OpiniTerbaru

Bahaya Aneksasi Cina Komunis (Bagian II)

Jika Ingin Jadi Negara Tangguh, Bumiputra Wajib Kuasai Sektor Kekuatan Indonesia
Direktur Eksekutif Center Institute of Strategic Studies (CISS) M. Dahrin La Ode. (Foto: Romandhon/NusantaraNews)

NUSANTARANEWS.CO – Sumber ketakadilan dapat dijelaskan dengan pendekatan suprastruktur politik. Adapun supratsruktur politik dimaksud ialah pertama, perubahan UUD 1945 pasal 6  ayat (1) semula berbunyi “Presiden dan Wakil Presiden ialah orang Indonesia asli” dirubah menjadi “…Warga Negara Indonesia…”. Kedua, Undang Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Undang Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

Ketiga, Impres Nomor 26 Tahun 1998 Tentang Larangan Penggunaan Istilah Pribumi dan Non Pribumi. Keempat, Undang Undang Nomor 40 Tahun 2008 Tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis. Kelima, Kepres Nomor 12 Tahun 2014 Tentang “Penggantian Istilah Cina menjadi Tiongkok dan Etnis Cina menjadi Etnis Tionghoa”.

Semua itu untuk melindungi ECI dalam statusnya sebagai pihak pengkhianat, eksklusivisme, arogan sebagai superior atas Pribumi dan Ummat Islam yang terkutuk dan terbenci.

Menurut para Filsuf Ilmu Sosial bahwa perdefinisi keadilan ialah “berikan apa kepada siapa sesuai haknya”. Hak hak apakah itu? Hak hak sipil  kepada masing-masing pihak”. Pemberi “apa” ialah tugas Pemerintah memberikan hak sipil kepada Pribumi dan Non Pribumi secara adil setelah ia mendapatkan legitimasi pengemban kedaulatan negara yang diperolehnya melalui pemilihan umum (Pemilu) untuk senantiasa tegaknya politik negara.

Baca Juga: Bahaya Aneksasi Cina Komunis (Bagian I)

Namun di Era Pemerintahan di Era Reformasi khususnya 4 (empat) tahun terakhir di Era Pemerintahan Jokowi, terjadi dengan sengaja ketakadilan bahwa Jokowi terbukti tak memberikan “apa” kepada Pribumi dan Non Pribumi yang sesuai hak hak sipilnya kepada masing masing pihak. Menurut temuan penelitian tentang asal mula terjadinya negara bahwa hak hak sipil Pribumi ialah Pribumi pendiri negara; Pribumi pemilik negara; Pribumi penguasa negara (Trilogi Peribumisme).

Baca Juga:  Serangan Fajar Coblosan Pemilu, AMI Laporkan Oknum Caleg Ke Bawaslu Jatim

Hak hak sipil Pribumi itulah yang harus diberikan oleh Jokowi kepada Pribumi. Dalam konteks Demokrasi, Presiden Jokowi sebagai pelayan rakyat (people servent)  atau “public servent” yang menjadi Boss Jokowi sebagai Presiden RI. Bukan sebaliknya dalam makna “saenake dhewe”! Realitas sosial politiknya bukan bergitu. Melainkan terjadi sebaliknya bahwa Jokowi memberikan Trilogi Pribumisme lebih banyak kepada Non Pribumi ECI dan Cina Komunis.

Di sinilah letak titik temu ketakadilan Jokowi kepada Pribumi. Karena Jokowi tak memberikan “apa kepada siapa sesuai hak” sipilnya. Non Pribumi ECI dan Cina Komunis sungguh tak berhak diberikan kekuasaan ekonomi, politik, sosial budaya, SDA, dan Geografi. Artinya menurut Ilmu Ketahanan Nasional, Asta Gatra Nasional, sudah lima Gatra yang berada dalam kuasa ECI dan Cina Komunis.

Dengan perkataan lain bahwa 5/8 kekuatan nasional atau National Power dalam istilah Hans J. Morgenthau telah dikuasai ECI dan Cina Komunis. Ini juga menjadi pembuka tabir bahwa Presiden Jokowi gagal membangun politik dalam negeri. Kasus pembantaian warga sipil oleh kelompok teroris Egianus Kogoya akibat ketakadilan Jokowi dalam menata politik dalam negeri.

Selama empat tahun terakhir, masih dalam tautannya dengan kegagalan Presiden Jokowi menata politik dalam negeri, kini Indonesia sudah pasti menjadi Negara Koloni Bangsa Bangsa. Artinya siapapun bisa menjadi pemimpin politik nasional asalkan ia telah menjadi warga negara Indonesia. Kalau ini yang diinginkan Jokowi sebagai Presiden RI, tentu Pribumi dan Ummat Islam tak perlu menuntut kemerdekaan karena untuk menjadi pemimpin politik di Indonesia cukup terdaftar sebagai warga negara Indonesia dan siap bersaing di dalam Pilpres dan Pilleg.

