NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Dosen Ilmu Komunikasi, Ade Armando menuliskan sebuah surat terbuka yang berisi tentang penolakan dirinya menjadi Dewan Guru Besar UI. Ade mengaku dirinya ditolak menjadi DGB kampus ternama tersebut.
Berikut isi lengkap surat terbuka yang ditulis Ade Armando.
Saya ditolak menjadi guru besar UI karena integritas dan etika saya dipertanyakan.
Seperti sudah saya duga, saya akhirnya ditolak menjadi guru besar di Universitas Indonesia. Sebenarnya tidak ada kata resmi ‘ditolak’, tapi Dewan Guru besar UI bersikap bahwa selama saya tidak berhenti menyuarakan pandangan saya yang menimbulkan ‘kontroversi’, mereka tidak akan menerima saya sebagai anggota Dewan Guru Besar UI.
Sekadar catatan, untuk bisa menjadi Guru Besar di UI, setiap calon harus mendapat persetujuan dari semua Guru Besar di Universitas Indonesia. Baru kemudian, nama tersebut bisa diajukan ke Departemen Pendidikan Tinggi untuk disetujui Menteri. Nama saya diajukan utuk menjadi Guru Besar oleh Departemen Ilmu Komunikasi pada Mei 2016. Kini, tiga tahun kemudian, sudah jelas DGB UI menolak permintaan tersebut.
Kualitas akademik saya tidak bermasalah. Tapi yang menjadi masalah bagi DGB adalah soal ‘integritas, etika dan tatakrama’ saya.
Kepastian ini saya ketahui dari hasil Rapat DGB 20 Mei 2019 dan penjelasan Ketua Komite Etik, Prof. Adrianus Meliala, pada rapat di FISIP UI 31 Juli, pukul 16.00.
Pada rapat DGB 20 Mei 2019, dinyatakan bahwa usulan Guru Besar atas nama Ade Armando masih perlu mendapat pertimbangan lebih lanjut dari Komite Etik DGB terkait ‘kinerja, integritas, etika, tata krama dan tanggungjawab’ .
Apa yang dimaksud DGB, saya tidak berintegritas dan tidak beretika? Tidak ada penjelasan.
Pada rapat 31 Juli 2019, Prof. Adrianus Meliala menyatakan Komite Etik tidak dapat menerima saya sebagai Guru Besar karena DGB tidak setuju dengan cara saya berkomunikasi melalui media social. Menurutnya, tulisan-tulisan saya menimbulkan kontroversi yang menberi beban bagi UI. Komite Etik ingin agar setiap Guru Besar dapat menjaga martabat UI.
Menurut Adrianus, pencalonan saya bermasalah karena ada masyarakat yang mengirimkan keberatan. Begitu juga, banyak pihak mengingatkan bahwa saya masih dalam status ‘tersangka’ dalam kasus tuduhan pencemaran agama (karena saya menyatakan “Tuhan Bukan Orang Arab’ di status FB dan twitter saya), dan diadukan oleh masyarakat ke polisi dalam tujuh kasus lainnya.
Menurut Adrianus, Komite Etik menilai saya baru bisa diterima di DGB kalau saya bisa mengubah cara berkomunikasi saya, dan seluruh (delapan) kasus saya di kepolisian itu sudah selesai sampai tuntas.
Menurutnya, sebenarnya tidak ada aturan tertulis dalam Kode Etik DGB terkait dengan pelarangan seseorang berstatus tersangka atau teradu menjadi anggota DGB. Namun menurut Komite Etik, tidak pantas bagi saya untuk diajukan menjadi anggota DGB.
Menurut Adrianus, sikap Komite Etik itu bukanlah pendapat pribadinya sebagai Ketua Komite Etik. Komite Etik terdiri dari 12 orang. Dan saat ini, mayoritas anggota Komite Etik menolak menerima usulan saya menjadi DGB.
Lucunya, tidak satu kalipun DGB bisa menunjukkan bukti-bukti untuk menunjukkan tulisan-tulisan mana yang membuat saya dianggap ‘tidak berintegitas, tidak etis’ tersebut. Saya berulangkali meminta. Tapi DGB tidak menunjukkannya.
