan KB Prabowo Subianto ke Pesantren

“GP Ansor mengkaji dengan seksama, khususnya secara geopolitik mengapa terjadi insiden serangan dengan menargetkan wilayah-wilayah yang dihuni etnis Rohingya pada tahun 2013, kemudian 2016 dan semakin menguat di tahun 2017 ini dengan intensifikasi jumlah korban dan jenis kekejian yang dilakukan,” tuturnya.

Mahmud Syaltout menyampaikan, GP Ansor menilai tragedi kemanusiaan terhadap etnis Rohingya merupakan konflik geopolitik, khususnya pertarungan kuasa dan kekuasaan (yang tak seimbang) di daerah Arakan-Rakhine, yang dihuni mayoritas etnis Rohingya, dengan dugaan kuat didasarkan pada perebutan secara paksa tanah dan sumber daya, khususnya minyak dan gas, khususnya di wilayah-wilayah sekitar:

1). Pipa gas (mulai beroperasi 1 Juli 2013, dengan kapasitas 193,6 juta kubik kaki per hari) dan pipa minyak (mulai beroperasi 1 Desember 2013 dengan kapasitas 400 ribu barrels per hari) dari Kyauk Phyu ke perbatasan China sepanjang 803 km – yang dikelola oleh konsorsium bersama dengan komposisi kepemilikan saham 50,9 % CNPC (China), 25,04% Daewoo International (Korea), 8,35% ONGC (India), 7,37% MOGE (Myanmar), 4,17% GAIL (India) dan 4,17% investor-investor swasta lainnya;

2). Pipa gas (mulai beroperasi 1 Juli 2013, dengan kapasitas 105,6 juta kaki kubik per hari) dari Shwe ke Kyauk Phyu sepanjang 110 km – yang dikelola oleh konsorsium bersama dengan komposisi kepemilikan saham 51% Daewoo International (Korea), 17% ONGC (India), 15% MOGE (Myanmar), 8,5% GAIL (India) dan 8,5 KOGAS (Korea);

Baca Juga:  Prabowo-Gibran Resmi Menang Pilpres 2024, Gus Fawait: Iklim Demokrasi Indonesia Sudah Dewasa

3). Blok-blok minyak dan gas di Semenanjung Rakhine di mana Daewoo International (Korea), ONGC (India), MOGE (Myanmar), GAIL (India), KOGAS (Korea), Woodside Petroleum (Australia), CNPC (China), Shell (Belanda/Inggris), Petronas (Malaysia), MOECO (Jepang), Statoil (Norweigia), Ophir Energy (Inggris), Parami Energy (Myanmar), Chevron (Amerika Serikat), Royal Marine Engineering (Myanmar), Myanmar Petroleum Resources (Myanmar), Total (Prancis), PTTEP (Thailand) dan Petronas Carigali (Malaysia) beroperasi dan berproduksi, di mana daerah tersebut dilaporkan memiliki cadangan terbukti sebesar 7,836 triliun kaki kubik gas dan 1,379 milyar barel  minyak – yang beberapa blok di antaranya berproduksi sejak 2013, ditawarkan tahun ini sebagai temuan baru, dan beberapa blok lainnya jatuh tempo kontraknya tahun 2017 ini; dan

4). Blok-blok minyak dan gas di daratan Arakan di mana North Petro-Chem Corp (China), Gold Petrol (Myanmar), Interra Resources (Singapura), Geopetrol (Prancis), Petronas Carigali (Malaysia), PetroleumBrunei (Brunei), IGE Ltd. (Inggris), EPI Holdings (Hongkong/China), Aye Myint Khaing (Mynmar), PTTEP (Thailand), MOECO (Jepang), Palang Sophon (Thailand), WIN Resources (Amerika Serikat), Bashneft (Russia), A1 Construction (Myanmar), Smart Technical Services (Myanmar), Myanmar Petroleum Resources (Myanmar) dan ONGC (India) beroperasi dan berproduksi, di mana daerah tersebut dilaporkan memiliki cadangan terbukti sebesar 1,744 triliun kaki kubik gas dan 1,569 milyar barel minyak – yang beberapa blok di antaranya jatuh tempo kontraknya pada tahun 2017 ini.

Baca Juga:  Polres Pamekasan Sukses Kembalikan 15 Sepeda Motor Curian kepada Pemiliknya: Respons Cepat dalam Penanganan Kasus Curanmor

Di samping itu, lanjutnya, GP Ansor juga mempelajari konflik geopolitik yang sangat berdarah di daerah-daerah kaya sumber daya alam khususnya minyak dan gas (Oil & Gas Blood) atau kutukan sumber daya (Resource Curse) bukan fenomena khas Myanmar, dan bukan hanya menimpa etnis Rohingya, tapi juga terjadi di belahan bumi yang lain – di mana untuk menutup operasi apropriasi kapital dan sumber daya secara menjijikkan operator-operator di lapangan membungkus dan/atau menutupnya dengan konflik antar etnis, antar agama, antar kelompok masyarakat – dengan tujuan agar akar maupun persoalan sebenarnya menjadi kabur dan tersamar.

“GP Ansor membaca bahwa saudara-saudara kita dari etnis Rohingya yang tinggal di daerah Arakan-Rakhine memang menjadi sasaran khusus dengan operasi terselubung (covered operation) apropriasi kapital dan sumber daya yang secara biadab dan terencana menyasar praktik dan simbol agama serta membenturkan antar ummat beragama ermasuk di dalamnya dengan melakukan pembakaran Al-Qur’an, pemerkosaan di Masjid, mempersenjatai dan memprovokasi warga Rakhine untuk juga melakukan persekusi terhadap minoritas Rohingya,” terang Mahmud Syaltout.

Pewarta/Editor: Ach. Sulaiman

Related Posts

1 of 35