Politik

SBY Tak Percaya Krisis Timur Tengah Berujung Perang Dunia

Mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Foto IST
Mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. (Foto: IST)

NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Presiden RI ke-6, Susilo Bambang Yodhoyono (SBY) tidak percaya krisis di Timur Tengah bakal menjurus ke sebuah perang besar. Salah satu krisis Timteng yang tengah panas ialah antara Amerika Serikat versus Iran pasca kematian petinggi IRGC, Qassem Soleimani oleh drone AS.

“Saya pribadi termasuk orang yang tak mudah percaya bahwa krisis di Timur Tengah saat ini bakal menjurus ke sebuah perang besar. Apalagi perang dunia,” kata SBY dikutip dari sebuah catatannya, Jakarta, Kamis (9/1).

Namun, tetap saja, SBY menaruh rasa cemas dengan tingginya eskalasi di Timur Tengah pasca kematian Soleimani. Karenanya, SBY menyerukan kepada para pemimpin dunia agar tidak abstain dan tidak melakukan pembiaran. Maksudnya, dirinya meminta para pemimpin dunia melakukan sesuatu.

“Mereka, termasuk Perserikatan Bangsa-Bangsa, harus do something. Terlalu berbahaya jika nasib dunia, utamanya nasib 600 ratus juta lebih saudara-saudara kita yang hidup dan tinggal di kawasan itu, hanya diserahkan kepada para politisi dan para jenderal Amerika Serikat, Iran dan Irak. Timur Tengah dan bahkan dunia akan bernasib buruk jika para politisi, diplomat dan jenderal di negara-negara itu melakukan kesalahan yang besar,” paparnya.

Baca Juga:  Bidik 55 Persen Suara di Sumenep, Cagub Luluk Temui Alumni Annuqayah

Menurut SBY, terlalu besar risikonya jika kesalahan besar terjadi karena bisa memunculkan terjadinya tragedi kemanusiaan yang juga besar.

“Generasi masa kini memang tidak pernah merasakan harga yang harus dibayar oleh sebuah perang dunia, sebagaimana yang terjadi di awal dan medio abad 20 dulu,” ujarnya.

SBY menyebut dirinya terus mengikuti pemberitaan media internasional pasca tewasnya Jenderal Iran Qassem Soleimani oleh serangan udara Amerika Serikat.

“Siang dan malam saya mengikuti pemberitaan media internasional. Saya ikuti aksi-aksi (dan juga reaksi) politik, sosial dan militer di banyak negara yang punya kaitan dan kepentingan dengan Timur Tengah. Utamanya yang dilakukan oleh Irak, Iran dan Amerika Serikat. Bukan hanya pada tingkat pemimpin puncak, tetapi juga pada pihak eksekutif, legislatif, militer dan bahkan rakyatnya. Bukan hanya aksi-aksi nyata yang dilakukan di masing-masing negara, tetapi juga pada hebohnya sikap ancam-mengancam, perang mulut dan retorika besar yang digaungkan,” urainya.

Baca Juga:  Kerahkan Baladewa Dukung Khofifah-Emil di Pilgub, Ahmad Dhani: Optimis Menang 60 Persen

Pertanyaannya sekarang adalah apakah sebuah perang besar yang mengerikan bakal benar-benar terjadi?

“Jawabannya tentu tak mudah. Saya yakin tak ada yang berani memastikan perang itu pasti terjadi. Atau sebaliknya,” imbuh dia.

“Harapan saya adalah apa yang harus dilakukan oleh Amerika Serikat, Iran dan Irak dan juga dunia pada umumnya, agar sebuah peperangan di kawasan yang rakyatnya sudah cukup menderita itu dapat dicegah dan dihindari,” lanjutnya.

“Saya orang biasa dan tak punya kekuasaan yang formal. Namun, sebagai warga dunia yang mencintai perdamaian dan keadilan, secara moral saya merasa punya kewajiban untuk to say something,” kata SBY lagi.

SBY menambahkan, miskalkulasi atau salah hitung kerap menjadi faktor yang mendorong terjadinya peperangan. Demikian juga kejadian di lapangan, yang tak terduga, seperti yang terjadi di Sarajevo tahun 1914 dulu.

“Dari kacamata ini, sejarah tengah menunggu apakah politisi dan jenderal Amerika Serikat dan Iran melakukan miskalkulasi, sehingga akhirnya mendorong terjadinya perang terbuka di antara mereka,” imbuh SBY.

Baca Juga:  Anggota DPRD Nunukan Ini Berjanji Akan Perjuangkan Penguatan Insfratruktrur

Patut diingat, katanya, di kawasan Timur Tengah terlalu banyak elemen yang tidak selalu berada dalam satu garis komando dengan pemimpin puncaknya. Dalam konteks permusuhan dan ketegangan Amerika Serikat dengan Iran saat ini, ada sejumlah elemen di luar Iran (dalam kapasitasnya sebagai negara).

Misalnya Hesbollah di Libanon, Hamas di Palestina, dan elemen dalam negeri Irak yang sangat pro Iran. Belum organisasi radikal dan terorisme yang meskipun tidak ada kaitannya dengan Iran, tetapi anti Amerika. Jadi, segala kemungkinan yang menjadi pemicu meletusnya sebuah perang terbuka selalu ada.

“Perang juga mudah terjadi di tangan pemimpin yang eratik (erratic) dan gemar perang (warlike). Saat ini sejarah juga sedang menguji apakah Presiden Trump, Ayatollah Khamenei dan Presiden Rouhani termasuk kategori pemimpin yang eratik dan suka perang atau tidak. Semoga mereka bukan tipe itu,” papar SBY. (eda)

Related Posts

1 of 3,064