NUSANTARANEWS.CO – Maruarar Sirait, ketua Steering Committee Piala Presiden meminta agar jangan mempolitisasi urusan bola dengan mempertentangkan hubungan Anies dan Jokowi atas insiden yang melebar ke publik.
Insiden tersebut sebagaimana menyebar ke publik, terjadi kala Gubernur DKI secara spontan akan turun ke podium bersama Jokowi dan jajaran pejabat negara (yang terlihat di video: Monkopohukam, Menpora, Menseskab) serta Maruarar, tim sukses Jokowi 2019 (baca berita digital hari ini: “Maruarar Sirait tawarkan Fadli Zon menteri jika Jokowi kembali terpilih presiden 2019”), namun Anies dihadang pasukan paspampres tidak boleh ke podium.
Spontan bagi Gubernur Anies adalah karena dia adalah penguasa ibukota. Spontan karena tim ibukota, Persija, yang menang dan akan mendapat piala, sehingga wajar dia ada di sana. Spontan, karena Piala Presiden 2015, Jokowi didampingi Gubernur Jakarta kala itu, Ahok, ke podium dan didampingi juga oleh Gubernur Jabar dan Walikota Bandung, karena pemenang piala 2015 adalah Persib. Dan spontan, tentunya karena Anies mengetahui benar bahwa olahraga adalah persahabatan bukan permusuhan.
Himbauan Maruarar Sirait tentu bak “mengantang asap”. Seluruh rakyat Indonesia kemudian pro kontra atas apa yang terjadi. Sekjen Partai PDIP, yang 2014 mendukung Jokowi, membela Anies. Dia mengatakan spantasnya Anies ada dipodium. Fahri Hamzah, tokoh oposisi saat ini, yang juga menumbangkan Suharto ketika mahasiswa, juga membela posisi Anies.
Menurut Fahri, Gubernur adalah tuan rumah acara kemarin. Dan Jokowi, sebagai Presiden, hidupnya diatur protokol negara, ada UU yang mengatur siapa saja yang boleh mendampingi presiden dalam sebauh acara.
Dalam tweet nya Fahri menegaskan, “Waktu cetak goal presiden Hepi sendiri gapapa…tapi kalau maju ke panggung bukan seenaknya kalian.” Bagi Fahri, penjelasan bahwa urusan piala presiden bukan urusan negara, sebagai alasan adalah alasan absurd.
(sebagai catatan bagi penulis, tweets Fahri ini juga adalah tweets pertama di mana Fahri membela Anies Baswedan)
Bey Mahmudin, protol Istana, mengatakan bahwa piala presiden adalah masalah privat.
Dalam pernyataan yang dikutip berbagai media, Bey menyatakan “Mengingat acara ini bukan acara kenegaraan, panitia tidak mengikuti ketentuan protokoler kenegaraan mengenai tata cara pendampingan Presiden oleh Kepala Daerah”.
Penegasan Bey ini menggambarkan kepada publik bahwa Presiden Republik Indonesia punya dua kehidupan di publik. Meskipun dia menggunakan Paspampres, mobil dinas anti peluru, didampingi menteri menteri yang menggunakan fasilitas negara dll., bisa sebentar urusan kenegaraan namun bisa juga urusan swasta. Sehingga protokol istana tidak perlu terlibat jika urusan swasta.
Penjelasan Bey ini bertentangan dengan tweets Fahri Hamzah di atas. Sesungguhnya di acara publik, presiden adalah Presiden RI yang terikat protokoler. Soal kehidupan privat (pribadi) tentu di luar publik.
Sport dan Politik
Urusan sport dan politik bukanlah urusan baru. Wikipedia membahas “Sport and Politics” dengan 87 referensi. Sport bagi para politisi selalu dijadikan ajang diplomasi. Sejarah pesta olahraga olimpiade selalu diwarnai diplomasi dan ketegangan, baik antar negara maupun terkait isu ras, gender dan keadilan sosial. Tahun 70 an olahraga catur antara Bobby Fischer dan Boris Spasky, selalu dimanfaatkan Amerika vs Uni Sovjet (Russia) sebagai perang urat syaraf.
Di Amerika, akhir tahun lalu, pemain bola (National Football Lague) Amerika menyampaikan tanda protes dengan duduk satu lutut dan tangan ke dada ketika lagu kebangsaan dikumandangkan. Hal ini sebagai simbol penolakan rezim Trump yang rasialis. Langsung saja Trump 4 kali men tweets mengecam mereka dan manajemen NFL yang biadab, tidak menghormati simbol negara mereka.
Tapi, olahraga juga sering digunakan untuk kebaikan. Winter Olympics tahun ini di Korea Selatan, ditandai dengan pengiriman delegasi penting dari Korea Utara, musuh berbuyutan. Dunia berharap ada langkah perdamaian setelah olimpiade ini nantinya.
Dalam tradisi Romawi, olahraga adalah panggung untuk kehormatan. Disitulah manusia tidak boleh menjadi pengkhianat. Apa yang disepakati diarena laga, tidak boleh dikhianati, setidaknya dimata penonton. Hal ini diperlihatkan dalam kisah yang diangkat dalam film populer “Ben-Hur” dan “Gladiator”. Permusuhan selesai di arena, meskipun raja dipermalukan.
Piala Presiden dan 2019
Seribu kali Piala Presiden dinyatakan panitia sekedar olahraga, sejuta kali rakyat menganggap berbeda. Presiden sudah lebih awal menyerukan kepada pendukungnya untuk kampanye, beberapa bulan lalu. Presiden sudah mengatakan ini tahun politik. Dan memang ini adalah tahun politik. Ketua Umum PSSI, sudah mencalonkan diri sebagai calon gubernur yang dianggap calon oposisi (Gerindra dan PKS). Makanya, seluruh rakyat yang nonton pembukaan Piala Presiden, Januari lalu, di Bandung, melihat dia duduk dipojokan. Padahal seharusnya dia yang paling depan.
Piala Presiden, dibuka dan ditutup dengan menampilkan menteri2 non olahraga. Apa urusan Wiranto, menteri urusan politik, mendampingi Jokowi beri piala? absurd tentunya.
Dari insiden kemarin, di mana Anies Baswedan, Gubernur Ibukota Jakarta, yang dipersepsikan tokoh tokoh politik “dianiaya” oleh Jokowi atau mungkin tangan kanannya seperti Maruarar, dan juga menciptakan ketegangan antar rakyat, dapat ditarik pelajaran bahwa Anies Baswedan memang sudah menjadi “momok” menakutkan bagi kemenangan Jokowi ke depan. Anies sudah menjadi ikon simbol kontra Jokowi. Artinya, bangsa ini sudah punya tambahan alternatif bagi calon presiden ke depan.
Namun, Anies Baswedan, dalam pernyataannya menanggapi pro kontra insiden itu, dengan mengatakan diberbagai media, “Terima Kasih Presiden” atas kemenangan dan piala bagi Persija, menunjukkan Anies seorang pemimpin dewasa. Anies seperti kaum elit Romawi, yang melihat urusan olahraga selesai digelanggang. (*)