Opini

Suksesi dan Gagasan Kagama Masa Depan, Sebuah Catatan Menjelang Munas

Kagama
Munas Kagama. (Foto: Istimewa)

Suksesi dan Gagasan Kagama Masa Depan, Sebuah Catatan Menjelang Munas

Oleh: Defiyan Cori, Alumni UGM dan Ekonom Konstitusi

Musyawarah Nasional (MUNAS) Keluarga Alumni Gadjah Mada/ KAGAMA XIII rencananya akan berlangsung di Denpasar, Provinsi Bali pada tanggal 14-15 Nopember 2019. Kepengurusan KAGAMA yang akan berakhir mandatnya pada Tahun 2019 ini merupakan hasil  MUNAS KAGAMA XII di Kendari, Provinsi Sulawesi Tenggara tanggal 8 November 2014, yang saat itu memutuskan Ganjar Pranowo sebagai Ketua Formatur sekaligus sebagai Ketua Umum PP KAGAMA Periode 2014-2019.

Pemilihan Ketua Umum KAGAMA dengan model formatur (yang terdiri dari Ketua dan beberapa anggota) ini merupakan khas demokrasi dari sebuah musyawarah nasional KAGAMA yang telah berlangsung sejak awal berdirinya organisasi ini.  Berbeda dengan model pemilihan organisasi alumni perguruan tinggi lainnya, seperti Ikatan Alumni Universitas Indonesia yang telah berlangsung pada tanggal 25 Agustus 2019 dan telah terpilih Andre Rahadian, alumni Fakultas Hukum Universitas Indonesia angkatan 1991 menjadi Ketua Ikatan Alumni Universitas Indonesia (ILUNI UI) periode 2019 – 2022.

Terpilihnya Andre Rahadian adalah melalui mekanisme hak suara anggota ILUNI yang berjumlah 11.843 orang, Andre mengantongi suara terbanyak, yaitu 5.730, sementara kandidat lainnya Bambang Brodjonegoro (FEBUI 1985), 4.739 suara dan Rudy Salahuddin (FTUI 1987) 1.374 suara. Namun Rudy telah mengundurkan diri saat awal pemilihan.

Model pemilihan langsung Ketua Umum ILUNI UI pada Tahun 2019 ini adalah pemilihan berbasis e-vote terbesar dengan Daerah Pemilihan (Dapil) terluas di Indonesia dengan menggunakan aplikasi UI Connect, lebih efisien dan efektif.

Sejarah UGM dan KAGAMA

Perguruan Tinggi merupakan sebuah kawah chandradimuka, tempat menempa dua karakter, yaitu: pikir, berkaitan dengan ilmu pengetahuan dan teknologi, lalu budi pekerti (akhlak) mahasiswa/i di tengah lingkungan masyarakatnya. Universitas-universitas adalah laboratorium pembangunan yang akan menghasilkan insan terdidik (well educated) sebagai alumnusnya serta kelak menjadi generasi penerus kepemimpinan bangsa.

Perjalanan sejarah berdirinya Universitas Gadjah Mada (UGM) tak bisa dipisahkan dari sejarah perjuangan kemerdekaan Republik Indonesi dan kontribusi Kesultanan Mataram, Yogyakarta yang beberapa kampus awalnya berada di keraton Yogyakarta, Klaten, dan Surakarta. Nama Gadjah Mada berawal dari dibentuknya Balai Perguruan Tinggi Gadjah Mada yang terdiri dari Fakultas Hukum dan Fakultas Kesusasteraan. Pendirian diumumkan di Gedung KNI Malioboro pada tanggal 3 Maret 1946 oleh Mr. R. S. Budhyarto Martoatmodjo, Ir. Marsito, Prof. Dr. Prijono, Mr. Soenario, Dr. Soleiman, dr. Boentaran Martoatmodjo, dan Dr. Soeharto.

