NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Sampai akhir tahun 2019, pemerintah mentargetkan sebanyak 750.000 pekerja konstruksi Indonesia tersertifikasi. Pemerintah telah menerbitkan Undang-undang (UU) No. 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi yang baru terbit menggantikan UU Jasa Konstruksi Nomor 18 tahun 1999. UU yang baru ini menjadi dasar bagi sektor jasa konstruksi nasional semakin profesional dan berdaya saing di tengah kompetisi global.
Dengan kata lain sertifikasi (kualifikasi) dalam meningkatkan kompetensi bagi para jasa konstruksi sangat penting. Menurut Menteri PUPR Basuki Hadimuljono sertifikasi tenaga kerja konstruksi merupakan salah satu prasyarat yang harus dipenuhi untuk tetap dapat memiliki daya saing tinggi dalam persaingan global yang ketat.
“Sekarang semua tenaga kerja konstruksi harus bersertifikat dan siap berkompetisi menghadapi persaingan global, salah satunya adalah MEA (Masyarakat Ekonomi ASEAN),” kata Basuki.
Sementara itu, Direktur Jenderal Bina Konstruksi Yusid Toyib menyatakan, sertifikasi akan menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi besarnya upah yang diterima (billing rate) pekerja konstruksi. Saat ini Kementerian PUPR tengah menyiapkan Rancangan Peraturan Menteri (Rapermen) untuk penetapan standar remunerasi minimal bagi tenaga kerja konstruksi sesuai amanat UU Jasa Konstruksi.
“Besarannya remunerasi nanti tergantung dari pendidikan, pengalaman, serta sertifikat yang dimiliki,” ujar Yusid usai acara Sosialisasi UU No. 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi.
Dengan adanya standar remunerasi, minimal hal ini akan meningkatkan kesejahteraan dan daya saing para pekerja konstruksi di Indonesia, “Saya yakin kemampuan pekerja konstruksi dalam negeri tidak kalah dengan pekerja konstruksi asing. Jadi saya harap nantinya tidak ada perbedaan upah yang mencolok antara pekerja lokal dan asing,” tandasnya. (Jay)
Editor: Romandhon