RubrikaTraveling

Shalat Jum’at di Mesita Cerny Most Praha Ceko

Shalat Jum'at di Mesita Cerny Most Praha Ceko
Shalat Jum’at di Mesita Cerny Most Praha Ceko/Foto: FM.

NUSANTARANEWS.CO, Praha – Shalat Jum’at di Mesita Cerny Ceko. Praha adalah kota yang eksotik, dihiasi oleh deretan gedung-gedung megah nan bersejarah. Praha juga dikenal dengan julukan “Kota Seribu Kastil” karena begitu banyaknya kastil yang bertebaran di setiap sudut kota. Praha telah berdiri sejak abad kesebelas sebagai ibu kota Bohemia yang merupakan tempat tinggal para pangeran dan raja-raja Ceko, Romawi, dan Jerman. Jadi wajar saja bila Praha menjadi komplek kastil terbesar di dunia yang bangunannya dilindungi oleh UNESCO.

Bagi seorang muslim, bukan perkara mudah untuk menemukan masjid di Praha. Dan keberadaan masjid memang sangat langka di kota kastil raja-raja ini. Di Praha hanya ada tiga masjid, dan letaknya pun sangat berjauhan. Bukan itu saja, bentuk bangunan masjidnya sulit dikenali, sebab tidak terlihat ciri-ciri khas bangunan menara dan kubah seperti bangunan masjid pada umumnya yang berada di Timur Tengah maupun Indonesia. “Untung sekarang ada mbah google, yang dengan map-nya dapat memandu kita mencari lokasi masjid yang sulit ditemukan.”

Biasanya saya shalat Jum’at di Masjid Annur Narodni Trida yang terletak di pusat kota, yang berjarak hanya selemparan batu dari Cafe Louvre. Meski terletak di kota, masjid ini bukan lazimnya seperti bangunan masjid yang megah seperti yang kita bayangkan di Indonesia, atau Timur Tengah.

Baca Juga:  Pemkab Nunukan Gelar Sosialisasi Penyelenggaraan Kearsipan

Masjid Annur Narodni Trida ini, adalah sebuah ruangan sempit yang berada di lorong sempit basement apartemen tua. Saking sempitnya, tidak mampu menampung jamaah shalat Jum’at yang datang. Oleh karena itu, agar jamaah dapat tertampung semua dan dapat menjalankan ibadah dengan nyaman, maka shalat Jum’at pun di bagi menjadi dua gelombang. Gelombang pertama pada pukul 12.00, dan gelombang kedua pada pukul 13.00.

“Kondisi ini terlihat sungguh memprihatinkan, semoga ada donatur dari negara-negara muslim yang tergerak hatinya untuk membantu membangun masjid yang representatif di kota Seribu Kastil ini.”

Nah, shalat Jum’at kali ini, saya bersama Mas Reza, kawan dari Aceh, ingin shalat di Mesita (Ceko), Mosque atau Masjid yang lumayan jauh jaraknya. Butuh waktu satu jam lebih untuk tiba di sana yang lokasinya berada dipinggiran kota Praha.

Sekitar pukul 10.45, kami berangkat dari asrama dengan semangat ’45 menuju stasiun trem yang berjarak kurang lebih 650 meter. “Ya jalan kaki.” Lalu naik trem sebentar, turun dan transit ke stasiun Metro (Subway). Tiba di stasiun Mustek, turun lagi, dan pindah jalur. Di stasiun terdekat, kami turun, dan meneruskan perjalanan dengan berjalan kaki sekitar 1 kilometer.

Baca Juga:  Diambil Sumpah, Marsono Resmi Jabat Ketua DPRD Tulungagung

“Wah, kalo tidak biasa jalan kaki, tentu kaki dan dengkul terasa berat. Saran saya seandainya mau jalan-jalan ke Praha harus menyiapkan kaki dan dengkul yang kokoh,,. Karena kaki menjadi modal utama untuk mobilitas. Ga ada ojek, becak, angkot dan kawan-kawannya yang ngetem di sana….”

Tepat pukul 12 kurang 5 menit, kami tiba di masjid. Meski tidak terlihat ada kubah dan menara, namun dari luar sudah terkesan gambaran masjidnya – karena terdapat tulisan kaligrafi di dindingnya.

Setelah masuk, tempat shalatnya ternyata ada di lantai dua, dan tempat wudhunya berada di lantai tiga, berdampingan dengan toilet.

Suasananya masih agak sepi ketika kami datang. Beberapa jamaah terlihat di dalam ruangan, ada yang shalat, membaca al Qur’an, dan ada pula yang berbincang-bincang dengan temannya.

Bagian dalam gedung masjid, dindingnya dihiasi dengan tulisan kaligrafi Asmaul Husna. Di bagian depan sebagaimana lazimnya sebuah masjid ada mimbar khatib dan mihrab imam. Namun, setelah diperhatikan lebih seksama, ada rasa yang berbeda dengan posisi mimbar dan mihrab. Seolah seperti bertukar tempat, karena ini untuk pertama kalinya saya melihat mimbar terletak disebelah kiri mihrab (maklum, mungkin saat di Indonesia, mainnya kurang jauh, hehehe).

Baca Juga:  Budaya Pop dan Dinamika Hukum Kontemporer

Pukul 12.10 terdengar suara adzan dikumandangkan oleh muadzin. Saya menunggu sejenak, kok tidak tidak ada khatib yang naik ke mimbar? Tetapi justru para jamaah berdiri untuk shalat sunnah… “Wah ini mirip dikampungku, kataku dalam hati. Adzan pun dikumandangkan dua kali.

Setelah shalat sunnah usai, tak terlihat bayangan khatib menuju mimbar. Jangan-jangan khatibnya berhalangan, pikirku. Sampai setengah jam, belum juga ada tanda-tanda kehadiran khatib.

Memasuki pukul 13.00, saya yang terkantuk-kantuk kembali mendengar suara adzan. Baru kemudian kemudian nampak terlihat khatib naik ke mimbar dan mengucapkan salam dengan suara yang jernih. Seorang pria muda, dengan rupa Arab berwajah ganteng dan terlihat terpelajar menyampaikan khutbah dengan bahasa Arab yang fasih. Khutbah pertama berlangsung sekitar 15 menit, lalu diterjemahkan ke bahasa Ceko oleh pendamping – lalu dilanjutkan khutbah kedua. Shalat Jumat selesai sekitar pukul 13.30.

Kebanyakan jamaah tidak langsung bubar untuk fantasyiru fil ardh, tetapi menunggu waktu ashar tiba, yaitu pukul 13.50 (saat winter, siang hari sangat pendek). Saat ashar tiba, adzan dikumandangkan, selesai adzan langsung iqomah, dan shalat ashar berjamaah tertunaikan.

Selesai shalat ashar, sayapun bersalam-salaman dengan para jamaah, lalu berpamitan. (ed. Banyu)

Penulis: Fatekhul Mujib

Related Posts

1 of 3,050