EkonomiPolitik

Serangan Teroris Demi Keuntungan Finansial?

NUSANTARANEWS.CO – Terorisme untuk keuntungan finansial adalah sebuah ancaman nyata. Mengandalkan pasar saham untuk bereaksi rasional terhadap serangan teroris bukanlah sebuah strategi investasi yang baik. Ambil contoh misalnya saham Borussia Dortmund benar-benar naik sehari setelah serangan bom menjelang laga leg pertama perempat final Liga Champions kontra AS Monaco, Selasa (11/4).

Tom Smith, seorang dosen hubungan internasional di University of Portsmouth dalam tulisannya di Independent mensinyalir tersangka dalam serangan tersebut hendak memperoleh keuntungan secara finansial dengan rencana yang cukup rumit sehubungan dengan jatuhnya harga saham. “Ini adalah perubahan langkah, tapi pada akhirnya itu menjadi cacat,” kata Tom.

Dalam bahasanya, Tom menyebut teror tersebut dengan label spekulan terorisme. Menurutnya, strategi semacam itu bergantung pada efek teror, dan di situlah letak cacatnya. Dalam konteks serangan terhadap Dortmund, Tom melihat ketakutan akan terorisme jarang tampil sebagai berita utama, alih-alih peringatan dan kebijakan yang dihasilkannya. “Tapi sebaliknya, terorisme telah menjadi sarana ‘othering‘ yang menonjol, yang ada di masyarakat kita dan membedakan identitas politis,” paparnya.

Baca Juga:  Blusukan Pasar di Jember, Cabup Fawait  Sorot Minimnya Tempat Ibadah di Pasar

Tom menjelaskan, laporan terkait terorisme secara teratur memperlihatkan kurang seriusnya prasangka buruk kita terhadap sebuah teror. Dan serangan terhadap Dortmund, dilihat Tom hanyalah efek dari kurang seriusnya prasangka buruk tersebut.

Seorang yang mengaku muslim mengambil jalan pintas melalui serangan lalu mengklaim bertanggungjawab, itu hanyalah palsu belaka. “Dia sedang makan dengan nafsu tak terpuaskan yang hampir tidak membutuhkan umpan. Anggapan Islam militant itu bisa dimengerti, namun tak lebih hanyalah sebuah jebakan belaka,” sambung Tom lagi.

Sekali lagi, dalam konteks serangan terhadap Dortmund, Tom memperingatkan bahwa teroris mengambil keuntungan dari itu. Sebabnya, prospek terorisme ‘palsu’ dari kelompok-kelompok kanan yang ingin merusak kebijakan Jerman terhadap pengungsi dari Suriah kini tengah menjadi perdebatan panas. “Tidak ada yang menyarankan ‘bendera palsu’ itu untuk keuntungan komersial individu,” cetusnya.

Padahal, terorisme sering memiliki unsur komersil. Paling tidak di Jerman, di mana dari tahun 1970-an Fraksi Tentara Merah merampok bank untuk melayani revolusi anti-kapitalis dan anti-imperialis mereka. Sementara reformasi politik adalah propaganda, keuntungan finansial telah membentuk arus masuk secara reguler dalam terorisme. Terorisme secara klasik disalahpahami sebagai kekerasan dalam pelayanan strategi kolektif daripada strategi individualistik.

Baca Juga:  PDKN Ingatkan Presiden Prabowo Subianto Tentang Pembentukan Menteri Kabinet Menghadapi Multi Krisis Sosial Politik, Ekonomi, dan Keuangan

“Carlos the Jackal”, sebelum dia mencoba membunuh Joseph Sieff, ketua perusahaan (dan tokoh terkemuka di Federasi Zionis Inggris), pada tahun 1973 atas nama Front Populer untuk Pembebasan Palestina (PFLP). Namun prospek serangan terhadap sosok sensitif secara finansial menjadi jelas, meski sampai saat ini nampaknya lebih teoritis daripada praktis.

Terorisme, terutama yang bersifat komersial dan individu paling pasti ada dalam agenda sekarang, yang belum pernah ada sebelumnya, dan sementara prasangka kita mungkin menyesatkan diri kita, mereka tidak akan menyulutnya. “Beberapa orang bisa mendapatkan keuntungan dari kematian, luka dan pengenaan rasa takut pada manusia lain. Tapi itu tidak mudah. Kami tidak mudah takut begitu saja,” tegasnya.

Mengandalkan pasar saham untuk bereaksi rasional terhadap serangan teroris bukanlah strategi investasi yang baik. Mengkuantifikasi efek rasa takut adalah permainan. Ketakutan akan terorisme sebagian besar berlebihan, bahkan manakala bermanifestasi secara komersial. Setelah 9/11, pasar saham AS memantul kembali dalam waktu sebulan sementara masih ada asap yang berasal dari reruntuhan World Trade Center. Setelah 7/7, bagi kebanyakan orang London 8/7 adalah hari kerja yang menyedihkan, bukan yang penuh rasa takut. Kita bisa kembali ke IRA dan melewati tepian ini untuk mendapatkan lebih banyak bukti semacam itu.

Baca Juga:  Kesenjangan Tinggi, Cagub Luluk Janjikan Perubahan di Jatim

Di luar yang segera terpengaruh, terorisme pada dasarnya merupakan agenda media. Salah satu politisi, mungkin juga komentator hampir selalu berapi-api ketika mengkomentari ihwal terorisme. Terlepas dari risiko yang disajikan oleh masalah kesehatan mental mereka, individu dengan objek sehari-hari seharusnya tidak membuat kita takut satu sama lain. Politisi secara teratur mendapatkan keuntungan dari ketakutan manufaktur seputar terorisme. Theresa May mengejutkan dengan reaksi berlebihan terhadap serangan Westminster, menyebut tidak kurang dari “serangan terhadap kita dan kebebasan kita”. Tapi pada saat bersamaan, muncul statemen dari May yang menyatakan bahwa kita tidak akan takut.

Dengan setidaknya mengurangi udara panas dari rasa takut yang menghalangi terorisme, kami mengurangi ruang untuk reaksi berlebihan, dan untuk pencatutan politik dan finansial.

Pewarta: Eriec Dieda
Editor: Achmad Sulaiman

Related Posts

1 of 21