NUSANTARANEWS.CO – Mantan Ketua Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) M Yusuf menyambangu Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang terletak di Jalan HR Rasuna Said, Jakarta Selatan, Senin, (5/12/2016). Kedatangan Yusuf ke markas Agus Rahardjo CS untuk menyampaikan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN).
“Saya menyerahkan LHKPN,” tuturnya di Gedung KPK, Jakarta, Senin, (5/12/2016).
Menurutnya sebagai pejabat publik adalah suatu keharusan untuk melaporkan LHKPN. Jadi pelaporan ini dilakukan sebagai salah satu bentuk ketaatannya sebagai pejabat publik untuk mendukung ketransparanan terhadap harta kekayaan yang dimiliki.
Yusuf mengaku terakhir melaporkan hartanya ketika dirinya menjadi Ketua PPATK di tahun 2012-2014 lalu. Saat itu hartanya sekitar Rp 4,4 miliar, sekarang kemudian bertambah. Namun dia enggan merincinya lebih detail.
“Nanti tanya saja sama KPK, ada Berita Acara,” singkatnya.
Yusuf telah menjabat sebagai ketua PPATK sejak tahun 2011. Ketika itu, ia dilantik oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Kemudian pada Rabu (26/10/2016), Presiden Joko Widodo (Jokowi) melantik Kiagus Badaruddin dan Dian Ediana Rae sebagai Kepala dan Wakil Kepala PPATK yang baru. Yusuf pun membali ke Korp Adhyaksa di Kejaksaan Agung (Kejagung).
LHKPN adalah Kewajiban Penyelenggara Negara untuk melaporkan harta kekayaan diatur dalam: Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara Yang Bersih Dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi Dan Nepotisme; Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pindana Korupsi; dan Keputusan Komisi Pemberantasan Korupsi Nomor: KEP. 07/KPK/02/2005 tentang Tata Cara Pendaftaran, Pemeriksaan dan Pengumuman Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara.
Sebelum dibentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), penanganan pelaporan kewajiban LHKPN dilaksanakan oleh Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN). Namun setelah diberlakukannya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002, maka KPKPN dibubarkan dan menjadi bagian dari bidang pencegahan KPK.
Berdasarkan ketentuan di atas, maka Penyelenggara Negara berkewajiban untuk bersedia diperiksa kekayaannya sebelum, selama dan sesudah menjabat, melaporkan harta kekayaannya pada saat pertama kali menjabat, mutasi, promosi dan pensiun, serta mengumumkan harta kekayaannya.
Adapun Penyelenggara Negara sebagaimana dimaksud dalam pasal Pasal 2 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 adalah Pejabat Negara pada Lembaga Tertinggi Negara, Pejabat Negara pada Lembaga Tinggi Negara, Menteri, Gubernur, Hakim.
Pejabat negara yang lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan pejabat lain yang memiliki fungsi strategis dalam kaitannya dengan penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang meliputi. Direksi, Komisaris dan pejabat struktural lainnya sesuai pada Badan Usaha Milik Negara dan Badan Usaha Milik Daerah, Pimpinan Bank Indonesia, Pimpinan Perguruan Tinggi Negeri, Pejabat Eselon I dann pejabat lain yang disamakan di lingkungan sipil, militer dan Kepolisian Negara Republik Indonesia, Jaksa, Penyidik, Panitera Pengadilan, dan Pemimpin dan Bendaharawa Proyek.
Dalam rangka untuk menjaga semangat pemberantasan korupsi, maka Presiden menerbitkan Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi. Berdasarkan intruksi tersebut, maka Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara (MenPAN) menerbitkan Surat Edaran Nomor: SE/03/M.PAN/01/2005 tentang Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara NegaraTentang Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN), yang juga mewajibkan jabatan-jabatan di bawah ini untuk menyampaikan LHKPN yaitu, Pejabat Eselon II dan pejabat lain yang disamakan di lingkungan instansi pemerintah dan atau lembaga negara, Semua Kepala Kantor di lingkungan Departemen Keuangan, Pemeriksa Bea dan Cukai, Pemeriksa Pajak, Auditor, Pejabat yang mengeluarkan perijinan, Pejabat/Kepala Unit Pelayanan Masyarakat, dan Pejabat pembuat regulasi.
Masih untuk mendukung pemberantasan korupsi, MenPAN kemudian menerbitkan kembali Surat Edaran Nomor: SE/05/M.PAN/04/2005 (link) dengan perihal yang sama. Berdasarkan SE ini, masing-masing Pimpinan Instansi diminta untuk mengeluarkan Surat Keputusan tentang penetapan jabatan-jabatan yang rawan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) di lingkungan masing-masing instansi yang diwajibkan untuk menyampaikan LHKPN kepada KPK.
Selain itu, dalam rangka untuk menjalankan perintah undang-undang serta untuk menguji integritas dan tranparansi, maka Kandidat atau Calon Penyelenggara tertentu juga diwajibkan untuk menyampaikan LHKPN kepada KPK, yaitu antara lain Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden serta Calon Kepala Daerah dan Calon Wakil Kepala Daerah.
Bagi Penyelenggara Negara yang tidak memenuhi kewajiban LHKPN sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999, maka berdasarkan Pasal 20 undang-undang yang sama akan dikenakan sanksi administratif sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku. (Restu)