Puisi

Renung Datang di Ujung Senja

Renung Datang di Ujung Senja. (Foto: Ilustrasi/Hitvknew.ru)
Renung Datang di Ujung Senja. (Foto: Ilustrasi/Hitvknew.ru)

Renung Datang di Ujung Senja

Karya Rina Rimadona

Sekilas tanggis menembus
Berkeliaran menanyakan kehadiran awan dan bulan
Pada senja bertanya dimana dera luka

Paras halus terhapus
Jeritan kenangan memberikan jawaban
Asa setia hanya bisa tertawa

Ditepi pagi merajai lagi sepi
Ketika raga bersua dan bersuara
Tenggelam dan semakin kelam
Menggayuh bertabuh lirih
Terlihat dekat kerabat mengkhianat

Di Ujung Senja

Senjanya di putar dalam balik bambu
Merangkul seteguk air hangat yang mendidih
Untuk menopang tenaga baja bernyala lampu
Kicau fajar menggantar pagi
sambil mengisi perut sebatas lidi
Dikecap gumpalan nasi hati-hati
Hingga lentera jendelanya terasa mati

Setengah badan cahaya masuk ke pekarangan
Mulai langkah kaki sepi menapak nasib
Pergi dalam Harapan angan
Dengan menjelajahi kaki-kaki karib
Senantiasa menguntit dari samping
Dengan topi setengah caping
Tumpas benalu-benalu bersarang hama

Dengan ajudan besar kaki-kaki karib
Melaju dengan tanguh dan pelan
Ilalang kecil juga ikut lihatnya akrab
Memegang segumpalan bau busuk kotoran
Sesaat badan cahaya masuk utuh
Tangan halus bidadari memberi seteguk dahaga
Dengan darah keringat meluncur lirih

Nikmati hasil kerja setengah topi caping
Dan ajudan kaki-kaki karib
Lalu setenggah mengucap renung
Memandanggi lembut lilin nasib

Angkuh

Riwayat mulut menggeliat kawat
Terlukis iblis menggais halus
Tapak sajak sejenak beranjak

Laknat tepat mengikat ketat
Membungkus haus hanggus
Menarik dan mencekik jarak

Muda , tua diraba dada
Dosa berdansa mesra
Hingga mereka tak ada

Denting di Ujung Genting

Pagi senja terggambar hamparan dedaunan berkilau
Seolah menampar kumandang ranting berdendang
Aku berdiri hening bersenandung
Pelan-pelan teraba angin namun hilang

Sejenak kugengam diam
Namun terlepas oleh helaan nafas tangis
Kaki ku melangkah entah untuk apa
Memikul kata-kata yang tak pernah kudengar

Kelopak mataku tak henti terpaku di sudut rumah megah
Beralaskan ketenangan dan kepahitan
Aku terbius mungkin habis menjadi busuk
Ketika fajar tertidur binatang malam mulai berdatangan
Tak kunjung kaki tesiram darah

Hujan menggarah bergairah hingga ujung lututku
Ia turun mungkin untuk menertawakan tubuh payah ini
Seolah untuk menggiring ku masuk ke dalam rumah
Hingga fajar terbangun aku masih tertegun disini

Hingga nyata terasa rumah megah megah ini
Hanya mimpi
Namun teramat hangat disanubari
Mungkin berdiri kokoh hingga ku mati

Perhitungan

Mata binatang berbanding saling pandang
Bersatu atau malah nafsu berseru
Berbaring nyaring menerjang radang
Ulu memicu atau bertalu?

Mata benggis menggores lurus
Dalam malu termangu tak ragu memanggilmu
Kata-kata ku halus beriring habis
Aku banyak tahu jemu diburu

Dan kita bersuara pada luka
Terkapar mekar terdampar dalam sangkar
Tetapi hanya berdiri tepi mimpi
Hingga layu bertemu laju risau

Kesabaran

Kelopak sajak begerak dan saling memeluk
Membiru pulau hingga terlampau kaku
Ombak bergelepak sesak
Membeku dalam satu bisu

Berwangi melodi dalam mimpi sendiri
Karena cinta lalu setia
Menyanyi pipi lalu kembali
Hingga terasa padanya mati rasa

Dosakah?

Fajar berganti selimut dinding
Hingga mentari sulit memandang
Elok malam tak henti berkumandang

Sepasang kucing menyelinap pura-pura
Mencari ikan atau mencari dosa
Hingga kaki tak kurasa menahan dahaga
Mencari kabut asap disela-sela kepala

Seketika tongkat memutar waktu
Menjelaskan pohon dengan daun yang pilu
Ulat pun begelayut pada ranting semu
Hingga melihat rupanya ia pun malu

Belenggu

Bibir kelu deru sembabku
Menghela jiwa asa mata
Meredup sekejap ruap hidup
Menghela abadi utopia
Labirin angin menggemparkan roman impian
Ketika rahasia diaksa ramai dan dicela

Pertanyaan

Lampu meniup kepingan asa jemari
Tatapan mata menusuk dalam fikiran
Menggibas tangisan pagi
Bertanya akan semut yang menelanjangi batin
Logam kehidupan mulai menari
Tertawa renungi segumpalan tangis angin

Pengharapan

Sujud aku sembah padamu
Mengharap ibamu
Menghela tali demi tali yang kutangkap lenyap
Terowongan hidup tak kurasa bisa ikut tetap

Menopang keharuan tepat di dinding bisu
Di bawah sudut kenang ku menyeru
Sinar matahari yang kau suguhkan ibu
Tak terlihat olehku tapi mengapa hanya muka lesu
Sinar embun pada yang kau tunjukan ayah
Menjadi remang olehku mengapa hanya muka harap

Di penantian jembatan kusam
Kutunggu kau tepat jam dua
Berharap muram hilang kelam
Tetapi tak jua kau tiba

Awan pun menyelam hujan
Akhirnya kau tiba pukul sembilan
Dengan darah keringat meluncut tubuh
Kusambutnya peluk

Harap ridha ikhlas beriring
Berkumpul menjadi satu pandang
Ayah ibu jangan kau hanya diam
Katakan disini katyakan hari ini

Hingga restu datang kembali
Sengau angin namamu teta membeku

Related Posts

1 of 3,187