NUSANTARANEWS.CO – Tercatat per tanggal 12 September 2018 lalu telah ditetapkan susunan direksi baru Garuda Indonesia. Dengan mengangkat Dirut baru bernama I Gusti Ngurah Ashkara Danadiputra (Ary Ashakara). Sebelumnya ia pernah selama 2 tahunan menjabat sebagai CFO Direktur Keuangan Garuda Indonesia tahun 2014 –2017.
Ary Askhara kali ini masuk sebagai direktur utama Garuda Indonesia dengan kondisi dan kinerja perusahaan yang tidak baik. Tahun 2017 lalu, kerugian perusahaan Garuda Indonesia mencapai di atas 2,7 triliun dan semester 1 tahun 2018 turun menjadi menjadi 1,67 triliun. Pada akhir tahun kerugian diharapkan akan kembali menyusut, mengingat harapan akan ada revenue yang besar dari penerbangan haji.
Dimana Garuda Indonesia ikut menerbangkan jamaah haji regular sekitar 110.000 jamaah regular. Sebuah pemasukan revenue yang selalu diharapakan Garuda Indonesia pada semester ke-2. Sebagai maskapai yang selama puluhan tahun mempunyai pengalaman lama untuk maskapai haji, Garuda Indonesia memiliki sebuah previlage.
Namun yang menarik kita analisa adalah fenomena kepemimpinan direksi dan dirut Garuda Indonesia selepas era CEO Emirsyah yang hampir 9 tahun menjadi dirut. Dari tahun 2005 sampai dengan 2014 hampir utuh 2 periode. Sejak era CEO Emirsyah Satar, digantikan oleh CEO Arief Wibowo (2014 s/d April 2017 selama 2 tahun 3 bulan) dan dilanjutkan oleh CEO Pahala Manshuri (April 2017 s/d September 2018 selama hanya 1 tahun 5 bulan) adalah sebuah rekor terpendek CEO Garuda Indonesia yang pernah ada di era manajeman modern saat ini di era Pahala Manshuri.
Lalu apakah meraka CEO Arief dan Pahala dikatakan mereka memang kurang mampu dalam kapasitasnya sebagai CEO? Menurut saya sih tidak juga, pemilihan direksi perusahaan (maskapai) BUMN tentu sudah melalui serangkaian proses fit and proper test dari kementrian BUMN selaku pemegang kuasa dari pemerintah. Dimana saham pemerintah adalah saham dwi warna masih memegang 51%.
Seperti diketahui Garuda Indonesia melenggang ke pasar bursa saham pada waktu bulan Februari 2011. Lalu mengapa era CEO Arief wibowo dan Pahala begitu singkat memegang nakhoda di maskapai BUMN Garuda Indonesia?
Perlu kita ketahui bahwa sejak 10 tahun belakangan ini banyak sekali perubahan geopolitik dan bisnis global yang berdampak pada tidak beresnya fluktuasi harga minyak dunia (37% cost maskapai dihabiskan untuk membeli avtur) dan 75% komponen cost maskapai masih memakai dan ekual dengan USD Dollar. Misalnya, untuk pengeluaran biaya maskapai, biaya training pilot untuk simulator ke luar negeri dan kursus lainnya. Begitupun dengan leasing pesawat mutlak dengan USD Dollar, asuransi untuk provider luar negeri, harga avtur disetarakan dengan naik turunnya USD Dollar, pembelian spare parts, pembelian komponan in flight entertaintaint AVOD audiao video on demand, catering untuk wine, salmon masih import dari luar.
Itu adalah gambaran biaya biaya dalam bentuk USD Dollar yang akhir akhir ini malah di luar anggaran nilai USD yang dipatok dalam APBN tahun 2019. Bisa jadi akan berlanjut tahun 2019. Momok pembiayaan maskapai dua tahun belakangan ini adalah kurs USD Dollar dan harga minyak dunia. Nampaknya 2 CEO yang lalu kurang bisa mengatasi 2 hal di atas.
Track Record Ary Ashakara
Dan kinilah saat CEO baru Ary Ashakara yang mempunyai track record sebelum di Garuda. Ia pernah di ANZ bank, dan CFO, CEO 2 perusahaan BUMN, Waskita Karya dan Pelindo 3 serta pernah 2 tahun sebagai CFO di Garuda tahun 2014 s/d 2016. Harusnya dengan pengalamannya cukup itu, bisa untuk menyusun strategi Garuda Indonesia dalam mengatasi faktor eksternal maskapai dan bisa mengantispasi situasi gejolak geo politik internasional dengan latar belakang pengalamannya.
