NUSANTARANEWS.CO – Cina akan mengusai dunia. Itulah kata-kata yang saat ini sering terdengar terpampang pada media massa, karena kekuatan ekonomi yang dikembangkan oleh etnis Cina, telah menjadi kekuatan masa depan yang tidak dapat dipandang remeh. Namun betatpapun Cina telah memasuki abad modern, abad pasar bebas, filosofi serta referensi perilaku mereka masih tetap mengacu pada literature-literatur klasik serta ajaran-ajaran para tokoh Cina Kuno.
Hal ini diungkapkan oleh Iwan Permadi dalam Jurnal Aplikasi Manajemen, Volume 5, Nomor 1, April 2007 menjelaskan bahwa stratetgi perang para ksatria Cina sudah menjadi topik riset ahli ekonomi dan bisnis. Ini bukan sesuatu yang mengherankan, mengingat etnis Cina mengutip Wee Chou Hou memiliki peribahasa bahwa dunia bisnis adalah medan perang.
Di Indonesia, keturunan etnis Cina adalah sebagai minoritas. Karena jumlahnya hanya sekitar 3,5% dari seluruh total populasi penduduk Indonesia. Meskipun secara kuantitas minoritas, tetapi ternyata mereka mengendalikan 73% perekonomian Indonesia (Fr. Mulandari, 2003). Hal ini dapat dilihat bahwa secara numerik memang tidak berarti banyak, namun peran ekonomis dan finansial yang secara konkret dijalankan oleh suatu komunitas sosial ini adalah penting.
Sebagai contoh, pusat perdagangan dan bisnis paling penting di Yogyakarta seperti Jalan Malioboro atau Jalan Solo jelas terlihat dominasi toko-toko milik keturunan etnis Cina. Demikian pula halnya di kota-kota kecil dan menengah lainnya.
Dominasi etnis Cina dalam dunia bisnis tidak hanya terjadi di Indonesia saja, tetapi juga terjadi di seluruh penjuru dunia. Dina Perantauan (Overseas Chinese) mengalami kebangkitan bersama jaringan bisnisnya (yang dikenal sebagai Nan Yang Icn) diperkirakan akan menjadi motor utama kekuatan ekonomi Asia Pasifika bad ke-21. Bahkan sekarang ini, 90% atau senilai 1,138 triliun dollar Amerika dari kapitalisasi pasar 1.000 perusahaan terbesar di 10 bursa Asia Pasifik adalah milik jaringan Nan Yang Inc.
Jaringan ini sebenarnya hanya berkiblat kepada peluang bisnis dan kekuatan pasar yang murni, tidak ikut dalam politik praktris, tetapi mereka memang menjadi kawanan tertentu (hopeng). Mereka sudah berkiblat kepada tanah air baru mereka, tetapi RRC memang cenderung ingin mengksploitasi solidaritas etnis primordial untuk menarik investasi dari jaringan bisnis Cina Perantauan (Kompas Online, 5 Maret 2003).
Selain itu, seperti yang dicatat oleh Fujitsu Research di Tokyo yang mengamati daftar perusahaan-perusahaan di enam negara kunci di Asia, di dalamnya digambarkan betapa perusahaan-perusahaan tersebut secara mayoritas dikuasi oleh etnis Cina Perantauan. Misalnya Thaildan sebanyak 81%, Singapura sebanyak 81% dan di Indonesia sebanyak 73%. Dan masih banyak lagi kata Permadi.
Di Indonesia jaringan bisnis Cina Perantauan (nonpribumi) juga berkembang pesat. Menurut Pusat Data Bisnis Indonesia (PDBI), pada tahun 1994 total aset dari 300 konglomerat mencapai Rp271,8887 triliun, diperkirakan 78,3% atau senilai Rp212.832 triliun merupakan aset pengusaha non pribumi (CIA = Cina, India dan Arab).
Sementara pengusaha pribumi mengusai aset sekitar 17,9% atau senilai 48,674 triliun, sisanya 4,8% merupakan usaha asilimilasi. Uniknya, jaringan bisnis tersebut sebagian besar sudah menjadi dan membaur dengan masyarakat pribumi setempat. Sentimen etnis memang dapat saja bermunculan, tetapi pemicu utamanya lebih terletak pada kesenjangan soisal dan marginalisasi ekonomi kelompok yang semakin mengental pada era konglomerasi. (*)
Editor: Romandhon