Mancanegara

Saatnya Uni Eropa Mengakui Kemerdekaan Negara Palestina

Saatnya Uni Eropa Mengakui Kemerdekaan Negara Palestina
Saatnya Uni Eropa Mengakui Kemerdekaan Negara Palestina

NUSANTARANEWS.CO – Saatnya Uni Eropa mengakui kemerdekaan negara Palestina. Amerika Serikat (AS) tampaknya akan memaksakan solusi satu negara yang di dominasi oleh bangsa Yahudi sebagai kelanjutan dari pendudukan wilayah Palestina. Gejala ke arah sana sudah mulai terlihat dengan jelas seperti pemindahan kedutaan besar ke Yerusalem, pengakuan Dataran Tinggi Golan sebagai bagian dari kedaulatan Israel, dan lampu hijau bagi Israel untuk menganeksasi Tepi Barat.

Tanda-tanda itu semakin jelas setelah Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo dengan gamblang mengatakan bahwa AS “tidak lagi memandang pemukiman Israel sebagai pelanggaran hukum internasional”. Dengan kata lain, Pompeo mengatakan bahwa pendudukan Israel dapat menjadi sah jika dipertahankan cukup lama meskipun berlawanan dengan hukum internasional dan bertentangan dengan piagam PBB.

Langkah terbaru AS ini jelas memupuskan harapan solusi dua negara dalam penyelesaian konflik Israel–Palestina sebagaimana Resolusi PBB untuk berdirinya “dua negara untuk dua warga” yang hidup berdampingan. Resolusi Dewan Keamanan mengenai solusi dua negara dapat ditilik kembali dari bulan Juni 1976 dengan berdasarkan batas negara sebelum 1967 meski diveto oleh AS. Namun solusi dua negara medapat dukungan penuh di Majelis Umum PBB sejak pertengahan 1970an.

Baca Juga:  Mantan Komandan NATO Menyerukan untuk Mengebom Krimea

Deklarasi Kemerdekaan Palestina 15 November 1988, dengan wilayah mengikuti Rencana Pembagian PBB 1947 dan “resolusi PBB sejak tahun 1947” serta beberapa klarifikasi untuk pengakuan Palestina sempat memberi harapan bagi terwujudnya negara Palestina yang merdeka dan berdaulat. Dasar hukum perjuangan bangsa Palestina medeka jelas tertulis dalam resolusi PBB termasuk batas wilayahnya. Sejak pertengahan era 1970-an, bangsa Palestina setuju dengan solusi dua negara, dan mendapat persetujuan negara Arab setelah KTT Fez 1982.

Setelah itu, banyak upaya diplomatik dilakukan untuk mewujudkan solusi dua negara tersebut, seperti Konferensi Madrid 1991, Perjanjian Oslo 1993, Pertemuan Camp David 2000, lalu Pertemuan Taba 2001. Tahun 2002, Liga Arab mengusulkan Prakarsa Perdamaian Arab. Prakarsa perdamaian terbaru adalah Pembahasan Perdamaian tahun 2013-2014 namun gagal lagi.

Satu hal yang pasti pendudukan Israel atas wilayah Palestina melanggar hukum internasional. Setelah Perang Dunia II, Konvensi Jenewa Keempat menetapkan bahwa kekuatan pendudukan “tidak akan mendeportasi atau memindahkan bagian-bagian dari penduduk sipilnya sendiri ke wilayah yang didudukinya.” Menurut Statuta Roma, yang membentuk Pengadilan Pidana Internasional pada tahun 1998, transfer semacam itu merupakan kejahatan perang.

Baca Juga:  Atas Instruksi Raja Maroko, Badan Asharif Bayt Mal Al-Quds Meluncurkan Operasi Kemanusiaan di Kota Suci Jerusalem selama Ramadhan

Terlebih lagi, ketika Israel memulai pendudukannya atas wilayah Palestina dan Arab pada tahun 1967, Resolusi 242 Dewan Keamanan PBB mengecam tindakannya karena melanggar konsensus pasca-Perang Dunia II mengenai tidak dapat diterimanya pengambilan tanah dengan perang.

Pada tahun 2016, Dewan Keamanan mengadopsi resolusi lain, yang menyatakan bahwa pembangunan permukiman Israel di wilayah Palestina “tidak memiliki validitas hukum,” merupakan “pelanggaran nyata” hukum internasional, dan menghambat upaya solusi dua negara.

AS memang sejak lama telah menutup mata terhadap perilaku Israel dan menolak kenyataan tersebut. Hanya Presiden Jimmy Carter yang secara terang-terangan menyatakan kebijakan penyelesaian Israel ilegal, berdasarkan pendapat hukum Departemen Luar Negeri 1978.

Menanggapi pernyataan tidak bermoral Pompeo, Kepala kebijakan luar negeri Uni Eropa, Federica Mogherini, menegaskan bahwa posisi Eropa tetap tidak berubah untuk kebijakan penyelesaian Israel, yakni tetap berlandaskan pada hukum internasional dan kelangsungan hidup solusi dua negara yang hidup berdampingan.

Namun tanggapan Eropa tidak cukup dengan retorika. Jika para pemimpin Eropa ingin mewujudkan visi solusi dua negara merdeka, pilihannya hanya dua. Mengakui secara resmi kemerdekaan Palestina atau berhenti mengakui eksistensi Israel sampai terwujudnya solusi dua negara. Sekarang adalah momen yang tepat.

Baca Juga:  Dewan Kerja Sama Teluk Dukung Penuh Kedaulatan Maroko atas Sahara

Penindasan dan siklus kekerasan terhadap warga Palestina hanya dapat diputus bila Uni Eropa mulai mengambil tindakan bukan sekedar kata-kata. Pengakuan kemerdekaan Palestina dan keterlibatan langsung Uni Eropa dapat dipastikan membuat Israel berpikir ulang. Paling jelek mungkin terjadi perang AS versus Eropa. (Agus Setiawan)

Related Posts

1 of 3,057