Oleh Abdul Wachid B.S.
Setiap penyair, tentu saja, mempunyai pengertian sendiri tentang puisi yang ditulisnya. Dengan demikian, difinisi puisi akan sebanyak jumlah penyair? Memang begitulah. Sama halnya dengan difinisi kebudayaan, difinisi puisi sebanyak orang yang mencoba merumuskannya.
Puisi, ada yang menuliskannya didahului dengan memaknai pengalaman spiritualitas, barulah kemudian mewadahinya melalui bahasa. Namun, adakalanya, penyair memulainya dengan bermain-main bahasa, mengakrabi bahasa, dan dari permainan bahasa itu kemudian dia menemukan makna.
Jalan Spiritual
Pada strategi yang pertama, penyair sepertinya didikte oleh suara ruh, penyair hanya bertugas sebagai pelaksana dari suara ruh. Sementara itu, ruh memerlukan badan yakni bahasa, dan karenanya suara ruh itu meminta bahasa agar dapat meruang dan mewaktu. Dalam keadaan itu, penyair seperti mabuk kata-kata sehingga seringkali puisi secara makna telah utuh jadi: kata-kata mengalir deras di luar perhitungan kesadaran yang coba dibangun oleh penyair. Dalam situasi hanyut begini, puisi telah meng-ada.
Puisi yang dilahirkan dalam situasi demikian, suara ruh, dari pengalaman spiritual penyair, maka bahasa yang terbatas itu tidak cukup untuk mewadahinya, karena itu yang terepresentasi ke dalam bahasa hanya sebagian besar saja. Akan tetapi, selalu ada yang tercecer dari keseluruhan pengalaman spiritual itu. Untuk itu, bahasa puisi menjadi di dalam relasi-relasi analogi, melalui metafora.
Yang tidak kalah menarik dari sudut penciptaan demikian bahwa bahasa puisi justru menjadi formula yang jernih, tidak ruwet dalam permainan metafora, tidak digelap-gelapkan sebab tujuan utamanya adalah makna. Di samping itu, yang disebut puisi tidak semata dari sisi eksotisme bahasa, melainkan pengalaman ruhani, peristiwa, suatu pesan yang digambarkan, yang semuanya itu menarik bagi pembaca sebab bertemunya antara suara ruh yang disampaikan oleh penyair dan suara ruh pembaca.
Puisi yang demikian, tidak akan hancur sebagai puisi hanya sebab perpindahan bahasa. Diterjemahkan ke dalam bahasa apapun, puisi yang demikian akan tidak kehilangan nilai “puisi”-nya. Hal demikian dapat kita jumpai dalam karya sastra sebagaimana yang ditulis oleh Kahlil Gibran dalam buku puisi triloginya The Prophet; Javid Nammah oleh Muhammad Iqbal; La Commedia Devine oleh Dante. Atau ke Nusantara, “Syair Perahu” karya Hamzah Fanshuri; “Hikayat Prang Sabil” karya Teungku Pante Kulu; “Suluk Wujil” karya Sunan Bonang. Atau lebih ke Indonesia, buku puisi Nyanyi Sunyi karya Amir Hamzah; sajak “Doa”” karya Chairil Anwar; sajak “Nyanyian Angsa” atau sajak “Khotbah” karya Rendra; buku puisi 99 Untuk Tuhanku atau buku puisi Syair-syair Asmaul Husna karya Emha Ainun Nadjib; buku puisi Makrifat Daun, Daun Makrifat karya Kuntowijoyo; buku puisi Rubayat Angin dan Rumput karya K.H. A. Mustofa Bisri; sajak “Ibu” karya D. Zawawi Imron; dan banyak lagi contoh lainnya. Di antara contoh puisi di “jalan” ini sebagaimana karya Emha Ainun Najib berikut.
