NUSANTARANEWS,CO, Jakarta – Pakar filsafaf politik, Rocky Gerung menjelaskan bahwa demokrasi harus tetap dilandaskan pada daulat rakyat, bukan sebagai daulat partai. Meski dirinya berpandangan bahwa, demokrasi adalah hasrat yang tak pernah sampai. “Tapi kendati ia tidak mencukupi, kita tetap memerlukannya,” kata Rocky Gerung dikutip dalam tulisannya berjudul Mengaktifkan Politik.
Rocky menjelaskan, utilitas demokrasi memang tidak diukur melalui ambisi etisnya: ‘dari, oleh dan untuk rakyat’, melainkan dengan kenyataan teknisnya: jumlah konsensus minimal ‘suara rakyat’. Konsensus itulah yang dipertandingkan melalui pemilu. “Prinsip kerasnya adalah the winner takes all,” jelasnya.
Tapi format 51:49 ini – berkat prinsip HAM, yaitu pelajaran kemanusiaan yang kita diperoleh dari dua kali kekerasan Perang Dunia – tidak boleh mengancam hak-hak dasar kebebasan individu.
“Artinya ‘sang mayoritas’ tidak boleh semau maunya menentukan ‘isi politik’ sebuah masyarakat. Batas dari demokrasi adalah hak asasi manusia,” ungkapnya.
Menurut dia, rasionalitas ini kita perlukan untuk mencegah politik mayoritas memanfaatkan instalasi demokrasi menjadi saluran totalitarianisme. Begitulah konsensus mutakhir penyelenggaran demokrasi.
Memang, dalam praktik, demokrasi cenderung melahirkan oligarki, karena prosedur teknis elektoral (koalisi, electoral treshold) memungkinkan terjadinya transaksi politik status quo.
Tetapi secara subtansial, demokrasi juga tetap bertumpu pada prinsip ‘keutamaan warga negara’ yaitu menjamin filosofis bahwa politik tidak terbagi habis dalam electoral politics.
“Artinya, kewarganegaraan tidak boleh direduksi ke dalam mekanisme politik pemilu. Yaitu dengan membagi habis seluruh warga negara menjadi anggota partai politik,” ungkap Rocky.
Dalam demokrasi, status ontologi warga negara lebih tinggi dari keanggotaan partai politik. Tidak ada demokrasi tanpa warga negara. Tetapi politik dapat terus diselenggarakan tanpa partai politik.
Karena itu lanjut Rocky, politik perwakilan tidak boleh menghilangkan prinsip primer demokrasi, yaitu ‘keutamaan warga negara’. Menurutnya, partai politik, juga parlemen hanyalah salah satu alat warga negara untuk menjalankan politik.
“Karena itu, ‘alat’ tidak boleh membatasi ‘tujuan’. Demokrasi tetaplah berdasarkan kedaulatan rakyat, bukan kedaulatan partai,” tegasnya.
“Jadi, demokrasi, di dalam dirinya memiliki imperatif metapolitik untuk menjamin kedaulatan warga negara.”
Rocky menambahkan, sesungguhnya, ketegangan antara electoral politics dan citizenship politics inilah yang menjadi problem dari sistem demokrasi.
Problem ini menghasilkan konsensus: demokrasi bukan ideal ‘terbaik’ pengaturan politik, tetapi ia yang ‘termungkin’ untuk menjamin kesetaraan hak dan kebebasan warga negara.
Editor: Romandhon