Sastra yang Mendahului Zamannya
Oleh: Eeng Nurhaeni, Pengasuh Pondok Pesantren Al-Bayan, Rangkasbitung, Banten
Dalam artikel saya berjudul Skizofrenia dan Hasrat Berkuasa (Media Indonesia, 24 April 2019), secara lugas saya mengungkap banyaknya orang tua Indonesia (termasuk purnawirawan tentara) yang terserang wabah post-power syndrome. Bila kita membaca novel Pikiran Orang Indonesia (POI), gejala penyakit kejiwaan itu sebenarnya sudah menyerang para penguasa yang mewarisi watak dan karakteristik rezim Orde Baru yang berbaring selama berbulan-bulan, menghindari pengadilan, hingga keranjingan tayangan-tayangan televisi pada acara kuis dan perjudian.
Narasi-narasi pada novel POI lebih mendekati gaya jurnalistik ketimbang pengembaraan imajinasi pengarangnya. Hal tersebut mengingatkan saya pada gaya penulisan Pramoedya Ananta Toer dan Seno Gumira Adjidarma (khususnya Saksi Mata) yang sarat dengan data-data yang valid dan akurat, hingga layak digolongkan sebagai karya multi-religi yang bicara tentang pembelaan terhadap hak dan nilai-nilai kemanusiaan.
Ketika peluncuran novel POI di pesantren kami Al-Bayan, Banten, sang pengarang Hafis Azhari mengakui dalam orasinya, bahwa dirinya berkarya karena suatu keterpanggilan menyaksikan realitas yang ada. Dengan menulis, ia menyodorkan kepada khalayak tentang realitas kompleks pada diri manusia mengenai tabiat, karakteristik, dan amal perbuatannya. Hingga memberikan solusi tentang apa yang sebenarnya, dan apa yang sebaiknya dilakukan terhadap sesamanya.
Ketika beberapa tokoh agama di Banten menyerang novel POI sebagai karya sastra beraliran sosialisme dan sekulerisme, Hafis menghadapi tuduhan itu secara elegan dan bersahabat. Ia merangkul kiai-kiai (pengasuh pesantren) yang memandang miring atas karyanya, seakan-akan ia sadar bahwa mereka yang menyerang itu belum sempat mendalami dan membaca ulang novel tersebut hingga memahaminya secara integral dan menyeluruh.
Ketika beberapa mahasiswa Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta, mendebat karyanya dalam suatu acara bedah buku, Hafis menyuruh mereka agar tidak membaca novel tersebut secara sepotong-sepotong. Bagi penulis, bila membaca novel semisal karya Pramoedya, Seno Gumira atau Hafis Azhari, mestinya para pembaca mencermati akurasi kekuatan data yang tertuang di dalamnya, agar mereka menimbang dan berpikir ulang (rethinking) untuk tidak menilainya secara dangkal dan gegabah.
Delusi skizofrenia yang menyerang tokoh dalam novel POI tak ubahnya dengan penderita post-power syndrome pada sosok Anwar Congo dalam film Indonesia karya Joshua Oppenheimer, berjudul Jagal (The Act of Killing), yang pernah masuk nominasi Oscar pada 2014 lalu. Film itu dengan mudah dapat diakses di kanal YouTube, dan kini sudah mencapai jutaan pengunjung yang menyaksikan film monumental itu.
Sebagaimana film Jagal, novel POI mengungkap berbagai lika-liku perpolitikan Indonesia di seputar tahun 1965 dan 1998 yang merupakan matarantai tak terpisahkan dengan kasus penyerangan para perusuh (21-22 Mei 2019) beberapa waktu lalu. Ia bicara tentang masyarakat dalam suatu republik merdeka yang terbelenggu oleh doktrin penguasa Orde Baru, dengan memahami frase-frase politik sesuai tafsiran sang penguasa. Masih teringat dalam memori kita bagaimana lihainya Orde Baru meluncurkan istilah Gestapu untuk menuding pelaku G30S, yang lebih mendekati persoalan internal AD. Tujuan politik dari teknik permainan itu sangat jelas, yakni suatu dampak psikologis yang disusupkan ke dalam pikiran rakyat, agar mereka menyejajarkan peristiwa itu dengan konsep Gestapo dari partai Nazi Jerman.
Dalam POI dijelaskan pula perihal awal kekuasaan Orde Baru, ketika Soeharto – selaku kepala Kostrad – mengadakan aksi terobosan untuk mengambil-alih RRI dan kantor telekomunikasi yang letaknya di jalan Medan Merdeka, seberang kantor Kostrad. Maka, berkumandanglah peristilahan negatif diciptakan secara terus-menerus, dari kata G30S/PKI, Kopkamtib, Museum Lubang Buaya, Gerakan Pengacau Keamanan (GPK), Organisasi Tanpa Bentuk (OTB), Ekstrim Tengah dan seterusnya. Segala akronim dan peristilahan itu tentu bukan tercetus dari orang-orang bodoh yang sama sekali tak punya harapan akan masa depan. Ia telah keluar dari pikiran dan gagasan jitu dari seorang ahli strategi militer, demi suatu agitasi dan propaganda yang sudah dirancang sedemikian canggih dan jahatnya.
