Rubaiyat Hujan
Neng, kemarilah
Duduk bersamaku, Aku ingin bercerita tentang hujan
Yang bertandang di beranda jiwa paling baka
Bahkan, dengan diam aku belum paham
Bahwa nostalgia bintang di bibirmu, memancar pula di palung sorga.
Sejatinya, ingin ku bangun jembatan panjang di tubuhmu
Melebihi kubangan hutan, tempat teduh meredam waktu paling taji bersamamu, sebelumnya kebisingan mengering mencipta keriangan di curam dada, menghempas segala yang hampir panas, cemas membara tak kunjung ranggas
Hingga kertas-kertas rias, berserakan di pekarangan batinmu
Rapuh makna, lusuh kata-kata yang sempat ku eja,
Dari diksi, majasku tenggelam di dasar neraka.
Neng, pandangilah rumput-rumput yang menari di pulauku mentalbiahkan Madah pada relung jiwamu yang hampir senja.
Neng, Izinkan aku bermain kecipak air di tubuhmu
Menelan asin-tawar kesetiaan, agar buih-buih dari resah tak pernah mampir pada gelisah. Neng, Bolehkah kuterjemahkan emosi gelombang di Jantungmu yang cukup gersang, agar tak pernah ada sebuah pagar, untuk ikan-ikan bermain riang jumpalitan, sebab bilamana ia tak ada, maka lenyap pula kisah kesaksian tawa dan air mata diantara kita.
Neng, ingin sekali ku tafsir parau desah ritmis tangis dari kemarau, sekedar meretas gemuruh nyala Angkara Murka di mataku, menebas luka-luka yang berkecamuk di Cakrawala.
Neng, Kini engkau tinggal menunggu, dari perjalanan yang kutempuh, untuk sampai ke pelaminanmu.
Annuqayah, 2019
Mengenang Kematianmu, Guru
;ust. Hendriyadi
Ritmis tangis paling deras di mataku, adalah tragedi kematianmu guru, apalagi yang mesti kupinta pada Tuhan, pabila sejatinya tubuhmu telah telentang pasrah di tanah, mengalirkan sejuta resah yang rekah di dada, lalu ku hirup dan ku nikmati desir harum semerbak kain kafanmu, guru aku mohon maaf guru, tak sempat membacakan surah- surah Yasin di depan pemakamanmu, hanya saja aku bisa mengalirkan segelintir dzikir dan surah-surah kecil dari penjara suci. Kini, gemetar sudah sekujur tubuh, rahim kesadaranpun lahir di kerut darah, tentang perihal dosa-dosa yang sempat ku cipta padamu waktu dulu, tapi untuk musim ini, ingin ku cium berkali-kali tanganmu, memohon permintaan maaf padamu, sebab pada hakikatnyanya, tragedi itu makin lama semakin larat dan memberat, serupa merangkul kota-kota di kepalaku, Aku ingin mencoba melepasnya, walau dahaga dari luka, adalah tubuhku paling sempurna guru, tubuh ini telah kerontang bahkan habis memasung waktu paling taji di batinku, Aku ingin tumpahkan segala air mata, air mata yang akan menjelma Permata pertaubatan padamu. Guru, izinkan muridmu ini menaburkan sekuntum bunga bunga di Batu Nisanmu, agar Meski aku tak sempat berwaktu bersama, hanya saja, Aku ingin menghaturkan doa-doa serta mengalirkan air jernih cukup sejuk ke sekujur tubuhmu, dengan kesaksian tabah dan pasrah, Aku ingin berpesan pada malaikat penghuni kubur: “malaikat Munkar, nakir, kutitip guru padamu, berikanlah tempat keistimewaan padanya”.
Annuqayah, 2019
Kepada Kekasih
Jangan pernah bertanya: tentang sajakku yang terluka
Tanyakanlah: luka ini sebab siapa?
Kasih, aku terlanjur menikmati senyum di bibirmu, aku terlanjur meresapi tatap matamu, bahkan aku berlebihan memuja rembulan yang berdiam di pipimu, sebab penghianatanmu, mencipta kemarau paling ganas berkepanjangan, ataukah mungkin, aku sudah menjadi api di matamu, kerap mengasah panas, dan kobar bara tak kunjung ranggas. Kasih, surut sudah sungai-sungai di belantara jiwaku, tinggal kerikil dan batu batunya yang tersisa. Terima kasih luka, atas risalah dan kediamanmu di curam dada.