Baca Juga:  Tiga Kader PMII Layak Menduduki Posisi Pimpinan DPRD Sumenep

Di sini pula ditemukan kelemahan mendasar akal sehat Presiden Jokowi dalam menata politik dalam negeri khususnya antara Pribumi dengan Non Pribumi yang ternyata sangat jauh melenceng dari Trilogi Pribumisme. Sementara TNI/Polri dituntut untuk terus loyal dalam slogan NKRI Harga Mati. Di Era Jokowi NKRI Harga Mati sudah hampir tidak ada. Karena itu, slogan politik fundamental sudah berubah menjadi slogan kosong tanpa bobot.

Slogan NKRI Harga Mati ada jika Trilogi Pribumisme senantiasa tegak lurus dengan bobot makna berdaulat penuh dan berada pada Pribumi sesuai dengan konstitusi bahwa kedaulatan ada di tangan rakyat (Pribumi Nusantara Indonesia). Kini, bobot kedaulatan itu telah dibagikan Presiden Jokowi kepada ECI dan Cina Komunis secara cuma cuma. Pada hal menurut temuan penelitian “Titik Temu NKRI Harga Mati tepat berada pada Pribumi Nusantara Indonesia”.

Ini berarti bahwa bila seorang atau beberapa orang warga Pribumi teraniaya atau tersiksa atau menderita kemiskinan, pengangguran, kelaparan, dan lain seterusnya maka taruhan pembebasan kaum Pribumi ummat Islam dari semua hambatan serta gangguan sosial terhadap mereka adalah NKRI Harga Mati. Itu adalah tupoksi TNI dan Polri sebagai pembebasnya. Bukan kepada ECI dan Cina Komunis seperti yang sedang dikembangkan oleh Presiden Jokowi selama empat tahun terakhir ini.

Perjuangan Untuk Pribumi dan Ummat Islam

Seperti telah disinggung di depan bahwa yang paling ngotot untuk merdeka ialah Pribumi dan Ummat Islam. Sedangkan ECI dan Cina asyik berkolaborasi dengan Belanda menjajah bangsa Indonesia. Mirip pula dengan realitas sosial politik saat ini ECI dan Cina Komunis asyik berkolaborasi dengan Presiden Jokowi menjajah Pribumi dan Ummat Islam.

Pernyataan itu suka atau tidak suka; terima atau tidak terima seperti dikutip dari bahan Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra, SH ketika acara Pra Kongres Boemipoetra Nusantara Indonesia di Yogyakarta,  Pribumi dan Ummat Islam harus didahulukan dalam pembangunan politik dalam negeri. Dalam konteks kedaulatan negara, tak ada yang lebih penting dari pada Pribumi dan Ummat Islam untuk dibangun oleh Presiden Jokowi sebagai people servent atau public servent.

Sedangkan Non Pribumi ECI dan Cina Komunis tak memiliki hak hak sipil sebesar yang dimiliki oleh Pribumi dan Ummat Islam. Dalam kontekstual itu bobot Non Pribumi ECI dan Cina Komunis sesungguhnya bagai buih di atas air laut. Namun karena Non Pribumi ECI dan Cina Komunis berhasil memanipulasi status hak hak sipilnya dan mungkin di luar kesadaran Presiden Jokowi, lantas mereka berhasil menekan hak hak sipil Pribumi hingga ke tingkat terendah.

Baca Juga:  Dewan Kehormatan yang Nir Kehormatan

Fakta sosial ekonomi bisa diperlihatkan selama empat tahun terakhir, bahwa bantuan kredit Bank bank Swasta dan Bank bank Pemerintah cuna menyalurkan kredit kepada UMKM sebesar antara 03-2 atau 3% pertahun. Selebihnya disalurkan kepada pengusaha ECI yang sedang berstatus pengkhianat terhadap NKRI.

Di sinilah titik awal perjuangan Pribumi dan Ummat Islam untuk mengambil alih semua hak hak sipilnya yang telah diberikan oleh Pemerintahan Jokowi kepada ECI dan Cina Komunis dalam rangka mencapai tujuannya semula mendirikan negara yakni Bonnum Publicum (Kemakmuran Umum) atau dalam bahasa Yunani Kuno “En Dam Onia” atau dalam bahasa Inggris dikenal “The Good Life” atau dalam filsafat Jawa Kuno dikenal “Toto Tentrem Kerto Raharjo Gemah Ripah Loh Jinawi”. 

*M.Dahrin La Ode, Penulis adalah Direktur Executive CISS.

Related Posts

1 of 3,059