Kekasih Tak Bisa Menanti
Akhirnya akan sampai di sini
Di amanat Ilahi Rabbi
Orang-orang tak lagi bisa menanti
Zaman harus segera berganti pagi
Aku tangiskan teririsnya hati
Para kekasih di dusun-dusun sunyi
Terlalu lama mereka didustai
Sampai hanya Tuhan yang menemani
Ya Allah
Sudah tak bisa diperpanjang lagi
Kesabaran mereka, ketabahan mereka
Sesudah diremehkan dan dicampakkan
Akhirnya akan sampai di sini
Di arus gelombang yang sejati
Kalau perahu itu adalah tangan-Mu sendiri
Tak akan ada yang bisa menghalangi
Tentu saja, kita boleh berdebat mengenai aspek kesastraan dari karya yang dicontohkan di atas. Namun, sejarah telah memihak bahwa karya sastra yang dapat melampaui jamannya adalah yang menyuarakan suara kemanusiaan dalam dimensinya yang partikular sekaligus universal. Partikularitasnya disebabkan oleh kekhasan visi subjektif sastrawan, atau berpihaknya dia kepada hati nurani. Sementara itu, universalitasnya sebab dia mengaitkan kepada dimensi kemanusiaan yang lebih luas.
Doa
Kepada pemeluk teguh
Tuhanku
Dalam termangu
Aku masih menyebut namaMu
Biar susah sungguh
mengingat Kau penuh seluruh
cayaMu panas suci
tinggal kerdip lilin di kelam sunyi
Tuhanku
aku hilang bentuk
remuk
Tuhanku
aku mengembara di negeri asing
Tuhanku
di pintuMu aku mengetuk
aku tidak bisa berpaling
13 November 1943
Ungkapan Chairil Anwar dalam sajak “Doa” tersebut, memang subjektif, tetapi siapapun manusianya tatkala mengalami pencerahan ruhani setelah hidup dalam penderitaan, akan bergetar hatinya membaca ungkapan tersebut.
Dalam proses melahirkan puisi dengan cara demikian, saya juga pernah sekalipun tidak sering. Bersama sahabat saya, penyair Santosa Warna Atmadja, waktu itu (1994) sering bepergian bersama, naik sepeda motor, berkunjung ke masjid-masjid tua di sekitar wilayah Yogyakarta. Ada kenikmatan tersendiri sembahyang di dalamnya. Dari Masjid Agung, sebelah barat Alun-alun Utara Yogyakarta, kami usai shalat, ke arah selatan, Pasar Burung Ngasem. Tetapi, kemudian balik ke utara, dari pangkal Jalan Maliboro ke selatan, melewati Pasar Bringharjo (memang, saya kerap melewati pasar ini), mendadak di benak saya muncul narasi sajak saya ini:
Ode bagi Burung
Burung yang kau lepas itu
Mendadak melepas bulu-bulunya di udara
Matahari kota besar ini meranggasnya
Hingga ia jatuh ke tanah, dan debu
Apalagi yang kau harap dari bekas kepaknya
Di antara orang ramai yang tak pernah kembali
Di trotoar, ke pasar, ke ceruk kegelapan
Tak memanggili ayat-ayat yang dikicaunya dulu
Burung yang kau lepas itu
Kini bersimbah darah, dan mandi debu
Orang sunyi mengenali yakni hatimu
Yang tak lagi memanggili dirinya sendiri
Di trotoar sepi, jalanan waktu
1994
Narasi di atas muncul dalam batin saya, lengkap, tanpa adanya rekayasa bahasa. Sejak dari Masjid Agung itu telah muncul ungkapan dengan idiom yang menggetarkan hati saya, “Burung yang kau lepas itu”. Lalu sambung menyambung dengan bayangan pasar, trotoar, orang-orang ramai, dan berakhir dengan kesunyian.
Pengalaman proses kelahiran puisi demikian juga dialami oleh penyair D. Zawawi Imron ketika menulis sajak “Ibu” yang legendaris itu. Hal yang sama juga dialami oleh penyair Kuswaidi Syafie’i dengan sajak yang kerap dibacakannya di mana-mana itu: ketika saya tanya, “Apa judul sajak Sampeyan? Bahkan dia menjawab, “Belum ada judulnya…” (Tetapi, Kuswaidi Syafie’i sudah begitu hafal dengan sajaknya itu).
Tujuan kekenesan estetisme dalam proses lahirnya puisi secara demikian itu agaknya jauh dari keinginan penyair. Dia hanya ingin berbagi pengalaman spiritual. Tujuan awalnya, barangkali bukan kepenyairan itu sendiri, melainkan kebutuhan untuk berkabar kepada sesama manusia.
