NUSANTARANEWS.CO – Belakangan sejumlah kalangan sangat prihatin melihat kondisi keuangan negara yang cenderung tidak seimbang antara realisasi belanja negara yang terus naik tidak diiringi dengan kenaikan pendapatan negara. Apalagi dengan masih rendahnya realisasi dari kebijakan pengampunan pajak yang berhasil diterima baru sebesar Rp 9,31 triliun atau 5,6% dari target pemerintah Rp 165 triliun.
Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo memperkirakan hingga akhir September 2016, jumlah uang tebusan dari tax amnesty hanya sekitar Rp 35 triliun. Yustinus meminta pemerintah segera mengejar sumber penerimaan pajak lainnya untuk menutup target penerimaan pajak tahun ini.
Sementara Human Capital Advisor di Bank Pundi Indonesia Tbk Sigit Kusumowidagdo menghimbau masyarakat untuk mencermati dan memberikan masukan terkait RAPBN 2017 yang sedang dibahas oleh DPR-Pemerintah, karena anggaran negara yang ditetapkan nanti akan berdampak pada kehidupan rakyat. Sigit memaparkan data asumsi dari target yang telah disampaikan oleh pemerintah, sebagai berikut:
- RAPBN 2017. Belanja Pemerintah sebesar Rp 2.070,5 Triliun. Terdiri dari belanja Pusat sebesar Rp1.310,4 Triliun sedangkan Daerah dan Desa sebesar Rp 760 Triliun. Sementara Penerimaan Pemerintah sebesar Rp 1.737,6 Triliun. Terdiri dari Penerimaan Pajak sebesar Rp1.499,9 Triliun dan Penerimaan Bukan Pajak sebesar Rp 240 Triliun.
- Dengan asumsi Inflasi = 4 % dengan Nilai Tukar Rupiah Per dolar AS = Rp 13.300,- Tingkat pengangguran 5,6 % dari total tenaga kerja. Sedangkan Penduduk Miskin 10, 5 % dari penduduk Indonesia.
- Defisit Anggaran Naik. Defisit tahun 2017 sebesar Rp 332,9 Triliun, naik dari 2,35 % dari Produk Domestik Bruto (PDB) di 2016 menjadi 2,41 % dari PDB. Sesuai keterangan dari kementerian keuangan defisit akan ditutup dengan menerbitkan Surat Utang Negara (SUN) sebesar Rp 389 Triliun.
- Target Pertumbuhan ditargetkan 5,1 % kurang lebih sama dengan 2016 yang juga 5,1 %. Angka itu masih rendah dibanding proyeksi IMF dan Bank Dunia untuk negara-negara Asia lain seperti: India 7,5 % (IMF), Vietnam 6,5% (Worl Bank), Filipina 6,2% (IMF) dan Cina 6% (IMF)
Meski defisit anggaran terus naik, tampaknya pemerintah tetap mengutamakan proyek-proyek infrastuktur. Sehingga mau tidak mau sesuai dengan tuntutan dunia internasional baik hasil kesepakatan WTO Paket Bali, maupun kesepakatan G20, Indonesia pun dituntut meningkatkan pertumbuhan ekonominya dengan membangun infrastruktur.
Selain masalah infrastruktur, Indonesia pun terbebani dengan masih tingginya tingkat kemiskinan yang menjadi beban pemerintah dalam rangka mempercepat pertumbuhan ekonomi. Sesuai dengan program Millennium Development Goals (MDGS) yang disetujui 189 negara anggota PBB, Indonesia masih tertinggal. Tercatat dari 252 juta penduduk Indonesia, sebanyak 28,6 juta masih di bawah garis kemiskinan. Dengan standar hitungan pendapatan Rp 330.772,- (US$ 22,6), maka sekitar 40 % penduduk posisinya masih rawan, bisa jatuh lagi di bawah garis kemiskinan (jika terjadi PHK, Inflasi Tinggi, dan sebagainya).
Akankah pemerintah mengorbankan penduduk miskin demi mengejar target pembangunan infrastruktur sebagaimana halnya pertumbuhan ekonomi kapitalis di negara-negara maju maupun BRICS yang selalu menghadirkan kemiskinan sejalan dengan laju keberhasilan pembangunan?(AS)