Cerpen : Aziz AS Syah
Kenanglah…!
“Bisakah kau menulis!” sapa seketika, mengejutkan Inaya saat asik melihat keindahan luasnya samudra, seraya ia menjulurkan secarik kertas beserta sebatang bolpain yang terlihat masih utuh tanpa dipergunakan sama sekali.
“Mau menulis apa aku?” tanyanya dengan perasaan bingung. Lalu, mengambil secarik kertas dan bolpain itu.
“Tulis saja apa yang ada dalam benakmu,” suruhnya.
“Tapi, aku tetap tidak bisa. Sebab saat bolpain dan buku ada di hadapku seketika ide dan inspirasi yang ada hilang begitu saja,” jelasnya panjang lebar.
“Udahlah, tulis saja apa yang tersisa dalam benakmu,” ujarnya lagi tetap memaksa untuk menulis.
Begitu saja. Ia berlalu dari hadapannya tanpa duduk sesaat di sampingnya dan tak mengajak untuk bermain di tengan hamparan lautan yang membentang nan asri. Sungguh tega! Ia berjalan lurus mendekati riak gelombang yang menerjang bebatu karang. Tanpa menolehkan kepalanya ke belakang, ia fokus pada pemandangan yang memanjang di dapan matanya.
“Sayang… aku mesti menulis apa?” tanyanya lagi pada kekasihnya dengan suara lantang—berusaha ia mendengar suaranya sebab ia agak jauh dari sisinya.
Ia berdiri sekejab saat memanggil Faris kekasihnya. Serentak ia menoleh kearahnya lalu berucap menjawab pertanyaan itu.
“Tulis saja tentang diriku!” jawabnya dengan suara lantang. Agak lebay.
Sekejab ia mencerna jawab kekasihnya perihal kenangan-kenangan yang terindah selama bersama. Ia menimbang-nimbang kenangan yang mana yang pantas untuk ia tulis bersamanya sedangkan tidak ada kenangan yang paling terindah selain kenangan saat ini. ‘Tapi, aku harus memulai dari mana agar menjadi tulisan yang baik sebab nanti pasti ia akan membaca tulisanku.’
Beribu pertimbangan ia pikirkan sehingga tak membuat ia menghasilkan tulisan. Apalagi ia terlihat terpana melihat kekasihnya bermain air laut dan arus gelombang yang dihambur-hamburkan dengan kaki sesekali kedua tangannya. Tapi, ia takut untuk mendekati bermain karena ia masih mengingat bisiknya di telinganya.
“Jangan berusaha mendekatiku bermain di laut ini sebelum kau bisa menghasilkan tulisan.”
Bukannya ia tidak cukup tertarik untuk mendekatinya dengan keindahan yang sungguh indah namun ia masih terikat dalam genggaman kata-kata. Lagipula ia tidak ingin mendustai perintahnya dan tidak mau untuk menyakiti sedikitpun, karena rasa cinta yang terdalam telah membuat seperti itu.
Berapa menit kemudian, dari arah kejauhan Faris berlalu berusaha mendekatinya lagi. Langkah kaki gontai namun pasti. Dengan dua kemungkinan yang akan terjadi: mengajak ia bermain. Melihat tulisan yang telah ia tulis.
Sorot mata ia memandang kekasihnya dengan lekat pekat tanpa terkecuali ada orang berlalu-lalang di hadapannya, ia tidak hiraukan banyangan itu. Dan tidak akan terbayangkan, jika ada seekor binatang jahat yang menggigit kakinya. Kedipan mata pun enggan untuk ia lakukan karena saking terharunya melihat sang kekasih dalam balutan kegembiraan.
“Mana hasilnya?” ia menanyakan dari arah kejauhan.
Ia mengulang pertanyaan sampai dua kali. Namun ia tidak mendengar pertanyaannya. Ia semakin mendekatkan diri dan lagi-lagi tanya;
“Mana hasilnya?” tanyanya ketiga kali dan ia baru sadar ia dari lamunannya.
“Oh iya, maaf masih belum menghasilkan,” jawabnya dengan rendah hati agar tidak sedikitpun tercoret luka di hatinya.
“Apa saja yang kau lakukan dari tadi?”
“Tidak ada. Aku terpana memandangmu berjalan di dekat air laut dan sesekali kau mainkan dengan kakimu. Apalagi aku tidak pernah melihatmu segembira tadi selain hari ini,” ucapnya merayu.
“Aku harap setelah aku datang dari bibir arus, kertas ini sudah berisi dengan tulisanmu,” suruhnya lagi. Tanpa ia tahu maksud dari semua ini. Sebab, ia tidak pernah memberitahukan tujuannya, menyuruh menulis sehingga ia merasa bingung dengan perintahnya dan bahkan bingung untuk menuliskannya. Malu, jika tulisan yang dihasilkan tidak istimewa—tidak sesuai dengan harapanya.
