NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Sekalipun gelaran Pilkada DKI telah berlalu, namun riak-riak serta aroma rivalitas antara Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dan Anies Baswedan terasa masih sangat kuat. Terlebih bagi sang petahana Ahok dan para simpatisannya yang menggebu-gebu seakan masih tak percaya dengan hasil yang ada.
Kekalahan telak dari Anies-Sandi benar-benar sukses membuat ‘shock’ Ahok beserta pendukungnya. Tak berlebihan jika banyak pengamat menilai gelaran Pilgub DKI Jakarta kali ini bercita rasa Pilpres.
Dimana mereka (pendukung Ahok) banyak yang tidak percaya dengan hasil itu, sehingga banyak yang terdiam. Siapapun tentu setuju, bahwa hasil Pilkada DKI betul-betul di luar dugaan, menohok, membingungkan bahkan menyakitkan. Kenapa? Karena bukan rahasia lagi seluruh dukungan A sampai Z sudah dikerahkan habis-habisan.
Mesin parpol saja paling banyak (PDIP, Golkar, Nasdem, PPP, Hanura, PKB), bahkan PPP mengerahkan dua Ketum sekaligus, artis papan atas, massa fanatik baju kotak-kotak sudah diplot di mana-mana. Begitu pula logistik. Taktik dan strategi tak diragukan lagi mulai serangan IT (Cyber) dan serangan money politic bersinergi.
Media mainstream sebagai senjata ampuh penjual informasi yang menembus nasional bahkan internasional juga dikuasai. Tak cukup disitu, birokrasi sampai RT/RW dan aparatur negara turut cawe-cawe membantu, bahkan bahasa tubuh RI-1 sudah jelas arahnya. Jadi secara akal sehat dan faktual, di atas kertas pasangan Ahok-Djarot bisa mudah memenangkan Pilkada.
Tim paslon dua begitu kuat dan hebat di semua medan, merasa besar kepala, lupa diri dan yakin pasti menang, sehingga sering sesumbar. Menang satu putaran, kalimat yang sering dilontarkan Ahokers. Begitu yakin dan jumawa, bahkan Ruhut Sitompul berani janji potong kuping kalau Ahok kalah. Belakangan, akibat ramai ditagih janji, pelan tapi pasti Ruhut Sitompul mulai menghilang dari media.
Menang di Atas Kertas
Bukan rahasia lagi, sejak putaran pertama digelar, pendukung Paslon dua sudah banyak melakukan pelanggaran, seperti intimidasi, pengerahan massa tak jelas, serangan darat (sembako), media partisan, dan lain-lain yang kemudian meledak menjadi kasus fenomenal setelah Iwan Bopeng viral di dunia medsos. Begitu pula pada putaran dua, praktek curang dimainkan. Bahkan terang-terangan tanpa malu-malu dengan baju khas kotak-kotak menyebar sembako, hewan, iming-iming umroh marbot, bagi-bagi fulus dan banyak lagi modusnya.
Parahnya, semua pelanggaran itu sampai sekarang tidak pernah diproses hukum. Semua masuk laci, meski ada yang beraroma kriminal. Tindakan yang diambil cuma sebatas menyita, menahan kendaraan, logistic, uang, material dan lain sebagainya. Sementara pelaku berbaju kotak-kotak bebas tanpa proses hukum. Tidak terbayang jika pelanggaran itu dilakukan dari tim paslon 3.
Hasil perhitungan quick count sampai resmi di KPUD DKI, semua menunjukkan kemenangan Anies-Sandi. Melihat kenyataan ini, nampaknya paslon dua masih terindikasi belum menerima 100% kalau jagoannya kalah. Secara lahir sepertinya bisa menerima, tapi secara batin nampak masih ada ganjalan yang kemudian banyak menimbulkan keanehan dengan terus bertahan dan berkutat dalam balutan kehebatan semu.
Self Entertainment
Kondisi psikologis begitu, membuat mereka ingin tetap memperlihatkan eksistensi sekaligus menghibur diri (self entertainment) yang kemudian melakukan aksi kirim ribuan bunga ke Balai Kota dan instansi yang dianggap mendukungnya, seperti Polri dan Istana dengan isi kata-kata vulgar cuma kehebatan sosok Ahok. Beli sendiri, kirim sendiri, lihat sendiri, muji-muji sendiri, foto-foto sendiri, selesai kemudian jadi sampah untuk dibuang.
Masyarakat Jakarta sudah cerdas, sehingga membuat aksi-aksi nyeleneh bisa gamblang terbaca. Kiriman ribuan bunga yang awalnya tak jelas asal-usulnya kemudian tersingkap satu persatu. Aroma pencitraan via bunga pun semakin dipertontonkan meski tidak jarang mengundang protes dari khalayak, karena merasa tidak mengirim tapi tahu-tahu dicantumkan namanya. Begitu pula TNI sudah cerdas memahami arti bunga sesungguhnya. TNI pun menolak kiriman bunga, karena dianggap tidak jelas tujuan dan kaitannya.
Pada dasarnya bahasa bunga adalah cinta, suka, kasih dan sayang yang tulus serta tidak terkait politik sama sekali. Namun kali ini, karangan bunga kental sekali dengan aroma pencitraan Ahok. Sepahit apapun bila itu suatu kebenaran, maka harus diterima. Menolak kebenaran kemudian akrab mengikuti hawa nafsu dan terlebih berani berbohong demi kepentingan politik akan merugikan semua pihak dan itulah pengkhianatan sebenarnya.
*Birru Ramadhan, Pemerhati Sosial dan Politik.