Pribumi dan Kecemburuan Jadi Santapan Politik Rasialis

Rakyat ingin kemerdekaan sejati. (Foto: Ilustrasi/Kaskus)

Rakyat ingin kemerdekaan sejati. (Foto: Ilustrasi/Kaskus)

NusantaraNews.co – Kata “pribumi” tiba-tiba menjadi kata paling menghebohkan seantaro jagad dunia sosmed belakangan ini. Kehebohan muncul dari isi pidato Gubernur DKI Anies Baswedan usai dilantik oleh Presiden Jokowi di Istana Negara, 16 Oktober 2017 lalu. Dalam orasi politiknya, Anies menyatakan: “Dulu kita semua pribumi, ditindas dan dikalahkan. Kini telah merdeka, kini saatnya kita jadi tuan rumah di negeri sendiri”.

Kenapa kata ini menjadi kata kontroversi dan bisa berbahaya? Ayo kita coba bedah! Kenapa ada muncul isu “pribumi” di Indonesia?

Sepengamatan saya, isu “pribumi” muncul di tengah masyarakat terjadi pada 2 kasus kejadian, yaitu: Pertama, Isu Pribumi keIndonesiaan, yaitu isu kesenjangan atau kecemburuan antara bangsa asli Indonesia dengan etnis pendatang baru seperti etnis Cina, Arab dan India yang cenderung dituding tidak jelas nasionalismenya. (Catatan: perlu diskusi khusus membahas tentang Indonesia asli dan pendatang).

Kedua, Isu Pribumi Daerah, yakni putra daerah atau penduduk setempat yang sudah lama menempati suatu daerah secara turun-temurun tetapi perekonomian dan atau kehidupan sosial-politiknya dikuasai oleh suku lain meski sesama bangsa Indonesia.
Seperti kecemburuan penduduk daerah kepada suku Jawa terjadi di Sumatera dan daerah lainnya atau kasus Sampit di Kalimantan dll.

Kecemburuan ini disebabkan ada yang berapa faktor yaitu antara lain : a) Kesenjangan ekonomi, b) Kesenjangan sosial dan c) Rasa nasionalisme sempit.

Memang tidak dipungkiri pada jaman Soerharto/Orba antara penduduk asli Indonesia dengan etnis pendatang terjadi ketimpangan yang tajam.

Di tengah masyarakat, etnis Tionghoa mendapat kejayaan dalam menguasai sektor perekonomian Indonesia. Dalam bisnis dan level managemen perusahaan diisi oleh etnis Tionghoa. Tak aneh etnis Tionghoa mendapat kemapanan ekonomi dan memiliki rumah-rumah elit dan gaya hidup yang mewah. Sementara kebanyakan penduduk asli Indonesia hidup kesusahan dan hanya para elit politik dan pejabat-pejabat korup yang bisa menandingi kemewahan hidup etnis Tionghoa.

Pertanyaannya, apakah kecemburuan ini lalu kita bersikap rasis? Memusuhi dan atau kemudian membasmi etnis Tionghoa seperti dilakukan Hitler membantai etnis Yahudi di Jerman? Menurut saya, itu sangat keliru sekali jika kita bersikap rasis. Tidak perlu cara rasis untuk menyelesaikan permasalahan ini.

Solusi

Pada intinya dari hasil pengamatan saya, muncul isu “pribumi” atau “nonpribumi” lebih kuat penyebabnya karena ketimpangan ekonomi dan kecemburuan sosial antara penduduk setempat dengan pendatang. Terutama di era rejim Soeharto.

Sejak tumbangnya Soeharto, ketimpangan ini sudah ada kesadaran bersama oleh segenap komponen bangsa Indonesia yang selama ini ditutup-tutupi. Maka salah-satu tujuan Reformasi lahir adalah untuk mengatasi ketimpangan ini mewujudkan pemerataan dan perlindungan sosial bagi rakyat Indonesia. Lalu dipilih Demokrasi Ekononi menjadi prinsip membangun perekonomian Indonesia selanjutnya.

Inpres No. 26 tahun 1998 menjadi roh dan semangat dalam membangun perekonomian bangsa Indonesia dan persamaan kedudukan WNI dalam hukum dan pemerintah. Persamaan hak atas pekerjaan dan penghidupan, Persamaan pemberian layanan perizinan usaha, keuangan/perbankan, kependudukan, pendidikan, kesehatan, kesempatan kerja dan penentuan gaji atau penghasilan dan hak-hak pekerja lainnya.