Baca Juga:  BRICS dan Upaya De-Dolarisasi

Berbagai pergolakan di dalam negeri dan pertempuran terjadi sepanjang sejarah bangsa dan negara, tak terkecuali UGM, dan pada tanggal 4 Januari 1946, Soekarno dan Hatta memindahkan ibu kota Republik Indonesia ke Yogyakarta, karena maraknya pertempuran antara pejuang kemerdekaan dan Sekutu serta NICA, lalu beberapa perguruan tinggi di Jakarta dan Bandung pun dipindahkan ke Yogyakarta. Agresi Militer Belanda II ini, melumpuhkan semua kegiatan belajar mengajar sehingga terpaksa ditutup dan para mahasiswa ikut serta berjuang.

Akhirnya tanggal 19 Desember 1949, lahirlah Universitas Gadjah Mada, berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 23 Tahun 1949, yang terdiri dari 6 (enam) fakultas, yaitu: 1) Teknik, 2) Kedokteran (termasuk Farmasi), 3) Pertanian, 4) Kedokteran Hewan, 5) Hukum, 6) Sastra dan Filsafat. Sebagai Rektor yang menjabat pertama kali, ditetapkan oleh Presiden adalah, Prof. Dr. M. Sardjito. Pada saat yang sama juga ditetapkan Senat UGM dan Dewan Kurator UGM. Dewan Kurator UGM terdiri dari Ketua Kehormatan Sri Sultan Hamengkubuwono IX, dan Ketua adalah Sri Paku Alam VIII, seorang wakil ketua dan anggota.

Lalu, muncullah gagasan membentuk organisasi persatuan para alumnus UGM pada Tahun 1956, diawali oleh penyelenggaraan berbagai pertemuan yang dilakukan alumni dari berbagai fakultas. Pada peringatan Dies Natalis UGM Tahun 1958, Ir. Suwarno (alm.) didesak Panitia Dies Natalis Dewan Mahasiswa UGM untuk mengambil inisiatif pertama menyelenggarakan musyawarah para alumnus UGM pertama dari berbagai kota tanggal 18 Desember 1958 di Yogyakarta. Dari musyawarah ini lahirlah organisasi “Keluarga Alumni Universitas Gadjah Mada” disingkat KAGAMA.

Keanggotaan Dan Visi Organisasi

Sampai dengan bulan Agustus 2019, jumlah Sarjana yang telah diwisuda per bulan Agustus 2019 berjumlah 45.847 orang (data diolah dari sumber publikasi UGM Tahun 2017= 37. 611 + data wisuda sarjana dan diploma Tahun 2018-2019). Jumlah wisudawan sarjana dan diploma yang secara otomatis merupakan anggota dari organisasi persatuan Keluarga Alumni Universitas Gadjah Mada atau KAGAMA yang tersebar di seluruh Indonesia dengan berbagai status dan profesinya. Apabila ditambahkan dengan lulusan dari program Magister (S-2) per Tahun 2017 yang berjumlah 7.854 orang dan lulusan prpgram Doktor atau Srata 3 sejumlah 871 orang, maka jumlah total alumni UGM adalah 54.572 orang.

Baca Juga:  Politik Barat dan Diplomasi Nuklir Rusia

Dengan jumlah anggota yang berjumlah 54.572 orang itu (termasuk lulusan S-2 dan S-3) perlu dirumuskan ulang status keanggotaan KAGAMA dalam perspektif organisasi alumni berbasis keanggotaan. Apakah lulusan Magister dan Doktor dapat diklaim sebagai alumni UGM dan bisa secara otomatis menjadi anggota KAGAMA (termasuk menjadi Pengurus). Terminologi alumnus dalam organisasi kealumnian perlu dibuat secara tegas dan jelas, karena tidak semua lulusan UGM dari program Magister dan Doktoral berasal dari lulusan sarjana (S-1) UGM. Jika menggunakan konsepsi organisasi alumni yang terbuka, maka mekanisme di dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) berkaitan dengan keanggotaan juga berubah.

Padahal berdasar sejarah awal pembentukan KAGAMA bukanlah ditujukan sebagai organisasi terbuka dan menampung semua lulusan dari berbagai strata. Dampak dari organisasi terbuka ini dalam jangka panjang adalah, bisa meminimalisir dan mengeliminasi peran kunci anggota yang merupakan alumni sarjana dan lebih lama berinteraksi dengan lingkungan UGM.