Pada prinsipnya, selama provokasi itu diperuntukkan bagi perjuangan nilai-nilai kebaikan dan kebenaran, hal itu menjadi paralel dengan prinsip hidup orang beriman. Terkait dengan ini, Soekarno sebagai bapak bangsa pernah berpendapat, bahwa prinsip ‘banyak bicara dan banyak bekerja’ kadang diperlukan sebagai bahasa ungkapan akan adanya perlawanan terhadap ketidakadilan. Setiap pekerjaan mulia dalam menegakkan kebenaran, dibutuhkan bahasa ungkapan sebagai perlawanan dan penggugah kesadaran akan adanya sistem yang tidak adil, baik secara kultural maupun struktural.
Inilah misi utama yang digagas penulis novel POI, yang secara terang-terangan diungkap dalam acara bedah bukunya di pesantren kami (Al-Bayan) Rangkasbitung, Banten (baca: Kompas, 24 April 2018). Karena itu, bagi yang sudah membaca POI, problem yang dialami majalah Tempo dan Tim Mawar akhir-akhir ini, seakan menjadi siklus pengulangan sejarah yang pernah terungkap melalui detil-detil narasi novel tersebut. Pada cover belakang justru tertulis dengan jelas uraian penerbitnya (Fikra Publishing, Jakarta): “Jika suatu bangsa melupakan sejarahnya, maka dosa sosial akan berlaku terhadapnya, dan kerugiannya pun akan ditanggung oleh dirinya sendiri. Bukankah Tuhan tidak mengubah suatu kaum sebelum mereka beritikad keras untuk mengubah dirinya sendiri?”
Seno Gumira Adjidarma pernah menegaskan, ketika jurnalisme dibungkam maka sastra harus berani tampil di garis depan. Meskipun sebuah fakta dimanipulasi bahkan ditutup dengan tinta hitam, tetapi kebenaran akan tetap tampil ke permukaan. Boleh-boleh saja buku sastra dibredel dan diembargo, bahkan oligarki kesusastraan dikuasai oleh rezim pemodal tertentu (kapitalisme), tetapi kualitas sastra yang baik akan menyatu bersama udara, menyibak kabut hingga menembus ketinggian langit.
Seorang pendakwah agama mungkin saja berdakwah secara radikal bahkan ekstrim, tetapi nilai-nilai kebaikan dalam karya sastra harus disampaikan secara lentur dan bijak demi kualitas dan keabadian karya sastra itu sendiri. Dalam novel POI nampak sekali nilai-nilai kearifan lokal itu, sekaligus menggambarkan ingatan dan memori kolektif, ketika mentalitas suatu bangsa dikuasai oleh belitan doktrin dari penguasa tiran yang tak mau peduli pada kemajuan pendidikan dan kebudayaan rakyatnya.
Dengan demikian kebohongan-kebohongan publik yang direkayasa makin tersingkap dengan jelas, agar rakyat Indonesia tidak lagi terjebak untuk menghormati “sang pecundang” yang sebenarnya tidak layak diberi penghormatan. Tentu saja, karya semacam ini bukanlah cernaan bahan baca yang ringan. Cita rasa pembaca harus berselera tinggi, sanggup berpikir out of the box. Biasanya mereka rela berjuang dan mengabdikan dirinya kepada umat di luar institusi formal yang bersifat wadak dan kasatmata.
Pengungkapan dokumen rahasia yang mempersoalkan luka bangsa akibat dosa-dosa sejarah dari penguasa negeri ini, janganlah dianggap remeh seakan-akan menjadi tabu dalam kajian sastra kita. Jangan pula diartikan sebagai upaya untuk membuka-buka luka lama, atau mengungkit aib dan kesalahan masalalu. Tetapi, untuk sebuah penegakan keadilan dan kebenaran, memang harus ada komunikasi dan kekuatan bahasa yang diawali oleh kreator-kreator anak-bangsa yang berpikir merdeka dan berjiwa besar.
Sebagaimana ungkapan seorang tokoh dalam film Green Book: “Betapa dunia ini penuh dengan orang-orang kesepian yang takut untuk memulai pembicaraan. Ketahuilah, untuk mengubah dunia ini, tidak cukup dengan kecerdasan, tetapi dibutuhkan keberanian dan hati yang lapang.”