Kemudian dengan keterapaksaan ia menulis kalimat yang terdapat dalam benaknya. Meskipun ia rasa sedikit tapi tidak apa-apa yang terpenting telah memenuhi permintaannya.
Kau sungguh gembira sore ini, di dekat bibir pantai dan arus gelombang membentang serta menjulang beribu keindahan. Aku rasa tidak pernah ada dan tidak akan pernah ada kenangan seindah sore ini di pantai Gelobang.
Seperti itu tulisan yang ia tulis dari kenangannya, dari hasil pertimbangan yang sedari tadi dipertimbangkan. Namun, ia percaya diri dengan tulisannya. Sebab, ia masih mengingat dengan jelas dalam otaknya motivasi yang seringkali ia dapatkan bahwa: sebagus apa pun karya mereka tidak akan pernah menang dengan tulisan yang ia tulisan sendiri.
Lalu, mereka berlalu dari pantai itu tanpa menghiraukan keindahan yang masih memanjang terbentang tanpa jeda.
Anehnya, Faris tidak sedikit pun menanyakan tulisannya saat mengajak Inaya pulang. Ia merasa heran dengan sikap, yang sepertinya semakin hari semakin tidak jelas. Menyikapi, seakan tidak kuat, tapi ini demi sang kekasih apa akan dilakukan.
***
“Besok sore kita ke sana lagi. Jika kau bisa!” sms itu ia terima. Sejenak ia termangu menyikapi sikapnya yang setiap hari mengajak ke pantai. Tak seperti biasanya. Sebab sedari dulu ia jarang sekali mengajak seperti saat ini. Ia merasa ada sesuatu yang dirahasiakan darinya. Barangkali tidak menuntut untuk ia tahu. Ia hanya berusaha mengingat sms itu sampai sore hari ia takut lupa sehingga tidak bisa menciptakan kenangan layaknya kemarin sore—bertabur keindahan.
“Aku merasa aneh dengan sikapnya” desisnya dalam hati. Beberapa menit berlalu.
***
Sungguh menawan keindahan pantai dan luas samudra walaupun setiap hari dinikmati oleh orang-orang, dan tercemari oleh polusi. Ia memengang lagi secarik kertas dan sebatang bolpain dalam genggaman tangan. Seketika ia tahu akan kehendaknya—bahwa kertas itu akan diberikan kepadanya untuk ditulis.
“Tulislah kenangan yang telah kita rajut bersama dan akan dilalui bersama, terserah mau dimulai dari mana asalkan tentang kita,” ia menyuruh Inaya menulis lagi seperti kemarin. Hanya saja ia menyuruhnya menulis tentang kenangan bersamanya.
Dugaan itu benar-benar terjadi, menulis. Akan tetapi, masih tersimpan rapat dalam dirinya sebuah rasa—rasa penasaran yang tak ujung-ujungnya. Apa maksud semua ini?
Ia melihat kekasihnya dalam keadaan gembira bahkan lebih gembira ia bayangkan. Dengan melambai-lambaikan tangan di atas pasir pantai dan sesekali menyipakkan ke air. Sungguh menawan!
Meskipun ia melihat kebahagiaan yang tak bisa terbayar oleh uang sepeserpun ia merasa tidak sempurna sebab ia tidak bisa merasakan kebahagiaan di sampingnya di tempat indah nan menawan. Sebab ia harus menyelesaikan tulisan perihal kenangan. Tapi, ia berharap dari kebahagiaan itu tidak menjadi akhir dari kepedihan selama hidup di dunia.
“Sayang, tulislah sebanyak-banyaknya tentang kenangan bersamaku agar abadi dalam tulisan dan hatimu. Dan sering-seringlah ke tempat ini saat kau hendak menulis karena di sini kau akan menemukan inspirasi serta kenangan,” ia berucap disela-sela ia begitu khusus menulis kenangan manis ataupun pahit sekalipun. Ia sedikit terkejut atas ucapan dan perkataan yang dilontarkannya namun ia tidak berdaya untuk membalas ucapan itu. Ia hanya mengangguk memberikan isyarat sepakat.
Ia semakin penasan dengan ke tidak pedulian pada tulisan yang telah ia dapat hasilkan, sedangkan nyatanya ia yang menyuruh menulis. Setidaknya ia membaca sejenak meskipun tidak keseluruhan untuk memberikan wejangan ataupun apresiasi terhadap tulisannya agar semangat membara terus menyala untuk terus menulis.
