Esai

Karya-karya Besar Dari Kesunyian

cinta dalam senandung, hilangkan aku, puisi, kumpulan puisi, puisi karya, hairur rafiki, nusantaranews
Cinta dalam Senandung, Hilangkan Aku. (Foto: Ilustrasi/Senipedia.id)

Karya-karya Besar Dari Kesunyian

Oleh: Indah Noviariesta, Esais dan pegiat organisasi Gerakan Membangun Nurani Bangsa (Gema Nusa)

”Tak perlu mengakrabi kebisingan, karena setiap karya besar selalu hadir dari pikiran orang yang mampu mengambil jarak dari hiruk-pikuk, serta menyediakan waktu luang untuk mengakrabi kesunyian.” Inilah salah satu pesan dari sastrawan Y.B. Mangunwijaya yang selalu saja muncul ketika pikiran saya sedang penat dan suntuk. Seringkali ia melintas dalam benak ketika saya dirundung banyak masalah dan problem hidup. Ia seperti alarm jam yang mengingatkan saya agar segera bangkit, mendekat pada Tuhan, mengakrabi kesunyian kemudian melahirkan karya-karya tulis yang bisa dipersembahkan bagi pembaca harian ini.

Kita semua tahu bahwa suasana bising selalu membuat kita capek, lelah dan menguras energi. Kadang kita membiarkan diri kita menjadi bagian dari hingar-bingar dan keriuhan yang kemudian menyadarkan kita bahwa madharatnya lebih besar daripada manfaatnya. Kadang kita bersuara pelan namun orang lain menanggapinya dengan lantang. Kadang kita berteriak sekeras-kerasnya namun tak ada orang yang mau mendengarkan suara kita. Bahkan seringkali kita mudah tergoda untuk melakukan sesuatu yang terlihat bombastis, namun tak ada orang yang mau peduli dengan ulah sensasi yang kita bikin.

Adakalanya kita bertanya-tanya dalam hati, kenapa setiap orang seakan terjebak dalam situasi di mana semuanya merasa ingin didengar. Ada apa ini? Ketika semuanya sibuk ngomong dan merindukan pendengar, lalu siapa yang mau legowo untuk menjadi pendengar? Saya merasa khawatir ketika ikut-ikutan masuk menjadi bagian dari kebisingan yang mereka ciptakan. Karena, ketika tali renungan saya tersentak, barulah menyadari bahwa di negeri ini nyaris tak pernah muncul karya-karya besar yang dihasilkan dari nasion yang penduduknya mencapai ratusan juta jiwa ini.

Mengapa kita tidak pandai mengambil jarak, berhenti sejenak, membiarkan kebisingan dan hiruk-pikuk untuk kemudian merenungkannya, lalu menuangkannya dalam bentuk karya tulis, baik sosiologi, antropologi maupun karya sastra. Mengapa kita tidak punya waktu untuk merancang karya tentang kehidupan di sekitar masyarakat kita sendiri? Mengapa kita sibuk menanggapi, mengomentari hal-hal yang enggak puguh, dan sebetulnya bukan urusan kita sama sekali. Lantas bagaimana kita harus merumuskan tujuan hidup kita sendiri?

Saat ini, kita terlampau sibuk menggunakan, nyaris seluruh waktu untuk mengerjakan segala hal, apa saja, kecuali merumuskan tujuan hidup kita sendiri. Sedangkan orang-orang besar selalu merancang kehidupan dan cita-cita mereka, untuk kemudian dipetik buahnya dalam jangka sepuluh atau duapuluh tahun mendatang.

Mengapa kita hanya sibuk untuk kepentingan saat ini saja, lantas menjelma menjadi kepompong kosong untuk keesokan harinya, dan tidak pernah bermetamorfose menjadi kupu-kupu yang indah. Apa yang sedang kita perbuat demi untuk mewujudkan kehidupan terbaik bagi masa depan kita? Apa yang harus kita perbuat bagi kemaslahatan umat? Apakah kita harus masuk gua untuk menyepi seperti yang pernah dilakukan orang-orang besar terdahulu, bahkan juga dilakukan oleh Nabi Muhammad yang memiliki karya besar dan akhlak termulia?

Dari sisi ekonomi, yang manakah paling benar sesungguhnya, apakah rizki melimpah yang mendatangkan kebahagiaan, ataukah seperti yang dinyatakan orang-orang bijak bahwa justru kebahagiaan hiduplah yang mendatangkan rizki bagi kita. Pola pikir semacam ini niscaya lahir dari orang-orang yang pernah akrab dengan kesunyian, hingga melahirkan kepekaan dalam mencermati gejala yang sedang muncul akibat dari hikmah dan pelajaran yang diambil dari suatu ujian hidup. Mungkin ada satu dua penulis yang berhasil mengakrabi kesunyian, kemudian mencipta kreasi baru yang bersifat visioner, namun ia butuh kesabaran tinggi di tengah medan kegaduhan dan kebisingan umat yang hanya sibuk pada hal-hal yang instan belaka.

Kini sudah bukan zamannya memberikan wacana dan opini yang bersifat menggurui dan berkhotbah melulu. Tapi kita harus menyampaikan secara jujur tentang fenomena keterbelakangan masyarakat kita, di mana kita hidup dan terlahir di dalamnya. Kita harus membuktikan dengan karya nyata, bahwa segala polemik yang mengemuka akhir-akhir ini harus dihadapi dengan berpikir lapang, dewasa, dan mendasarkan diri pada nalar-nalar rasional.

Kita harus menampilkan karya-karya yang genuine tentang memori kolektif bangsa ini, hingga dapat memperkaya khazanah keindonesiaan. Mengutip ucapan penulis novel Pikiran Orang Indonesia, “Kita harus berpikir dalam konteks apa yang telah kita sumbangkan bagi kemajuan bangsa ini, sebagai andil menciptakan pembaharuan dalam menghimpun kronik dan historiografi dari naskah-naskah yang telah digelapkan oleh militerisme kolonial hingga militerisme Orde Baru selama beberapa dekade terakhir ini.”

Sambil mengguratkan wacana ini, saya pun terkenang dengan karya basar Babad Diponegoro yang dihasilkan dari suasana kesunyian di Benteng Rotterdam, Makassar. Catatan harian Diponegoro pernah membuat gentar para panglima perang militer Belanda, mengilhami tokoh-tokoh besar seperti Imam Bonjol, Cut Nyak Dien, hingga Kartini, Soekarno dan Hatta. Pada tahun 2012 lalu, organisasi PBB yang menangani pendidikan, ilmu pengetahuan dan kebudayaan (UNESCO) akhirnya mengakui bahwa Babad Diponegoro termasuk karya besar sebagai memori kolektif dunia.

Pihak kolonial maupun neokolonialisme seakan tidak menyadari kreativitas yang dibangun dalam kesendirian dan kesunyian. Hingga melahirkan kekuatan kata dan bahasa, yang tidak mungkin dikalahkan oleh ribuan jin bahkan ribuan angkatan perang sekalipun.

Related Posts

1 of 3,050