Annuqayah, 2019
Nyanyian Kodok di Tepi Sungai
Aku resah dalam tanya, kodok bernyanyi buat siapa?
Cukup mungkin ku Terjemahkan saja, tentang kegirangan dan keresahanmu, pencipta Penantian di bibir sungai, nostalgia Inikah, yang telah menjadi Kisah dan sejarah di lekuk mataku yang paling dalam?.
Annuqayah, 2019
Risalah Bulan Muharram
Bismillah, dengan ucap paling baka, Aku bersaksi pada Tuhan, bahwa semenjak Kehadiranmu, Ialah terang bagi kelam yang kerap meredam di ringgis sajakku. Selamat datang di negeriku, negeri yang ku beri nama: lapang dada. apalagi yang mesti harus ku tuangkan, bilamana gelas- gelas telah pecah di mataku, dan aku, hanya bisa mengasah resah, langkah awal untuk melangkah. Sebab, gelora suci dari tanganmu, Mengirim air deras, menyuburkan ladang dan tembakau-tembakau iman di batinku.
Annuqayah, 2019
Kasidah Air Mata
;Teruntuk Neng Ozara
Selamat malam luka, selamat hijrah ke hatiku
Apalagi yang semestinya hendak ku tutupi berkali-kali pada sepi
Bilamana sekuntum mawar di tubuhku, perlahan gugur
Mengering dedaunannya, sebab penindasan kemarau
Tak henti-hentinya kau kirim dari senyummu
Bahkan, seratus duri-durinya
Pasrah menancap di curam dadaku.
Terima kasih luka, perih yang kau wasiatkan padaku
Telah sempurna menjadi riuh dan debur lautan
Lebih pasang dari riak maritim, menghempas segudang harapan
Serta memecahkan jembatan panjang di otakku.
Sebelum waktu makin berlalu
Aku berharap padamu
Hargailah perasaanku
Sebagaimana kau mengerti perasaanmu sendiri.
Ozara, ini kali aku bersaksi
Bahwa semenjak mencintaimu
Aku lupa cara hidup yang sebenarnya.
Ozara, harus dengan apa pula ku tatap langit di dadamu
Manakala sesal mendung di mataku
Menjelma kemarau paling ganas di kepala.
Ozara, apakah aku harus ingkar pada sunyi
Biar tetas dari ayat-ayat air mata
Mencipta sungai dangkal di matamu
Agar segalanya bisa kau larungkan
Pada resah yang paling rekah di ceruk-ceruk jiwa.
Ozara,aku sempat ingin berlari dari hikayat
Sebab gurindam kata-kataku
Semakin ranggas tak lagi ganas diksi-diksinya.
Ozara, Mungkin begini saja, jalan terbaik diantara kita
Adalah menjauh paling sempurna.
Tapi, ada kemungkinan lain
Aku terlalau yatim untuk mencintaimu
Sebab ayah dari rasaku
Telah meninggal paling dahulu.
Aku mohon maaf, Ozara
Jika suatu saat, aku pamit meninggalkanmu
Lalu, kuserahkan kado kecil untukmu
Sebagai pemberian terakhir kali dan selama-lamanya.
Tetapi sebelum itu, aku titip sebotol darah padamu
Mungkin engkau akan menyimpan seribu tanda tanya tentang darah itu?
Sebelum kau Tanya, Aku jawab paling dahulu:
“darah itu akan menjadi saksi,bahwa aku pernah berjuang mencintaimu,
meski perihal kegagalan yang sempurna ku capai”.
Maka, cukup ku terjemahkan sekarang
Bahwa hakikat musim yang bertahun-tahun ku genggam
Adalah kegagalan mencipta hujan di tubuhmu.
Annuqayah, 2019
Gelora Rindu
;Teruntuk Nona Zee
“Jika merindukanmu adalah overdosis,
Maka aku adalah orang pertama kali yang akan menderita”
Nona, mengawali segelintir cemas ranggas paling ganas di dadaku
Aku ingin titip perihal pada nyala api yang menari di matamu
Bahwa tragedi paling kukuh:
Adalah tunggalnya kesaksian rindu.