Organisasi alumni UGM atau KAGAMA berdasar kesejarahannya adalah bagian yang tak terpisahkan dari interaksi mahasiswanya dengan lingkungan komunitas UGM, bukanlah para alumni yang berasal dari jenjang pendidikan S-2 dan S-3 (kecuali S-1 lulusan UGM).

KAGAMA oleh karena itu adalah merupakan organisasi yang berbasis anggota dan berinteraksi sejak awal dengan lingkungan civitas akademika serta masyarakatnya dan ekslusif bagi alumni lulusan sarjana tapi inklusif dalam gerakannya.  Hal ini perlu dipertegas karena organisasi juga berhubungan dengan loyalitas dan kesempatan dalam kepengurusan, sehingga posisi dan status alumni tidak rancu dan terdapat banyak konflik kepentingan dari alumni S-2 dan S-3 yang bukan sarjana UGM.

Selain itu, dengan jumlah anggota sarjana yang berjumlah 45. 847 orang saja, maka KAGAMA adalah potensi dalam memberikan kontribusi atas perjalanan pembangunan KAGAMA khususnya, serta bangsa dan negara secara umum. Oleh karena itu, visi organisasi KAGAMA pada periode 2019-2024 haruslah berorientasi pada kesejahteraan anggota dan optimalisasi sumberdaya anggota bagi kepentingan perkembangan organisasi di masa depan. Berbagai program dan kegiatan oleh calon pimpinan KAGAMA haruslah merupakan pengejawantahan dari aspirasi dan partisipasi anggota, sehingga organisasi dapat berjalan demokratis dan dinamis.

Baca Juga:  Inggris Meningkatkan Keinginan yang Tidak Dapat Dijelaskan untuk Memulai PD III

Program dan kegiatan sosial, seni dan budaya yang selama ini positif berjalan tentu dapat terus dikembangkan, namun program dan kegiatan yang merupakan identitas organisasi persatuan dan kampus perjuangan rakyat dari alumni sebuah universitas  tertua dan ternama juga harus dikembangkan.

Tidak saja kebanggaan karena adanya alumni KAGAMA yang menduduki jabatan strategis di pemerintahan dan non pemerintahan, tapi juga memberikan sumbangan pemikiran terhadap baik dan buruknya perjalanan bangsa dan negara di masa depan disegala bidang. Terutama sekali adalah dalam bidang ekonomi yangmana strategi kebijakan ekonomi negara tak berdasarkan konstitusi ekonomi, pasal 33 UUD 1945 dan penguasaan ekonomi sektoral masih didominasi oleh 1-2 persen kelompok masyarakat sehingga menimbulkan ketimpangan sektoral, struktural dan regional.

Oleh karena itu, perlu kiranya KAGAMA mempertimbangkan mekanisme organisasi melalui optimalisasi sumberdaya anggota terkait suksesi dalam Munas KAGAMA XIII di Denpasar, Provinsi Bali. Para anggota perlu mengetahui sosok calon pimpinan organisasi alumni universitas terbesar dan ternama ini beserta visi, program dan kegiatan yang akan dilaksanakan secara lebih terukur dan terarah. Untuk itu,  mekanisme pemilihan pimpinan KAGAMA seperti yang telah dijalankan oleh ILUNI melalui pemilihan langsung agaknya perlu dijadikan praktek terbaik (best practice) agar organisasi berjalan demokratis, lebih aspiratif dan kontributif bagi perkembangan dan kemajuan KAGAMA di masa depan. Dengan demikian, organisasi KAGAMA tidak hanya dijadikan sebagai batu loncatan dan didominasi oleh kepentingan politik (vested interest) yang berjangka pendek.

Sedapat mungkin hendaknya, sosok calon pimpinan KAGAMA selanjutnya adalah orang-orang yang tidak terikat dengan partai politik (parpol) sehingga dapat membuat segregasi kepentingan KAGAMA sebagai organisasi Persatuan dan Perjuangan Rakyat atau alumni dari Kampus Rakyat. Mekanisme penjaringan awal dari suara anggota merupakan salah satu cara untuk memperoleh calon pimpinan KAGAMA yang kompeten dan non aliansi partai politik.

Related Posts

1 of 3,052