***
Keesokan harinya, ia merasa bingung harus dengan cara apa agar ia bisa tahu keadaan Faris di rumahnya. Sebab sedari kemarin sore ia tidak menghubungi meskipun sekedar sms; apa kabar? Tak ada. Hanyalah kebisingan ia dapatkan. Bahkan, saat ini ia tidak ujung ada kabar. Sms ia telah lakukan bahkan di telepon pun ia telah lakukan tapi hasilnya tidak sesuai dengan harapan. Ia semakin gelisah menyikapinya.
Sejenak ia berpikir tentang keberadaannya, mengira tempat biasa ia tempati selama ini. Namun tak ada kepastian yang benar dalam benaknya. Sehingga ia semakin gelisah, tambah gelisah. Akankah perkataan terakhir ia ucapkan akan menjadi akhir dalam kehidupannya? Sesekali ia mencoba lagi menghubungi nomernya namun tak aktif.
Beberapa menit kemudian, handponnya berdering bertanda bahwa ada orang yang mengirim pesan. Lalu, ia mengambil handponnya tertera nama Fajar teman dekat Faris. Tanpa basa-basi ia membuka pesan itu dengan perasaan takut. Seketika ia terpukau melihat pesan itu bertuliskan;
“Faris, kekasihmu kecelakaan, mayatnya ditemukan mengapung di tengah lautan oleh seorang pelaut.”
Benarkah kau akan meninggalkanku sendiri. Desisnya. Tubuhnya lunglai tak terasa teleponnya jatuh dari genggamannya. Dan air mata mengalir dari pelupuk matanya. Melihat kenyataan jauh dari dugaan. Sungguh tiada harap! Mengenangmu hidup bersamamu hanyalah harapan. Harapan yang tak pernah terjadi.
Nasib bergelantungan dalam dada mengitari hati yang semakin menjadi malapetaka. Kemudian ia berlalu dari tempatnya menuju pantai di mana Faris ditemukan, berlari menembus keremangan di depannya serta tak mempedulikan apapun yang akan terjadi.
Ia berlari terbirit-birit dangan isak tangis yang semakin menjadi-jadi. Sesekali ia berdesis dalam benaknya. Jangan katakan bahwa ini adalah pertemuan akhir dalam hidup kita sebab kau masih belum tuntas mengajarkan kumenulis di pantai. Dan jangan katakan, semua yang kau ajarkan adalah maksud untuk mengenakmu di pantai itu dan mengabadiakan dalam tulisan itu. Aku sudah mengerti dengan maksudmu sedari kemarin. Dan aku tak rela jika hidupmu berakhir seperti ini.
Ia terbaring di atas pasir putih itu dengan tubuh basah kuyup nan lunglai dan dikelilingi oleh banyak orang menyaksikannya. Menyiratkan wajah banyak orang tegang nan kaku.
Sementara, ia tak tahan untuk mendekati sebab aroma tubuhnya tercium jelas dalam hidung serta rasa membawa luka tiada tara. Ia hanya bisa menatapnya dari arah kejauhan dengan lekat, melekat. Lalu, ia berlari secepat mungkin mendekati sang kekasih, tanpa ia sadar terdengar bisikan dalam telinganya. Entah dari mana asalnya?
“Tenanglah kasih, bersabarlah! Aku tetap bersamamu selagi kau sandarkan tubuhmu pada luas pantai Lombang yang membentang. Tentu juga kau ingat, aku tidak akan meninggalkanmu sendirian menjalani hidup, meski di lain kehidupan. Dan tak perlu banyak alasan untuk tidak menulis bersamaku di pantai ini, kasih.”
Madura-Lubangsa, 14 Maret 2018 M.
*Aziz AS Syah adalah Santri Pondok Pesantren Annuqayah daerah Lubangsa, Mahasiswa Institut Ilmu Keislaman Annuqayah (INSTIKA) Guluk-guluk Sumenep Jawa Timur, Jurusan Tasawuf dan Psikoterapi (TP). Karyanya dimuat di Radar Surabaya, Terantologi: Suatu hari, Mereka membunuh Musim (Persi:2016), Kelulus (Persi: 2017). Bergiat di Komunitas Penyisir Sastra Iksabad (PERSI), Komunitas Cinta Nulis (KCN), Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Instika, aktivis Rumah Peneleh-4 sekaligus kader PMII Guluk-guluk.
__________________________________
Bagi rekan-rekan penulis yang ingin berkontribusi (berdonasi*) karya baik berupa puisi, cerpen, esai, resensi buku/film, maupun catatan kebudayaan serta profil komunitas dapat dikirim langsung ke email: [email protected] atau [email protected]