NUSANTARANEWS.CO – Hampir sepuluh tahun sudah pengaturan soal pelaku yang bekerjasama atau Justice Collaborator (JC) lahir di Indonesia sejak UU No 13 tahun 2006, namun dalam prakteknya masih ditemukan problem krusial dalam pemberian reward bagi mereka di pengadilan. Perbedaan pendapat di pengadilan soal JC membuat para hakim pengadilan korupsi tidak sepakat dengan JC yang diajukan JPU KPK.
Dalam pengadilan korupsi kasus penyuapan anggota Komisi V DPR RI, hakim pengadilan menolak Abdul Khoir sebagai JC. Menurut hakim, Abdul Kahoir tidak tepat diberikan status sebagai JC karena dia menjadi pelaku utama. Abdul Khoir akhirnya divonis lebih berat dari tuntutan Jaksa. Ini kali keduanya Pengadilan Tipikor menolak status JC yang ditetapkan KPK. Sebelumnya pada tahun 2014 lalu pengadilan juga menghukum Kosasin Abas lebih berat dari Tuntutan Jaksa.
Dalam Monitoring Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) di 2016, berdasarkan Data JC di beberapa Institusi sampai saat ini, ditemukan bahwa instrumen JC masih diharapkan oleh para pelaku yang berniat membantu aparat penegak hukum.
“Berdasarkan Data KPK, pada 2016 ada 21 permohonan tersangka Korupsi yang meminta status JC di KPK. Dari 21 permohonan ada 2 kasus yang diterima sebagai JC dan 10 ditolak atau tidak memenuhi syarat dan 9 permohonan masih proses,” tutur Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Supriyadi W Eddyono berdasarkan keterangan pers di Jakarta, Jumat (10/6/2016).
Sedangkan menurut data LPSK sampai dengan 2016 ada 8 kasus di mana tersangka atau terdakwa telah mendapatkan status JC dari LPSK dan dalam perlindungan LPSK. Seluruh kasus tersebut adalah kasus korupsi.
Sedangkan Data dari BNN di tahun 2016 ada 8 narapidana yang meminta starus JC, dan seluruhnya di tolak oleh BNN karena tidak pernah bekerjasama dengan penyidik dan sebagian tidak pernah disidik oleh BNN. “Sedangkan data dari BNPT dan Kejaksaan tidak diketahui berapa jumlah tersangka atau terdakwa yang meminta status JC dan berapa yang telah diberikan status JC,” umgkapnya.
Dengan demikian, ICJR melihat ada perbedaan cara pandang dari aparat penegak hukum atas syarat dan standar dalam berbagai regulasi yang tersedia, misalnya SEMA No 4 tahun 2011 tentang Perlakuan Bagi Pelapor Tindak Pidana (Whistleblower) dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama (Justice Collaborator) Di Dalam Perkara Tindak Pidana Tertentu, UU No 31 Tahun 2006 dan UU No 31 tahun 2014, dan Peraturan Bersama Menkumham, Jaksa Agung, Kapolri, KPK, dan LPSK.
Cara pandang hakim, jaksa, LPSK atas pelaku bekerjsama yang berbeda-beda inilah yang mengakibatkan reward atas pelaku yang bekerjsama sulit didapatkan, selain juga akibat kurang harmonisnya peraturan soal pelaku yang bekerjasama “Misalnya, revisi dalam UU No 31 tahun 2014 juga tidak memasukkan mengenai persyaratan sebagai pelaku yang bekerjasama,” ungkapnya.
Sehingga, rumusan syarat ini harus dicari padanannya dalam beberapa peraturan di luar UU, misalnya SEMA atau kesepakatan antar lembaga. Inilah yang membuka celah beda pandangan tersebut. Dia menilai Soal frase “pelaku utama” dalam regulasi yang ada masih kurang tepat, karena akan menimbulkan banyak penafsiran yang berbeda-beda. Dalam kasus sebelumnya, frase ini juga yang menjadi batu sandingan terkait terdakwa Kosasih Abas di pengadilan Tipikor tahun 2014 Kosasih Abas yang di tetapkan oleh KPK sebagai JC justru mendapat hukuman yang lebih berat dari tuntuan.
“Masalah ini kemungkinan akan terjadi pula dengan kasus korupsi dengan terdakwa Gatot-Evi yang sudah di tetapkan sebagai JC oleh KPK,” kata dia.
Untuk itu, pihaknya merekomendasikan agar seluruh institusi penegakan hukum untuk kembali duduk bersama untuk menyamakan persepsi soal frase ”pelaku utama” sebagai salah satu syarat dalam penetapan JC.
Lebih jauh ICJR meminta agar aparat penegak hukum kembali melihat aturan baru, dalam UU No 31 tahu 2014 Definisi saksi pelaku adalah “tersangka, terdakwa, atau terpidana yang bekerja sama dengan penegak hukum untuk mengungkap suatu tindak pidana dalam kasus yang sama.” Pasal ini harus menjadi rujukan baru bagi peraturan lainnya. SEMA atau kesepakatan bersama Apgakum harus di revisi berdasarkan UU yang baru tersebut.
Menurut dia, jika hal ini kerap terjadi maka cita-cita Indonesia dalam mengusung peran JC untuk berkolaborasi di pengadilan akan makin surut. “Soalnya para tersangka calon JC berpotensi akan berpikir ulang untuk kolaborasi dengan penyidikan dan penuntutan. Dan hal ini akan mempersulit tugas Jaksa dalam mengungkap kasus-kasus khusus,”
“Kasus-kasus tindak pidana korupsi kelas berat, pembongkaran bandar narkoba maupun kejahatan terorisme yang dilakukan secara terorganisir, dipastikan akan mengalami kesulitan karena minimnya bukti dan informasi yang dapat dikembangkan dalam upaya penuntutan,” kata dia.
Sebenarnya penggunaan peran pelaku yang bekerjasama dan perlindungannya sudah berkembang dan menyebar di beberapa negara sejak tahun 70-an. Di Amerika dan Eropa, penggunaan saksi mahkota dan informan pidana digunakan untuk melawan kejahatan serius yang meliputi kejahatan terorisme, narkoba dan kejahatan terorganisir. Bahkan saat ini di negara-negara Eropa Barat, baik polisi maupun intelijen telah mengembangkan kapasitasnya untuk mengidentifikasi dan merekrut informan untuk kejahatan terorganisir.
Strategi ini tidak hanya digunakan untuk kejahatan yang spesifik, yaitu untuk terorisme dan narkoba. Namun dikembangkan untuk melawan kejahatan terorganisir yang lebih luas cakupannya. (ResF)