Problem Kemiskinan Keluarga, Akar Masalah dan Solusinya
Salah satu upaya pemerintah untuk menanggulangi masalah kemiskinan melalui program peningkatan peran perempuan dalam pembangunan adalah dengan program pelatihan perempuan dan pembentukan kelompok perempuan Indonesia maju mandiri (Prima).
Upaya pemerintah daerah dalam rangka pemberdayaan ekonomi perempuan di Kabupaten Cirebon melalui pelatihan makanan olahan agar dapat mengatasi kemiskinan yang dihadapi kaum perempuan dalam melakukan pemberdayaan dalam bidang ekonomi, sehingga lebih maju dan mandiri.
Di tengah keprihatinan terhadap kondisi keluarga, muncul di tengah-tengah umat berbagai upaya penyelamatan. Meski terlihat peduli pada kondisi keluarga, namun ternyata upaya tersebut tidak menyentuh akar persoalan. Apa yang selama ini dilakukan negara ibarat jauh api dari panggang, yang diharapkan jauh dari realitanya.
Salah satu programnya adalah meningkatkan kegiatan pemberdayaan keluarga, melalui peningkatan pendapatan ekonomi keluarga. Diharapkan hal ini akan mendorong upaya kemandirian keluarga dan meningkatkan ketahanan dan kesejahteraan keluarga. Sepintas nampak manis dan berpihak kepada keluarga. Namun, jika ditelaah lebih mendalam program ini sama sekali tidak menyentuh akar persoalan dan besifat parsial atau tambal sulam. Upaya seperti ini diyakini tidak akan menyelesaikan masalah bahkan rawan menimbulkan masalah lanjutan.
Problem kemiskinan sejatinya adalah problem sistemik bukan sekedar individual. Solusinya pun harus berupa solusi sistemik, bukan solusi individual.
Demokrasi yang menjunjung tinggi kebebasan kepemilikan (liberalisasi ekonomi) pada faktanya telah melahirkan kemiskinan sistematik. Liberalisasi pengelolaan sumber daya alam adalah salah satunya. Sebagaimana kita ketahui, kekayaan alam Indonesia yang melimpah ruah ternyata tak bisa dirasakan kemanfaatannya oleh rakyat sepenuhnya. Sumber daya alam (SDA) yang sejatinya adalah bentuk kepemilikan umum ternyata telah beralih kepada negara yang berkolaborasi dengan para pengusaha baik asing maupun lokal. Padahal sejatinya, sumber daya alam adalah milik umum yang pengelolaannya seharusnya dapat dimanfaatkan bagi seluruh rakyat Indonesia.
Akibatnya rakyat hidup serba kekurangan. Kalaupun dapat hidup hanya sekedar menjangkau kebutuhan pokoknya saja. Inilah kemiskinan yang diciptakan oleh demokrasi dengan liberalisasi ekonominya.
Bukan hanya kepemilikan umum (sumber daya alam) yang diliberalisasi, demokrasi juga melahirkan liberalisasi layanan umum. Negara seharusnya menguasai dan bertanggung jawab atas layanan umum warga negaranya. Namun demokrasi telah mengalihkan fungsi negara tersebut kepada korporasi (swasta). Tentu saja, korporasi tidak mungkin melakukan pelayanan karena mereka pasti mengejar keuntungan.
Akhirnya, layanan umum pun dibisniskan kepada rakyat. Rakyat harus membayar mahal untuk menikmati infrastruktur yang berkualitas. Untuk menggunakan jalan, jasa transportasi, kesehatan yang memadai bahkan sekolah yang berkualitas, rakyat harus mengeluarkan biaya yang tidak sedikit. Kondisi ini tentu semakin membuat miskin keluarga yang sudah dibuat miskin melalui liberalisasi SDA.
Bagaimana mungkin keluarga akan berdaya jika sistem ekonominya masih liberal. Dan bagaimana mungkin akan sejahtera jika sarana untuk meraihnya (seperti modal pinjaman bergulir, dan lain-lain) ternyata tidak lepas dari jeratan demokrasi yang meninggalkan ajaran Islam. Kalaupun sepintas ekonomi keluarga satu tingkat lebih baik dari kondisi sebelumnya, bagaimana dengan kondisi keluarga di sisi lainnya?
Sungguh, upaya parsial dan tambal sulam yang tidak menyentuh akar persoalan menjadi tidak berarti. Dengan kata lain, yang seharusnya dilakukan adalah mencabut demokrasi dan kembali kepada Islam dan sistem ekonominya. Wallahua’lam.
Oleh: Tawati, Aktivis Dakwah Muslimah Majalengka