Namun, sastra yang merupakan buah dari spiritualitas, yang mana suara ruh menjadi penentu, sekalipun demikian, usaha-usaha yang bersifat kebudayaan bukannya tidak berperan. Ada sinergi bahwa sastra mempertemukan dua muara, antara perilaku budaya seorang penyair dan spiritualitasnya. Karenanya, nilai puisi pada konteks ini berkaitan langsung kepada makna, yang merupa sebagai bentuk dari totalitas puisi.
Membaca dan menilai puisi yang demikian, seorang kritikus sastra menjadi berlaku tidak adil jika dia cuma berkutat pada ranah bahasa dalam upaya pendekatannya kepada bentuk-bentuk ekspresi estetiknya. Kritikus seharusnya memasuki ruang-ruang makna: melihat perkembangan respon makna yang ditulis oleh penyair terhadap teks-teks sebelumnya, juga teks kehidupan yang mengepungnya.
Jalan Bahasa
Pada strategi yang kedua, tatkala ekspresi seni bukan lagi bagian langsung dari ekspresi keberagamaan seseorang, maka karya seni tak terkecuali sastra dalam proses kelahiran dan eksistensi di dalamnya pun tidak lagi sakral. Siapapun berhak menulis puisi, tentang apapun, ditulis dengan cara bagaimanapun, dan untuk tujuan apapun.
Pada hakikatnya, semua yang disebut sebagai karya sastra memerlukan bahasa sebagai upaya mewadahi respon intuisi, pikiran dan perasaan seorang sastrawan terhadap realitas, baik hal itu realitas alam, realitas budaya, maupun realitas transendensi.
Namun demikian, fenomena kelahiran puisi yang menemukan “puisi“ bukan bertujuan akhir kepada estetika bahasa semata, yaitu pada “jalan spiritual” inilah bahasa menjadi semacam seruling. Suara seruling yang menggetarkan sukma itu bukan disebabkan oleh megah mutunya seruling itu saja, melainkan disebabkan oleh getaran hati sang Peniupnya. Sementara itu, bagi penyair yang memilih “jalan bahasa” meyakini bahwa jika ingin menghasilkan nyanyian seruling yang menggetarkan sukma, maka kita memulainya dari mutu seruling itu sendiri, mutu bahasa itu sendiri.
Penyair seperti Sapardi Djoko Damono meyakini hal tersebut, baginya menulis puisi merupakan permainan bahasa, yang penting bukan “apa” di dalam puisi itu dituliskan, melainkan “bagaimana” puisi itu dituliskan. Karenanya, pada mulanya adalah bahasa, dan berakhir kepada bahasa sebagai penghitungan nilai dari sebuah puisi.
Perhitungan terhadap “jalan bahasa”, juga begitu disiplin tercermin pada sikap Chairil Anwar, “Kita musti menimbang, memilih, mengupas dan kadang sama sekali membuang. Baru mengumpulsatukan.”
Namun, “jalan bahasa” itu kemudian mengalami pengekstriman sehingga justru menjadi anti kilmaks, yakni penghancuran kepercayaan tunggal terhadap arti formalistik bahasa. Hal ini dapat dilihat pada puisi Sutardji Calzoum Bachri periode O Amuk Kapak, yang diikuti oleh penyair Ibrahim Sattah. Sutardji ingin membuktikan bahwa kata-kata (bahasa) bukanlah alat untuk menyampaikan pengertian: “… biarlah kursi mengandung kursi itu sendiri, tanpa dipaksa menjadi alat tempat duduk.” Demikianlah Sutardji, dan karenanya, dia sampai kepada perhitungan bahasa yang kronis, tidak saja pada independensi kata, melainkan sampai kepada partikel bahasa, semacam sajak ini :
Kalian
Pun
Kasus pada sajak Sutardji tersebut, memang berkesan seperti menghancurkan bahasa, tetapi yang demikan juga dilakukan oleh penyair Afrizal Malna. Dia berupaya menghargai bahasa sampai ke unsur-unsurnya, eksplorasi bahasa itu dikatakannya sebagai :
Berpikir dengan gambar tidak sama dengan memotret. Puisi-puisi saya bukan hasil sebuah pemotretan. Bagi saya puisi merupakan representasi dari kawasan teks yang kaya. Kawasan teks yang bergerak antara pengalaman empiris serta lingkungan teks dalam pergaulan literatur seorang penyair. Berbagai bentukan imajinasi sosial maupun personal bertarung di dalamnya. Kemudian diangkat lewat berbagai elemen dalam puisi: ide, latar puisi, metafor, pesan, dan bunyi.