Apalagi yang harus ku katatakan pada langit
Bila mana kebenaran dari rinduku
Tak pernah mengenal proklamasi musim
Keadilan kemarau, juga tetas rinai hujan
yang bertandang di pekarangan rumahmu.
apalagi yang harus ku sampaikan pada tanah
manakala sejatinya resah
telah berpijak, pada kegersangan batin yang tak pernah bengkak
juga, menjadi tulang-belulang harapan
sebagaimana kehendak tuhan
menghadiahkanku tunas kesabaran.
Apalagi yang harus ku titipkan pada angin
Pabila rahim desirnya
Adalah bagian gigil dari tubuhmu.
Apalagi yang harus ku rahasiakan padamu
Pabila hakikat dari bebayang lain
Larut sirna di mataku
Dan hanya kepadamulah
hendak ku persembahkan segala rindu.
Annuqayah, 2019
Kepada Perempuan Hujan
;teruntuk neng Ozara
Ozara…
Semenjak aku mencintaimu
Aku igin sekali jadi pemulung
Yang sejatinya setiap pagi-pagi
Mengais-ngais permata cinta di kedalaman hatimu
Bahkan, aku sempat bercita-cita tunggal menjadi gila
Sebagaimana gila cinta Qais pada Laila
Ozara…
Sebenarnya aku punya keinginan jadi tentara
Yang dengan tegas, kerap mengintai dan mengawasi orang lain
Yang hendak menyusup ke hatimu
Tapi, sayangnya
Kemampuanku hanya bisa jadi sapardi
Memuja dan mencintaimu lewat puisi
Ozara…
Aku tak ingin jadi Arkitan Dahhan
Yang hakikat cinta dan kisah ceritanya
Adalah tragedi kegagalan
Bahkan cita-citanya yang mengenaskan
“ingin mati muda”
Hingga yang kuasa mengabulkan
Tak lama kemudian
Ia benar-benar menjumpai kematiannya
Ozara…
Saat ini aku belum putus asa mencintaimu
Sebab, ada salah satu pemuda berfatwah padaku:
“Tiga kali coba, itu adalah sunnahnya dalam memperjuangkan cinta”
Maka, kini akan ku telisik dan kuretas kebenarannya
Apakah ia ataukah melainkan luka yang kan tercipta
Semoga saja, Tuhan masih mengerti keresahanku
Ozara…
Aku pamit minta izin
Ingin pergi merantau ke kota hatimu
Jika kau berkenan, panggil jibril
Untuk menyampaikan wahyu jawabanmu kepadaku.
Annuqayah, 2019
Bara Rindu di Ujung Sunyi
;Teruntuk Neng Al-qamariyah
Jujur saja, Nona
Setiap kali kuserap ataupun ku nikmati bising sunyi
Disitulah, lahir pula Rahim wajahmu
Entah, peristiwa apalagi yang tuhan haturkan?
Aku masih tetap tak mengerti
Tentang perihal sakral di kedalaman malam.
Mungkin aku sudah benar-benar gila, Nona
Ataukah sebab wajahmu ialah gurindam tunas kata-kata
Tak henti-hentinya menderu di otakku
Terus melaju, hingga sampai nafas waktu
Sesak arah di pertengahan musim.
Pahamilah, Nona
entang hikayat kisahku menjadi gila seperti ini
Hanya untuk mencintaimu
Bukan untuk menjadi orang yang paling hina di mata lain.
Annuqayah, 2019
Biorgrafi Penulis:
Firmansyah Evangelia, nama pena dari Andre Yansyah , lahir di pulau giliyang , menyukai puisi dan tater sejak aktif di beberapa komunitas , di antaranya: PERSI (penyisir sastra Iksabad ), LSA (Lesehan Sastra Annuqayah), Ngaji puisi, Mangsen puisi , Sanggar kotemang, poar ikstida. Beberapa karyanya pernah di muat di Radar Madura, Nusantara News. Buku puisinya : Duri-duri bunga mawar (FAM publising 2019) saat ini sedang nyantri di PP Annuqayah daerah lubangsa serta menjabat sebagai ketua Persi (Penyisir Sastra Iksabad) 2019-2020, pernah menjuarai lomba teater se- jawa timur di surabaya.