NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Bila kita menyimak sila-sila pada Pancasila, tentunya kita semua sepakat bahwa Politik Sandera tidak sesuai dengan nilai-nilai Pancasila. Jelas tidak ada satu sila-pun yang cocok dan pas bila dikaitkan dengan Politik Sandera. Tapi mengapa hal tersebut bisa terjadi dalam sistem penyelenggaraan pemeritahan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Jawabannya ada di Legislatif yang dihuni oleh Partai Politik dan Eksekutif sebagai penyelengara pemerintahan.
Benarkah komitmen DPR untuk melakukan check and balances hanya di bibir saja. Mari kita lihat sampai sejauh mana fungsi pengawasan yang sudah dijalankan oleh DPR terhadap pemerintah sampai hari ini. Apakah pemerintah dalam melaksanakan tugasnya sudah sesuai dengan aturan peraturan perundang-undangan? Apakah pemerintah sudah berpihak pada kepentingan kesejahteraan rakyat? Apakah pemerintah sudah melaksanakan hak budget dengan maksimal dan efisien?
Sekarang mari coba kita perhatikan pemerintahan Presiden Jokowi dalam masa 2,5 tahun pemerintahannya – di mana pemerintah telah berhutang sebesar Rp. 1.067 triliun. Bila kita akumulasi, maka hutang pemerintah hari ini berjumlah Rp. 3.667,4 triliun. Bandingkan dengan jumlah total hutang Indonesia sebelum Pilpres 2014.
Lalu bagaimana dengan ide menggunakan dana haji untuk membiayai pembangunan infrastruktur. Juga bagaimana sikap DPR merespons statemen Menkeu Sri Mulyani, “pilih utang atau gaji PNS dipotong”. Terus bagaimana bisa Bank BUMN disuruh berhutang ke Cina untuk pembangunan transportasi kereta api Jakarta-Bandung yang mengakibatkan CAR dan NPL bank tersebut menjadi babak belur – yang berisiko Bank BUMN tersebut menjadi milik Cina bila pemerintah gagal bayar hutang.
Baca: Politik Sandera Kini Telah Menjadi Tren Elite Politik Indonesia
Iklim partai politik pun tidak kondusif. Beberapa partai terlihat dikelola seperti suatu badan usaha atau yayasan keluarga – bahkan ada yang menyebutkan seperti Kerajaan. Ada istilah The Rising Stars tapi maksudnya Putra Mahkota. Menjadi Ketua Umum secapeknya. Kalau belum capek ya jadi Ketum terus. Padahal partai-partai inilah yang melahirkan calon-calon pemimpin bangsa.
Karena Undang-Undang kita menyatakan bahwa Capres dan Cawapres diusulkan oleh Partai Politik, berarti tidak boleh ada calon dari independen. Yang boleh independen hanya untuk mencalonkan Gubernur/Wagub, Bupati/Wabup, dan Wako/Wawako.
Yang lebih ironi lagi adalah partai-partai papan bawah setuju Presidential threshold 20% dalam UU Pemilu yang baru. Hal ini bermakna bahwa partai kecil rela menyerahkan haknya untuk mencalonkan kandidat Presiden/Wapres kepada partai besar saja. Apakah ini bentuk dari mental inferior, atau karena kesadaran politik yang tinggi dan tahu diri, atau sudah tersandera. Dugaan saya ya sudah campuraduklah semuanya. Sudah terjadi transaksional yang saling menguntungkan antar elite mereka.
Jadi wajar saja bila beberapa partai politik saat ini menjadikan partainya sebagai lapangan pekerjaan dan sumber kehidupan, bukan lagi untuk memperjuangkan nilai-nilai idealisme sebagai bangsa terhormat sesuai perintah pembukaan UUD 1945. Maka janganlah kita berharap banyak kepada mereka untuk memikirkan rakyat atau konstituennya bila tidak ingin kecewa. Mungkin dalam hati mereka mengatakan, “ah nanti menjelang Pemilu tabur saja rejeki, sembako, bansos, bangun masjid, gereja, beri bantuan alat olah raga, buat hiburan dangdut selesai urusan.” Bila benar demikian, maka sungguh kita ini telah berada pada tingkat pemikiran pragmatis dan instans yang sudah mencapai puncak ubun-ubun.
Lihat saja apa yang terjadi pada partai baru Perindo yang pada Pilkada DKI lalu mendukung Anis-Sandi, yang diharapkan oleh banyak pihak dapat melakukan check and balances terhadap pemerintah. Ketuanya HT, tiba-tiba terkena kasus SMS yang dituduhkan mengancam Jaksa yang mengusut kasus bisnis, dan dijadikan tersangka.
Setelah diperiksa Bareskrim berjam-jam, antiklimaksnya tiba-tiba Sekjen Perindo mengumumkan bahwa Perindo akan mendukung Jokowi sebagai Calon Presiden dalam rakernasnya beberapa bulan mendatang. Apakah dengan sikap partai seperti itu lalu HT bebas dari jerat hukum yang mengancam? Mari kita tunggu saja.
Kelemahan Partai Politik di Indonesia, menurut hemat saya terletak pada lemahnya integritas dan komitmennya terhadap kepentingan bangsa dan Rakyat Indonesia. Sehingga Agama Politik di Indonesia itu adalah “kepentingan”. Bukan nilai-nilai kebenaran.
Nilai kebenaran itu biarlah tinggal di bangku kuliah, di pesantren, dan tidak perlu dibawa dalam ranah kehidupan politik. Ironisnya, kultur Politik seperti inilah yang kemudian melahirkan para pemimpin bangsa. Yang melahirkan calon-calon Presiden, melahirkan anggota DPR, DPRD dan yang mengisi jabatan Menteri dan Lembaga Negara. Lalu kita mau berharap apa dalam kondisi seperti itu bila politik sandera telah menjadi candu di negeri Pancasila. Kalaupun mau memperbaiki, dari mana memulainya?
Jawaban singkatnya adalah mari kita perbaiki pada Pemilu 2019 mendatang, dengan memilih calon-calon yang beriman kepada Allah SWT, berintegritas, dan berkomitmen untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat Indonesia pada Pemilihan anggota legislatif maupun pemilihan Presiden/Wakil Presiden, dengan cara mencermati rekam jejak calon-calon yang diusung Partai Politik.
Penulis: Chazali H. Situmorang, Pemerhati Masalah Kebijakan Publik Universitas Nasional
Editor: Eriec Dieda