Sebuah “jalan bahasa”, tentu saja, tidak mulus dilalui oleh Afrizal Malna. Dia melakukan perhitungan tektual terhadap teks-teks sebelumnya, dari lirisisme Chairil Anwar, imajisme dengan tipografi prosa Sapardi Djoko Damono, sampai kepada kubisme di mana benda-benda yang dipanggil melalui bahasa menggambarkan pikiran-pikiran :
“… orang-orang terbaring dalam tubuhnya sendiri, dada. tak ada yang berjalan. anjing terbaring dalam lolongannya sendiri. kota juga terbaring dalam dinding-dinding beton yang dingin, dada …” (sajak “dada”).
Apa yang disebut “puisi” pada konteks sajak Afrizal Malna, juga sajak karya penyair lain yang mempunyai kesadaran bahasa seperti dia, sangat bergantung kepada ekspresi kebahasaan. Pada sajak serupa ini, boleh jadi, akan berisiko mengalami keterceceran estetika bahasa jika terjadi penerjemahan ke dalam bahasa lain. Masih mending jika penerjemahan itu dilakukan terhadap sajak Sutardji, seperti sajak “Kalian” di atas. Hal itu disebabkan, pastilah pengalih-bahasa tidak akan melakukan terjemahan apapun, selain membiarkan isi sajak yang hanya berbunyi “pun” itu.
Hal itulah kendala yang akan dialami oleh puisi yang terlampau akut dalam memperhitungkan elemen bahasa. Dengan pecahnya ekspresi kebahasaannya tatkala dipidah ke bahasa lain, maka bersamaan dengan itu pecah pula puisi sebagai “puisi”. Kita banyak menjumpai proses kreatif kebahasaan puisi yang demikian, setidaknya sejak Abad Yang Berlari (1984) ditulis oleh Afrizal Malna, sampai pertengahan 1990-an. Akan tetapi, kita juga maklum bahwa eksperimentasi kebahasaan puisi Afrizal Malna bukannya tanpa keberhasilan. Sekalipun kita juga tahu bahwa itu bukan hal yang sama sekali baru sebab eksperimentasi kebahasaan puisi Afrizal Malna merupakan percampuran dan pengembangan dari tradisi lirisisme Chairil Anwar dan Sutardji Calzoum Bachri.
Badan dengan Ruhnya
Strategi proses kreatif semacam itu tidaklah melulu dari satu sisi “jalan” saja, melainkan akan tergantung kepada tingkat kematangan pandangan hidup, pengalaman hidup, dan kecenderungan penyair dalam menyikapi sihir bahasa. Boleh jadi, ada yang mengideologikan “jalan bahasa”. Boleh jadi, ada yang lebih menguatkan kepada pengalaman ruhani otentik, yang ditampilkan atau dinyatakan di dalam puisinya. Boleh jadi, ada yang memakai dua “jalan” itu sekaligus.
Sekalipun setiap “bahasa” memiliki pukaunya sendiri-sendiri, karya sastra besar pastilah memiliki komposisi yang harmoni antara “jalan spiritual” yang mengandungi makna sehingga mampu menjelajahi “jalan bahasa”, sebagaimana harmoni antara badan dan ruhnya. Yang jelas bahwa pembaca karya sastra dalam penilaiannya musti bersikap adil. Akan sangat tidak adil jika menilai puisi karya Sutardji Calzoum Bachri dengan perspektif penilaian karya Sapardi Djoko Darmono, dan sebaliknya. Justru, otentisitas setiap karya sastrawan dibanding karya sastrawan lain, bahkan otentisitas tiap-tiap karya dari seorang sastrawan, di situlah akan terlihat mutu suatu penilaian. Pada saat itu, baik sang Penilai maupun karya yang dinilai sama-sama diuji, adakah karya sastra itu agung, dan adakah sang Penilai mampu menemukan keagungan dari karya sastra itu.
*Abdul Wachid B.S., adalah penyair, dan dosen IAIN Purwokerto
__________________________________
Bagi rekan-rekan penulis yang ingin berkontribusi (berdonasi*) karya baik berupa puisi, cerpen, esai, resinsi buku/film, maupun catatan kebudayaan serta profil komunitas dapat dikirim langsung ke email: [email protected] atau [email protected].