Redefinisi Tentang Kemiskinan
Oleh: Eeng Nurhaeni, Pengasuh Pondok Pesantren Al-Bayan, Lebak, Banten
Pada prinsipnya, penyebab dasar kemiskinan bukan sesuatu yang mutlak akibat dari kesalahan si miskin itu sendiri. Tapi akibat dari ketimpangan sosial, serta tidak adanya solidaritas kemanusiaan antara yang satu dengan yang lainnya. Kini persoalan-persoalan dunia sudah saling berhubungan antara satu dengan yang lainnya, baik dalam hal keberuntungan maupun kemalangan. Karena itu, kita harus mengadakan redefinisi atau definisi ulang tentang makna kemiskinan itu sendiri. Apa yang menyebabkan seseorang bisa hidup miskin, atau dalam pengertian yang makro: kenapa suatu bangsa bisa hidup di bawah garis kemiskinan dan keterbelakangan?
Konsep kemiskinan yang banyak digembar-gemborkan negara-negara industri maju bukanlah konsep islami yang layak dipertanggungjawabkan kebenarannya. Problem kemiskinan sekarang ini memang bukan sekadar persoalan kekurangan uang dan harta, tapi juga menyangkut ketidaktahuan atau ketidakpahaman akan adanya akses informasi yang berkembang.
Selain itu, orang juga bisa terjebak dalam kemiskinan apabila tidak memiliki kontak dan koneksi, atau tidak mahir membuat pilihan-pilihan yang “diasuransi” bila salah pilih ataupun gagal. Belum lagi dihadapkan pada konsultan-konsultan yang spesialis dalam perhitungan serba rumit dan canggih tentang susunan alternatif, hingga dibutuhkan daya gerak cepat untuk mengatasi berbagai problem dan masalah hidup.
Akibatnya, martabat dan harga-diri manusia cenderung didikte oleh dunia industri dan bisnis, dengan segala perangkat iptek di belakangnya. Bangsa-bangsa miskin akhirnya semakin sulit bersaing dalam mengoperasionalisasi perangkat-perangkat lunak dan keras dari dunia chips dan silicon, suatu perkembangan iptek yang dinamikanya terus menginovasi diri tiada henti-hentinya.
Dalam surat Al-Ma’arij ayat 24-25 dikatakan: “Pada harta orang-orang kaya, terdapat hak bagi orang yang minta pertolongan dan melarat.”
Meskipun ada benarnya anggapan orang-orang kaya (di negeri-negeri industri maju) bahwa hidup miskin akibat dari kebodohan suatu individu maupun bangsa, tapi persoalannya dari manakah hasil-hasil keuntungan negara-negara industri maju itu, kalau bukan dari permodalan besar yang berhasil dihimpun selama berabad-abad sistem penjajahan dan kolonialisme atas negeri-negeri dunia ketiga.
Laku, di negeri kita tercinta, seberapa besar keuntungan yang dikeruk VOC dengan mempekerjakan orang-orang pribumi sebagai budak dari sistem perdagangan mereka, belum lagi kerja-kerja paksa (seperti romusha di wilayah Rangkasbitung), yang memungkinkan permodalan semakin menumpuk pada kas kerajaan mereka.
Setelah Belanda dan Jepang hengkang dari bumi jajahan mereka, terus saja diberlakukan politik pemaksaan bagi pasaran-pasaran baru untuk menyerap hasil-hasil industri yang diselubungi oleh penguasaan bahan mentah yang murah. Belum lagi penguasaan kalender masehi yang mendominasi ruang dan waktu, hingga negeri-negeri miskin terjebak ke dalam situasi dan kondisi yang membuat mereka bergantung pada jaring-jaring kekuasaan mereka.