Kedekatan Ary Askhara dengan Sekber, serikat karyawan dan Asosiasi pilot diharapkan bisa meredam gejolak pilot Garuda dan keinginan karyawan untuk mogok. Kondisi pilot mogok pilot dan tenaga teknisi biasanya terjadi mengingat bargaining posisi mereka kuat, dan itu telah terjadi tahun ini terhadap maskapai Lufthansa Jerman dan Air French Perancis.
Sehingga 2 maskapai itu men-cancel ribuan penerbangan untuk mogok 2 minggu. Saya pada waktu ke Tokyo, bulan April 2018 bertemu dengan kawan saya mr. Gilles, memegang tiket Air France. Mr. Gilles berangkat memakai dan mebeli tiket Air France, namun dia tidak bisa pulang ke Paris mengingat Air France dalam kondisi pilot mogok hampir 2 minggu tahun 2018 ini.
Akhirnya dia terpaksa membeli tiket baru, French Air menolak mengganti tiket baru. Sekali lagi konsumenlah akhirnya menjadi korban pemogokan-pemogokan. Nah di sini kelebihan Ary Askhara CEO baru Garuda Indonesia. Dimana dia sudah mau bergaul dekat dengan Serikat Pekerja Garuda Indonesia hingga saat ini.
Paling tidak, bagi BOD Garuda Indonesia yang baru ini, mereka bisa bekerja dengan fokus. Tidak dihantui oleh demo, mogok seperti maskapai maskapai Air French, Lufthansa dan Qantas air. Qantas staf teknisinya paling getol mogok minta kenaikkan gaji.
Namun kondisi saat ini team BOD masih menghadapi kendala yang cukup berat. Yakni susunan direktur. Menurut analisa saya masih terlalu gembrot organiasasi dengan 7 direksi dan 6 direktorat. Yaitu Direktorat Marketing, Keuangan, HRD, Operation, Teknik, Cargo sebuah organisasi yang cukup tambun, mengingat kelemahan semua perusahaan adalah koordinasi antar unit sangat lemah, paling merasa penting unitnya sehingga muncul ego sektoral yang bisa menghambat kecepatan mengambil keputusan.
Semoga BOD yang baru yang relatif mempunyai visi yang sudah satu chemistry dimana kebanyakan dari team Pelindo 3 bisa meminimalisi hambatan ego sektoral ini. Hambatan operational cost di lapangan yang masih timbul adalah dengan masih dioperasikannya 15 pesawat Garuda Indonesia bikinan Canada, CRJ 1000 Bombardier. Pesawat ini sepertinya kurang cocok untuk dioperasikan di Negara tropis dan kurang disukai oleh customer di Indonesia. Mengingat cabin baggage yang terbatas dan kapasitas cargo space yang hanya mengangkut 500kg diluar bagasi. Sehingga penghasilan kargo revenue dari CRJ1000 Bobardier menjadi limited juga alias tidak maksimal.
Ada baiknya opsi lease back ke maskapai lain perlu dilakukan untuk keberadaan Bombardier CRJ 1000 ini. Agar tidak membebani cost Garuda Indonesia.
Namun dengan menyandang maskapai bintang 5, mempunyai kerjasama alliansi dengan 25 maskapai dunia dalam wadah aliansi Sky Team serta 4x meraih Best Cabincrew dari lembaga pemeringkat Sky Trax merupakan branding yang kuat bagi Garuda Indonesia untuk menumbuhkan kepercayaan pelanggan loyalnya. Baik itu market korporasi maupun pelanggan setia yang tergabung dalam klub Milleges, program loyalty mereka. Sebanyak 70% penumpang Garuda Indonesia adalah repeater pemegang Loyalti Mileages Program.
Intinya jangan kecewakan pelanggan setianya dan lakuan rapport, binaan lanjutan paska terbang. Mereka adalah tulang punggung Garuda Indonesia selanjutnya. Dan selamat bekerja untuk direksi Garuda Indonesia yang baru. Saya berharap BOD yang baru minimal sukses rampung bertugas 1 periode normal, 5 tahun ke depan.
*Arista Atmadjati, SE.MM penulis adalah Praktisi Penerbangan Nasional, Analis Penerbangan RI dan Anggota Asosiasi Profesional Pariwisata Indonesia ASPPI, DPC Jakarta Barat Mengajar Mata kuliah Aviasi di beberapa Universitas, CEO Aiac aviation