Teori konflik dua jenis vertikal dan horizontal. Sifatnya revolusi, kudeta, pemberontakan, dan separatis. NKRI diproklamasikan Soekarno-Hatta 17 Agustus 1945 hasil revolusi terhadap Kolonial Belanda. Secara de facto dan de jure Proklamasi adalah dasar kedaulatan NKRI di matra Darat, Laut, dan Udara atas bekas Kolonial Belanda. Namun Belanda menolaknya.
Setelah 74 tahun merdeka ternyata baru 74 hari NKRI “bebas” dari jenis dan sifat konflik ketika merayakan Proklmasi 17 Agustus 1945. Menurut Prof. Dr. Maswadi Rauf, MA bahwa konflik terjadi dua tahap, pertama konflik lisan. Bendera Bintang Fajar dikibarkan berdampingan dengan Bendera Belanda 1 Desember 1961. Ini strategi pura pura Belanda memerdekakan Nederland Nieuw Guinea (“Negara Papua Barat”), tapi Soekarno menyadari dan menolaknya.
Tepat 19 Desember 1961 Soekarno mencetuskan ide strategi politik Trikora di Yogyakarta guna menggagalkanya karena Papua Barat wilayah NKRI. Upaya ini memicu konflik tahap kedua, konflik fisik bersenjata. Soekarno “bersumpah sebelum ayam berkokok Papua Barat sudah di pangkuan Ibu Pertiwi”. Tapi hasilnya ditolak Belanda dan berakhir 2 Agustus 1969 via Pepera, secara aklamasi Rakyat Papua memilih berintegrasi dengan NKRI. Kemudian disahkan Resolusi 2504 (XXIV) Majelis Umum PBB.
Aktor kunci Pepera adalah PBB, Amerika Serikat (AS), Belanda, NKRI, dan Rakyat Papua. Entah bagaimana, hasil Pemilu “Act of Free Choice” diplesetkan menjadi “Act of No Choice”. Padahal “Act of Free Choice” tanda election legitimate. Jadi bagi Pemerintah RI sudah tuntas Papua Barat legitimate berintegrasi dengan NKRI melalui “Act of Free Choice”election. Akibat antagonistis persepsi politik ini, 1961 lahirlah OPM dengan dalil “Act of No Choice” election. Selanjudnya pihak TNI-OPM sejak 1962-2020 kerap kontak senjata dan telah banyak merenggut jiwa termasuk warga sipil di Papua.
Konflik vertikal sudah tiga generasi yakni OPM, ULMWP, dan ideologi merdeka NRFPB bagi millenial OAP. Kerusuhan Wamena, korban 33 orang tewas, 465 Ruko, 165 Rumah, dan 224 Mobil, 150 motor dibakar (Kompas, 26/9/2019), juga aksi OPM. Fakta sosial ini dalam teori konflik disebut aksi tumpas, bumi hangus, dan bunuh, didorong residu sosial yang aktif sejak 50 tahun lebih hingga kedepan.
Model resolusi konflik komprehensif Pertama, kekerasan bersenjata agar dihentikan sebab terbukti gagal dari 1962-2020 ini. Namun kesiagaan TNI-Polri ditingkatkan guna melindungi manusia dan perikemanusiaan sebagai tingkat peradaban tertinggi. Kedua, Otsus dilanjudkan dengan revisi mekanisme fundamental. Ketiga, “affirmative action policy”. Berdasarkan asumsi bahwa pemberontak orang cerdas, berani, cerdik, dan visioner. Atas rujukan itu Pemerintah RI bisa menempuh “affirmative action policy” untuk mengakomodir anggota OPM yang memenuhi syarat asumtif itu untuk menjadi pemimpin di Papua melalui jalur musyawarah politik. Tentu setelah melalui mekanisme rekrutmen yang ditentukan Pemerintah RI c/q Menteri Pertahanan. Memang berat namun via “soft approach” ini kesejahteraan Rakyat Papua dapat dicapai.
Keempat, hentikan OAP jadi “The People Time Forgot” atau “The People Government Forgot”. Artinya, membangun OAP merujuk peradaban dasarnya Nyawa, Tanah, dan Harta yang selama ini terkesan diabaikan. Kelima, mengembangkan genetika Papua. Atensi ini penting dilaksanakan untuk membangun OAP secara konkrit. Titik pandang ini dimulai dari pilot project. Aktor aktornya ketua adat/etnis di tujuh wilayah Papua, tokoh masyarakat, politisi, pemerintah daerah, Uncen, dan Dinkes bersama sama fokus pada Mamak hamil OAP dengan semboyan: 1) sayangilah Mamak hamil OAP untuk memuliakan genetika Papua; 2) rawat dengan kasih Mamak hamil OAP untuk menciptakan kebanggaan Papua; 3) cukupi makanan Mamak hamil OAP untuk kesejahteraan Papua.
Membuat program penyediaan makan siang Mamak hamil OAP. Semua bahan asupan nutrisinya upayakan dari hasil alam papua. Contoh perhitungan misalnya penduduk Papua 1.000.000 jiwa; pertumbuhan penduduk 2,5%; jumlah Mamak hamil OAP 2,5% x 1.000.000 = 25.000; biaya makan siang =Rp. 30.000/Mamak hamil OAP; keperluan anggaran =Rp. 750.000.000/hari; anggaran pertahun =Rp. 273.750.000.000; biaya sistem =Rp. 236.250.000.000/tahun. Total anggaran Pilot Project pengembangan genetika Papua pertahun =Rp. 510.750.000.000, anggaran dari dana Otsus. Hasil Pilot Project pengembangan genetika Papua ini, 19 tahun kemudian banyak berkibar bendera merah putih di Olimpiade sebab OAP adalah genetika hemat energi. Ia kulit hitam, berotot tebal, kekar, dan kuat. Memiliki satu zat penyimpan energi, creatine fosfat. Jika atletik OAP sprint 100 meter ia hanya perlu 50 liter oxigen. Sedangkan etnis Jawa dan Sunda, memerlukan 100 liter oxigen. Keistimewaan lainnya usia 25 tahun ke atas akan banyak pemimpin nasional dari OAP.
*Oleh: Dr. M.D. La Ode, Penulis Ahli Politik Etnisitas Dosen Universitas Paramadina Jakarta dan Sekjen DPP FBN RI