Diskriminasi atas perekonomian rakyat selama era rejim Soeharto mulai dihancurkan (perlu kajian mendalam). Sekarang tidak ada lagi memandang si-cina, si-pribumi, si-arab, si-bangsawan, si-proletar untuk mendapatkan kesempatan untuk membangun perekonomian bagi siapapun warga negara Indonesia.

Sistem dan budaya bernegara yang selama era Soeharto sangat membuka celah buat pejabat dan etnis tertentu untuk melakukan tindak korupsi, kolusi dan nepotisme sudah mulai dihancurkan. Akses ke perbankan pun sudah mulai dibuka bagi siapapun dan bank sudah berdiri ke pelosok-pelosok daerah. Kue ekononi sudah mulai disebarkan ke tengah masyarakat meski ada praktek-praktek culas dan masih bersifat konsumtif. Begitu juga tentang status sosial tidak ada lagi diskriminarif dan sudah terbuka bagi siapapun dimana seiring kemajuan jaman dan era keterbukaan terbentuk sekarang.

Namun demikian, dari sekian perubahan telah dilakukan di era reformasi tapi masih banyak kelemahannya. Selain ditambah dengan perilaku perpolitikan Indonesia yang banyak membuat kebijakan populis sehingga kesenjangan ekonomi dan sosial ini masih terasa dalam kehidupan masyarakat.

Pada pertemuan saya dengan Bapak Presiden Jokowi di Padang 6 Jui 2016, beliau mengatakan pada tahun 2017 dan seterusnya pemerintah akan fokus ke perekonomian rakyat untuk mengatasi kesenjangan terjadi selama ini setelah beliau mempersiapkan infrastruktur yang sedang berlangsung pengerjaannya. Tentunya perlu terobosan dan gerak cepat dari pemerintah untuk membangun kesejahteraan rakyat. Perlu ada daya tempur global untuk mengembangkan perekonomian rakyat.

Dari pengamatan saya ada beberapa program dibuat oleh pembantu Presiden yang masih datar-datar saja. Banyak program yang muncul sifatnya lips sevice, lemah daya ungkit dan tidak produktif. Masih banyak mengcopy-paste program lama yang sebenarnya gagal dan hanya menghamburkan uang (contoh: program KUBE). Program-program pengentasan kemiskinan cenderung berbau “politis” (bertujuan mendapat dukungan massa untuk pemilu/pilkada/pilpres).

Begitu juga saya amati Menteri Koperasi dan UMKM pun seperti miskin terobosan. Dalam pelaksanaan wewenang cenderung terlihat tumpang-tindih antara Menteri Sosial dengan Menkop & UKM serta menteri terkait lainnya. Contoh, seharusnya Mensos fokus menangani orang tidak mampu (tua jompo, orang cacat dan korban musibah) tetapi malah membuat program pemberdayaan ekonomi masyarakat yang seharusnya dilimpahkan pelaksanaannya ke Kementerian Koperasi & UKM).

Seharusnya bangsa ini harus jujur bahwa untuk mengatasi ketimpangan ekonomi ini mesti ada terobosan-terobosan luar biasa seperti kita melawan korupsi. Perlu ada cara-cara khusus dan lembaga khusus. Ini harus sepakat dulu!

Warisan ketimpangan sosial di era Soeharto begitu tinggi ini tidak cukup dengan jargon atau pendekatan basa-basi. Rakyat sudah jenuh. Kalau tidak, kecemburuan ekonomi berbau rasialis ini menjadi santapan empuk bagi tokoh-tokoh politik untuk memanfaatkan masyarakat untuk kepentingan politiknya yang bisa berakibat konflik horizontal di tengah masyarakat. Seperti terjadi pada spanduk raksasa yang provokatif terpampang di depan Balaikota DKI Jakarta di saat orasi politik Anies Baswedan usai dilantik sebagai Gubernur DKI berbunyi : “Kebangkitan Pribumi Muslim”

Berbahaya jika isu ini dimanfaatkan oleh pelaku politik untuk menyerang Jokowi yang sedang bekerja membenahi negara ini. Sebab syarat negara ini maju mesti infrastrukturnya tersedia dan pemerintah bermental pelayan; Berbahaya jika isu ini untuk merusak kerukunan bangsa Indonesia. Sebab syarat untuk membangun ekonomi rakyat itu mesti di negeri yang rukun damai; Berbahaya isu ini didiamkan seakan tidak ada terjadi. Sebab syarat negara harus jelas status warga negara rakyatnya.

“Ke depan kita tidak ada lagi kata pribumi dan nonpribumi. Semua etnis menjadi Warga Negara Indonesia adalah Bangsa Indonesia memiliki hak dan kewajiban yang sama.”

Penulis: Aznil, Presidium PENA ’98

Exit mobile version