Kerjasama ASEAN dalam pembangunan politik bertujuan untuk memperkuat demokrasi, meningkatkan tata pemerintahan yang baik, dan supremasi hukum. Selain itu juga untuk mempromosikan dan melindungi hak asasi manusia dan kebebasan fundamental, dengan memperhatikan hak dan tanggung jawab negara-negara anggota ASEAN, hingga pada akhirnya menciptakan sebuah komunitas berbasis aturan tentang nilai dan norma bersama.
Dalam membentuk dan berbagi norma, ASEAN bertujuan mencapai standard kepatuhan umum terhadap norma-norma perilaku baik di antara negara anggota Komunitas ASEAN. Demi mengkonsolidasikan dan memperkuat solidaritas, kekompakan dan harmoni ASEAN; dan berkontribusi pada pembangunan masyarakat yang damai, demokratis, toleran, partisipatif, dan transparan di Asia Tenggara.
Kerjasama dalam pengembangan politik tersebut akan membawa ke kedewasaan unsur dan institusi politik di ASEAN. Di mana rasa solidaritas antarnegara terhadap sistem politik, budaya, dan sejarah akan lebih baik dipupuk. Solidaritas antarnegara tersebut dapat dicapai lebih jauh melalui pembentukan dan pembagian norma.
- Selamat Ulang Tahun ASEAN Ke-50
- Tak Hanya Mengendalikan, Cina Berniat Invasi ASEAN
- Politik Luar Negeri Jokowi di ASEAN Dinilai Hanya untuk Mencari Investasi dan Utang
- Tiga Alasan Mengapa ASEAN Solid
- Pengamat: Cina Berhasil Pengaruhi 10 Negara ASEAN
- Jokowi: Bersama Indonesia ASEAN Kuat, Bersama ASEAN Indonesia Maju
- Pengamat Pertahanan: Indonesia Bisa Berperan Sebagai Bridge Builder untuk Pererat ASEAN
Bangunan kerjasama melalui pengembangan politik dari komunitas yang berbasis aturan nilai dan norma bersama itu diinisiasi sebagai Komunitas Keamanan Politik ASEAN/ASEAN Political Security Community (APSC) sejak 2009. Cetak-biru APSC mengimpikan ASEAN menjadi komunitas dengan nilai-nilai bersama berbasis aturan, wilayah yang kohesif, damai, stabil, dan tangguh dengan tanggung jawab bersama untuk keamanan yang komprehensif. Serta wilayah yang dinamis dan berwawasan ke luar di dunia yang semakin terintegrasi dan saling bergantung satu sama lain.
Para pemimpin ASEAN membangun apa yang telah dikonstruksikan selama bertahun-tahun di bidang kerjasama politik dan keamanan, sehingga telah sepakat untuk membentuk ASEAN Political-Security Community (APSC). APSC bertujuan memastikan bahwa negara-negara di kawasan ini hidup dalam damai satu sama lain dan dengan dunia di lingkungan yang adil, demokratis, dan harmonis.
Anggota komunitas berjanji secara eksklusif mengandalkan proses damai dalam penyelesaian perbedaan intra-regional dan menganggap keamanan mereka terkait secara fundamental satu sama lain dan terikat oleh lokasi geografis, visi, dan tujuan bersama. Hal ini memiliki komponen, berikut: perkembangan politik; membentuk dan berbagi norma; pencegahan konflik; resolusi konflik; pembangunan perdamaian pascakonflik; dan mekanisme pelaksanaannya.
Cetak-biru APSC diadopsi oleh para pemimpin ASEAN pada KTT ASEAN ke-14 pada 1 Maret 2009 di Cha-am/Hua Hin, Thailand. Cetak-biru APSC dipandu oleh Piagam ASEAN dan prinsip dan tujuan yang terkandung di dalamnya. Cetak-biru APSC dibangun berdasarkan Rencana Aksi Komunitas Keamanan ASEAN (ASEAN Security Community Plan of Action), Vientiane Action Program (VAP), serta keputusan yang relevan oleh berbagai Badan Sektoral ASEAN.
Rencana aksi tersebut menjadi dokumen prinsip, menetapkan kegiatan yang diperlukan demi mewujudkan tujuan Komunitas Keamanan Politik ASEAN, sementara VAP menjabarkan langkah-langkah yang diperlukan untuk tahun 2004-2010. Kedua dokumen tersebut merupakan rujukan penting dalam melanjutkan kerjasama politik dan keamanan. Cetak-biru APSC menyediakan peta jalan dan jadwal buat menetapkan APSC pada tahun 2015. Cetak-biru APSC juga memiliki fleksibilitas guna melanjutkan program atau kegiatan setelah tahun 2015 demi mempertahankan kepentingannya dan memiliki kualitas yang bertahan lama.
Namun, ketika muncul realitas berupa tantangan dalam bentuk konflik Laut China Selatan yang sudah lama berlarut-larut, APSC seolah tidak berguna dan terkulai sebelum perang justru di gelanggang pertempuran tepat di depan matanya sendiri, dalam kawasan yang setidaknya meliputi empat negara Asia Tenggara. Padahal jika merujuk pada International Hydrographic Organization (IHO) mengenai batas-batas samudera and laut, edisi ketiga (1953), maka muka bumi berbentuk perairan seluas 3,5 juta kilometer persegi yang bernama Laut China Selatan berbatasan di sebelah selatan dengan Tiongkok; di timur dengan Vietnam; di barat dengan Filipina. Sementara di sebelah timurnya dengan semenanjung Malaya dan Sumatra, hingga ke Selat Singapura di bagian baratnya, di utara Kepulauan Bangka-Belitung dan Kalimantan, Indonesia; serta di utara dan timurnya dengan Kepulauan Natuna, Indonesia. Konflik ini melibatkan klaim yang tumpang-tindih antara Tiongkok, Vietnam, Taiwan, Malaysia, Brunei, dan Filipina.