Seperti saya katakan, itu semua bisa diprediksi. Seperti saya juga sudah nyatakan di berbagai kesempatan lain, gerakan Islamis Tarbiyah sudah sangat menguat di UI, termasuk menduduki banyak posisi Guru Besar. Mereka akan mempersulit karier mereka yang berani melawan gerakan tersebut. Saya duga, saya adalah korban politik Islamis Tarbiyah ini.
Penolakan terhadap saya sudah dimulai sejak awal, ketika nama saya diajukan menjadi Guru Besar di tingkat FISIP pada 2016. Ini bermula ketika seorang professor yang dikenal rasis, mempertanyakan kelayakan saya diajukan Departemen Komunikasi untuk menjadi professor di UI. Profesor rasis anti Tionghoa ini menganggap tulisan2 saya di medsos selama ini tidak etis (walau sejujurnya, postingan dia di facebook jelas-jelas menunjukkan kebencian dia terhadap ras Tionghoa dan pemerintahan Jokowi). Sikapnya ini kemudian didukung oleh seorang professor perempuan yang memiliki orientasi politik kurang lebih serupa.
Penjegalan saya di FISIP gagal, karena mayoritas Guru Besar di FISIP dan pimpinan FISIP adalah kaum pluralis. Namun upaya sabotase itu terus berlanjut di tingkat UI. Selama tiga tahun, proses pencalonan saya terus dihambat. Saya dua kali diundang ke Dewan Guru Besar untuk memberikan penjelasan. Saya bahkan diminta untuk menandatangani Pakta Integritas (dan ini berarti satu-satunya orang dalam sejarah UI yang harus menandatangani Pakta Integritas untuk menjadi Guru Besar UI).
Hasil review tentang kelayakan saya menjadi guru besar dari dua guru besar senior yang terpandang di Departemen Komunikasi diminta untuk diulang. Tulisan-tulisan saya dipertanyakan otentisitasnya, karena anggap mengandung banyak unsur kesamaan dengan tulisan-tulisan lain. Padahal saat dicek ulang, kesimpulan mengenai tingginya indeks kesamaan tulisan-tulisan saya itu sama sekali tidak dapat diandalkan (misalnya, kesamaan terjadi karena tulisan saya diterbitkan ulang oleh media lain).
Di sepanjang proses, saya memang juga diminta untuk lebih ‘menahan diri’ oleh banyak pihak. Tapi selalu saya katakan, saya tidak mau berhenti bersuara keras melawan mereka yang menyebarkan hoax-fitnah-kebencian, mereka yang terus memecah belah bangsa, mereka yang anti NKRI, mereka yang menindas non-muslim, mereka yang menindas sesama muslim tapi berbeda pandangan dengan mereka, mereka yang menyebarkan kebencian pada Tionghoa, mereka yang terus menghina dan memfitnah pemerintahan Jokowi, mereka yang berusaha menegakkan Syariah, mereka yang berusaha menegakkan Khilafah, mereka yang menindas kaum perempuan, dan hal-hal sejenis yang lazim saya suarakan di media sosial.
Saya selalu katakan, lebih baik saya tidak menjadi profesor daripada saya harus berhenti menyuarakan apa yang saya percaya sebagai kebenaran yang harus saya perjuangkan.
Karena itu, ketika sekarang saya tahu Dewan Guru Besar UI tidak akan membiarkan saya menjadi Guru Besar, itu adalah hal yang sangat bisa diprediksi. Tentu saja masih banyak guru besar UI yang pluralis dan demokratis. Tapi saya duga, mereka kalah suara dari kaum yang anti keberagaman dan fasis.
Buat saya pribadi, ini biasa-biasa saja. Suka-suka merekalah. Saya cuma berharap pengalaman saya ini tidak akan membuat para pembela NKRI surut semangatnya untuk memperjuangkan kemuliaan bangsa ini. Kalau kita terus memperjuangkan kebenaran, kita tidak akan kalah kok. Ever Onward!
Ade Armando
Departemen Ilmu Komunikasi
FISIP UI