NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Baru-baru ini (20/7) publik tanah air dikejutkan oleh penggerebekan Satgas Pangan atas PT Indo Beras Unggul (IBU). Dalam penggrebekan itu, Satgas menemukan 1.161 ton beras merek tertentu yang diindikasikan telah melakukan kesalahan. Pertama, diklaim sebagai praktik bisnis tidak sehat. Kedua, melakukan kebohongan publik karena dioplos.
Dikatakan tidak sehat, karena PT IBU membeli beras (padi) dari petani dengan harga jauh di atas yang ditentukan Bulog. PT IBU membeli gabah dari petani dengan harga Rp4.900/kg. Sementara harga yang ditetapkan pemerintah Rp3.700/ kg. Dampaknya, kata pemerintah mengakibatkan perusahaan lain tidak bisa membeli dengan harga tinggi.
Pemerintah menduga perusahaan ini meraup keuntungan besar atas praktik usaha tersebut. Dari segi kualitas, beras yang disebut ”premium” itu kata Menteri Pertanian Amran Sulaiman disebut berjenis IR 64. Yang diklaim sebagai ”beras bersubsidi”.
Kalau memang ada dan benar beras IR 64, pasal ‘pengoplosan beras’ dan penipuan publik yang dituduhkan pemerintah kepada PT IBU, sungguh menggelikan sekaligus konyol. Anggota DPR RI Komisi IV Andi Akmal Pasluddin (24/7) menyebut penyajian data tentang beras oleh pemerintah, baik pemikiran tentang subsidi, tentang HET, tentang serapan beras dan produksi beras semua janggal dan tidak masuk akal.
“Semua argumen pemerintah tidak masuk akal tentang beras. Tidak dapat dipertanggungjawabkan baik secara ilmiah maupun politis,” ucap Andi Akmal.
Begitupun dengan Wakil Ketua Komisi IV DPR RI Viva Yoga Mauladi (23/7) meragukan pernyatan Mentan terkait jenis beras IR 64 yang disubsidi pemerintah. Menurutnya, selama ini tidak ada kebijakan pemerintah yang menetapkan beras IR 64 diberikan subsidi.
“Sejak kapan beras IR 64 ini disubsidi pemerintah? Setahu saya tidak ada tuh klausul pemerintah mensubsidi beras IR 64,” ujar Viva Yoga.
Dirinya menambahkan soal IR 64, sebenarnya sudah tidak ada lagi penjual benih IR 64 semenjak diganti dengan varietas lain. Sekalipun ada, itu pun sedikit. “Apakah benar saat ini masih ada beras IR 64? Siapa saja penjual benihnya? Bukankah sudah diganti dengan varietas lain yang lebih baru seperti Ciherang, Mekongga, Inpari dan lain-lain?” sambungnya.
Sesat Pikir ‘Oplos’Beras
Apa yang salah dengan mengoplos (meracik/mencampur) beras? Sebelum lebih jauh menghakimi istilah kata ‘oplos’, perlu diketahui bahwa dalam babakan kuliner atau makanan, sebenarnya ‘mengoplos’ itu sudah lazim dilakukan para peracik makanan (chef).
Ingat, dalam dunia kuliner ‘mengoplos’ sama halnya ‘meracik’. Pertanyaannya dimana letak kesalahan PT IBU sebagai sebuah perusaan yang memiliki ‘resep’ dalam meracik beras?
Seni meracik bahan makanan tidak bisa dikenakan sangsi. Mengolah beras yang semula biasa-biasa saja menjadi beras istimewa, juga tak bisa dihakimi sebagai penipuan. Kecuali itu memiliki dampak berbahaya bagi kesehatan banyak orang. Ini bukan persoalan memalsukan varietas beras, melainkan keahlian pihak pemproduksi dalam meramu berbagai jenis beras yang ada. Sebab dari hasil racikan (oplosan) mampu menghasilkan beras yang memiliki cita rasa yang jauh lebih bagus.
Intinya tetap beras, dengan kandungan karbohidrat sama. Bukan beras plastik sebagaimana yang diproduksi Cina. Jika benar, PT IBU memanfaatkan beras IR 64 sebagai bahan dasar utamanya, apa yang salah? Ini kan lucu. Sementara IR 64 sudah lama tak disubsidi pasca presiden Soeharto dulu.
Sederhana saja, sebagai contoh, ada dua orang. Sebut si A dan si B. Keduanya sama-sama penjual kopi. Mereka memperoleh jenis biji kopi dari tempat yang sama. Kualitas juga sama.
Kemudian si A meracik kopi dengan menggunakan tembikar tradisional dan menjajakan hasil kopinya di warung-warung biasa dengan harga ya biasa-biasa pula. Kemudian, si B meracik kopinya menggunakan resep ala barista-barista terkenal. Bahkan untuk proses penggorengannya, si B ini menggunakan temperatur suhu yang sudah disesuaikan demi menghasilkan cita rasa yang berkualitas. Atau bisa juga ia mencampurnya dengan jenis kopi lain, guna menghasilkan cita rasa yang berbeda.
Maka jadilah kopi ‘premium’. Dengan proses yang panjang dan resep yang matang, maka cita rasa kopi milik si B pun menjadi istimewa. Dia menjualnya di atas harga standar. Apakah itu salah?
Pertanyaanya, apakah si B ini kemudian bisa dituduh ‘makar’ dan melanggar hukum, lantaran berbeda? Sama kasusnya dengan PT IBU. Artinya, kasus beras ini murni ada kepentingan dalam persaingan ekonomi antar pedagang beras. Nah pertanyaanya, siapa bandar yang merasa kalah saing ini?
Editor: Romandhon