Di satu pihak, Filipina dengan penuh percaya diri melangkahkan kaki kenegaraannya dalam one-man-show diplomasi internasional dan terkesan tanpa melibatkan Komunitas ASEAN melalui APSC. Alih-alih menghargai skema kerjasama regional Komunitas Keamanan Politik ASEAN, Presiden Filipina Rodrigo Duterte memilih menempuh jalan sendiri tanpa memberikan peluang berembuk untuk Perdana Menteri Vietnam Nguyen Xuan Phuc, PM Malaysia Najib Razak, Sultan Hassanal Bolkiah, dan Presiden Indonesia Joko Widodo.
Sejatinya langkah-langkah diplomatik di bidang hukum laut internasional yang dijalankan Filipina ke tingkat dunia baru dimulai sejak Januari 2013, di saat mana APSC telah diadopsi kendati belum ditetapkan. Di saat itu pula Filipina secara resmi memprakarsai proses arbitrase melawan klaim Tiongkok terhadap wilayah-wilayah dalam “Jalur Sembilan Titik Putus-putus” yang mencakup Kepulauan Spratly, yang menurutnya melanggar hukum berdasarkan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut (UNCLOS).
Pada 12 Juli 2016, majelis arbitrase mendukung Filipina, dengan mengatakan tidak ada bukti bahwa Tiongkok secara historis telah melakukan kontrol eksklusif atas perairan atau sumber daya, maka “tidak ada dasar hukum bagi Tiongkok untuk mengklaim hak-hak bersejarah” dalam jalur sembilan garis putus-putus. Pengadilan tersebut juga mengkritik proyek reklamasi Tiongkok dan pembangunan pulau buatan di Kepulauan Spratly, seraya mengatakan bahwa hal itu telah menyebabkan “kerusakan parah pada lingkungan terumbu karang”.
Menurut hemat kami, pada titik ini APSC dapat memainkan peran lebih besar, yakni mengambil alih medan konflik Laut China Selatan demi menyudahi masalah yang berkepanjangan selama ini. Perlu secara serius dicermati bahwa Tiongkok mengklaim wilayah di laut yang secara geografis lebih dekat kepada keempat negara Asia Tenggara ini kemungkinan besar lantaran laut tersebut menyandang nama “China”. Argumentasi sejarah yang dikemukakan Tiongkok bahwa nama ini tercantum dalam catatan kronik sejak Dinasti Han (206 Sebelum Masehi sampai tahun 220), untuk mendukung klaim mereka di wilayah tersebut. Tetapi bukankah itu hanya nama yang berlaku dalam khazanah historis lokal di Tiongkok belaka bukan menurut sebuah konvensi internasional?
Jadi klaim itu sebenarnya mudah ditepis dengan alasan bahwa pemakaian nama itu dalam skala yang luas ternyata sangat meragukan. Nama “Laut China Selatan” sebenarnya hanya mengacu pada sebuah fakta bahwa mayoritas laut berada di bawah kendali Angkatan Laut Jepang selama Perang Dunia II menyusul pendudukan militer di sekitar wilayah Asia Tenggara pada tahun 1941. Jepang menyebutnya “Minami Shina Kai” yang bermakna “Laut China Selatan”. Ini tertulis sampai tahun 2004, ketika Kementerian Luar Negeri Jepang dan kementerian lainnya mengukuhkannya dengan menyilih ejaannya, yang telah menjadi standard pemakaian nama laut ini di Jepang. Maka Pemerintah Jepang pun bisa diminta pertanggungjawaban supaya mengubah pemakaian nama tersebut di atas meja perundingan.
Di Asia Tenggara pada zaman dahulu kala disebut Laut Champa atau Laut Cham, merujuk kerajaan maritim Champa yang berjaya di sekitar perairan ini sejak abad ke-6 hingga ke-15. Jadi merunut pada sejarah itu, Komunitas Keamanan Politik ASEAN dapat menunjukkan wujudnya melalui sebuah cara: berkuasa mengembalikan nama Laut China Selatan menjadi Laut Champa atau Laut Cham sebagai konvensi regional antarnegara di Asia Tenggara yang mayoritas mengelilingi laut ini. Terakhir kemudian pada gilirannya ASEAN c/q APSC lewat cara yang takzim dapat mengajukan pengabsahan nama geografi baru kepada IHO.
Di sisi lain, APSC juga perlu menunjukkan taji dengan menawarkan mekanisme penanganan konflik Rohingya. Sebagai masalah dalam negerinya sendiri, Myanmar sejauh ini hanya melibatkan pihak-pihak di luar ASEAN. Tetapi apa salahnya Komunitas Keamanan Politik ASEAN menyisihkan sejenak campur-tangan Koffi Annan dalam gugus tugas yang dibentuk atas perintah konselor negara Aung San Suu Kyi dan Tim Pencari Fakta buatan Perserikatan Bangsa-bangsa?
Pandangan yang mestinya sulit disanggah bisa diutarakan dengan gamblang ke mata dunia internasional: bahwa Asia Tenggara memiliki sebuah institusi kawasan yang berwibawa, yakni ASEAN yang di dalamnya sudah terbentuk APSC. Di sinilah, di atas panggung diplomatik dari mata-rantai kukuh yang terjalin dalam hubungan regional demi membuka mata dunia internasional, Indonesia boleh tampil dengan ketangguhan yang gagah perkasa sebagai pemimpinnya, sebagai negara terbesar Asia Tenggara.
Oleh: Boy Anugerah, Kandidat Master in International Relation Universita Cattolica Del Sacro Cuore Italia, Direktur Literasi Unggul Consulting Group