NUSANTARANEWS.CO – Produksi susu nasional yang kian melemah menjadi masalah yang mengkhawatirkan di Indonesia. Sejak 10 tahun terakhir usaha peternakan sapi perah rakyat mengalami kemunduran ditandai berkurangnya populasi ternak dan lesunya produksi susu segar dalam negeri.
Fakta berbicara bahwa kebutuhan bahan baku susu segar dalam negeri untuk susu olahan saat ini ada di kisaran 3,8 juta ton. Tren ini semakin besar, namun ironisnya, kemampuan lokal memasok bahan baku susu segar semakin rendah.
Dengan produksi sejumlah 798.000 ton, Susu Segar Dalam Negeri (SSDN) hanya mampu memasok 18% dari kebutuhan nasional sehingga sebagian besar masih harus diimpor yaitu sebesar 3 juta ton atau 82%.
Jika keadaan ini terus berlanjut, maka swasembada susu 40% yang dicanangkan oleh pemerintah pada tahun 2020 bisa tidak akan tercapai. Terlebih lagi bila ketahanan pangan serta kemandirian ekonomi yang dimaklumatkan oleh Nawacita hanya berhenti menjadi sebuah wacana.
Asosiasi Peternak Sapi Perah Indonesia (APSPI) yakin masih ada solusi, yaitu melalui praktik peternakan yang baik serta regulasi yang berpihak dan melindungi para peternak sapi perah.
“Perlu ada kebijakan yang mewajibkan penyerapan susu segar dalam negeri sehingga mampu mendorong persaingan usaha yang sehat, dan harga pasar yang memadai,” ungkap Ketua APSPI, Agus Warsito, seperti dikutip dari siaran pers yang diterima Nusantaranews, Jakarta, Kamis (24/11).
Di tahun 1998, Agus menjelaskan, SSDN pernah menguasai 35% kebutuhan nasional. Angka ini terus turun menjadi 22% di tahun 2008 dan tinggal 18% di tahun 2016 ini. Kedepannya, bila tidak ada kebijakan wajib serap, maka produksi nasional akan semakin surut dan anjlok di tataran 13-15%.
“Sebab, dari 95 importir susu bubuk dan 51 pabrikan susu yang saat ini ada, hanya 8 pabrikan susu yang menyerap susu segar dari peternakan rakyat. 43 pabrikan lainnya masih menggunakan 100% susu bubuk impor,” ujarnya.
Sementara itu, Perwakilan GKSI Jawa Tengah yang juga Ketua KUD Mojosongo, Kabupaten Boyolali, Sentosa, menyuarakan hal serupa. Menurutnya, sat ini KUD dan peternak tidak punya posisi tawar sama sekali.
“Akibatnya, harga susu semakin rendah. Dengan adanya regulasi yang mewajibkan penyerapan konten lokal, dengan sendirinya akan memicu meningkatnya kualitas dan kuantitas susu segar dalam negeri,” katanya.
Sekadar informasi, Kabupaten Boyolali dikenal sebagai pusat peternakan sapi perah Jawa Tengah. Di tahun 1990 saat masih ada kewajiban penyerapan susu lokal bagi industri pengelola susu, produksi susu Boyolali bisa mencapai 120 ton per hari, namun akhir-akhir ini hanya tinggal 62 ton per hari.
Harga susu saat ini tidak sebanding dengan biaya produksi yang terus meningkat. Tiga tahun terakhir harga semakin rendah. Saat ini harga susu di peternak masih di kisaran Rp 4.100-4.300/liter. Bila harga mencapai Rp 6.000 per liter, peternak sapi perah baru bisa menutup biaya produksi. (Deni)