Dengan sistem yang secara kultural dan struktural bisa menimbulkan kesenjangan itulah maka sebuah hadits nabi menegaskan: “Allah akan memintai pertanggungjawaban dari orang-orang kaya dengan pengadilan yang berat, serta akan menyiksa mereka bila tidak memenuhi tanggungjawabnya atas hak-hak kaum miskin.” (HR. Bukhari)
Pembelaan atas kaum miskin sangat dianjurkan di dalam teks-teks Alquran maupun hadits. Karena itu, dibutuhkan bagi umat Islam untuk merubah pola-pikirnya tentang hakekat kemiskinan, serta penyebab dasar yang menimbulkan adanya orang-orang miskin di muka bumi ini. Pada kesempatan lain Rasulullah menandaskan bahwa orang-orang kaya dimungkinkan menjadi kaya dan memperoleh rizki melimpah, berkat bantuan orang-orang miskin di sekitar mereka.
Kecintaan pada fakir-miskin juga harus diawali dan diteladani oleh para pemimpin bangsa ini. Mereka harus menunjukkan pemihakan yang jelas pada kaum miskin dengan sikap hidup yang sederhana dan rendah-hati. Mereka tidak perlu menggunakan bahasa-bahasa muluk mengenai kompleksitas ekonomi makro maupun mikro dalam percaturan big business dan big industry yang merambah dunia ketiga sekarang ini.
Karena permainan bahasa dan semantik mengenai ekonomi dunia dan pasar global justru mengindikasikan adanya pemelintiran bahasa yang membikin tafsiran ekonomi menjadi kabur dan simpang-siur. Masyarakat hanya membutuhkan kejelasan dan keadilan pemerintah untuk menunjukkan pemihakan dan loyalitasnya.
Sebagaimana ungkapan yang dilontarkan penulis novel Pikiran Orang Indonesia dalam acara bedah bukunya di pesantren Al-Bayan: “Apakah mereka akan tetap memihak yang kuat dan kaya, dengan melestarikan kekuasaan status quo? Apakah mereka ikhlas berkarya untuk meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan rakyat, serta menjadi pembela bagi hak-hak kaum fakir dan miskin?”
Di situlah problem mendasar agar masyarakat berani mengubah pola dan kerangka berpikir, suatu redefinisi tentang makna kemiskinan yang diakibatkan sistem yang secara struktural membutuhkan adanya pihak yang dikorbankan. Dengan demikian, menjadi tidak prinsipil bila pemerintah menggembar-gemborkan tentang kemiskinan absolut yang melanda negeri ini. Karena yang terpenting untuk dibahas (dalam konteks Islam), apakah penyebab dasar yang secara struktural menimbulkan banyaknya fakir-miskin di negeri ini?
Belakangan muncul pula sinyalemen dari pihak pemerintah bahwa miskin itu identik karena tidak mampu bahkan tidak mau menjadi “manusia modern”.
Tentu ada benarnya pendapat bahwa modernitas dapat mengangkat manusia dari rawa-rawa keterbelakangan. Tapi persoalannya, siapa dan pihak mana yang mendapat keuntungan dari hasil-hasil kemajuan dunia industri itu? Siapa yang diberi kesempatan untuk mumpung dan seenaknya menikmati kemajuan modernitas itu?
Sedangkan kemiskinan global yang melanda penduduk bumi ini sangat berhubungan dengan konvergensi yang bergerak antara raksasa kapital kekuasaan bisnis besar, serta dunia pengusaha politik dan segala perangkat birokrasinya, hingga laskar-laskar pelayanan yang dibutuhkan oleh mereka. Di awal abad ke-21 ini dunia iptek sudah menjadi gurita-gurita raksasa yang kecenderungannya berjalan dengan kedaulatan dan hukum-hukum raksasa itu sendiri.
Solidaritas kepada fakir-miskin ini menyangkut soal perlakuan terhadap mereka, bukan hanya soal membantu dan memberi pertolongan dengan bagi-bagi sembako di saat pemilu. Karena perlakuan yang baik serta pemihakan yang serius, justru lebih utama ketimbang membantu mereka namun ditujukan untuk kepentingan politis yang dapat menyinggung dan melukai hati rakyat di kemudian hari. Wassalam.