Politik Sandera Kini Telah Menjadi Tren Elite Politik Indonesia

Presiden Jokowi menjamu Ketum Golkar Setya Novanto. (Foto: Viva/Moh Nadlir/Ilustrasi)

Presiden Jokowi menjamu Ketum Golkar Setya Novanto. (Foto: Viva/Moh Nadlir/Ilustrasi)

NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Politik sandera bukanlah istilah yang baru dikenal di Indonesia. Istilah ini sudah tidak asing di kalangan para aktivis pergerakan dan pengrajin politik. Bahkan, istilah politik sandera sudah ada sejak dulu. Hanya level permainanannya saja yang patut dicermati, demikian ujar pengamat kebijakan publik Chazali H. Situmorang.
Menurut pengamat kebijakan publik Universitas Nasional ini, secara umum, politik sandera tujuannya adalah untuk melemahkan lawan. Politik sandera ini biasa digunakan oleh penguasa untuk menjinakkan penentangnya. Tujuannya jelas, agar penentangnya terpaksa mengikuti sesuatu yang diinginkan si penyendera. Sehingga terjadilah “barter” atau yang belakangan ini lebih dikenal dengan istilah “transaksional”. Meski tindakan penyanderaan itu berkonotasi negatif, kejam, dan menghalalkan segala cara, serta memaksakan kehendak dengan ancaman – namun politik “transaksional” kini telah menjadi trend di kancah politik nasional kita.
“Contohnya dapat kita lihat dengan jelas pada peristiwa PPP. Di mana Ketua Umum PPP Muhammad Romahurmuziy (Romi) dalam pidato politiknya pada Musyawarah Kerja Nasional (Mukernas) PPP di Hotel Mercure Ancol, Jakarta Utara, 21 Juli 2017 menyatakan bahwa ‘PPP adalah Jokowi dan Jokowi adalah PPP’.
Baca: Mencermati Runtuhnya Pax Americana
Di balik pernyataan Romy itu pasti ada sebab, salah satu yang kasat mata adalah ikut campurnya pemerintah melalui tangan Menkumham menyelamatkan Romy dari ‘pertempurannya’ dengan Djan Farid. Hasilnya, dalam putaran kedua Pilkada DKI, PPP mendukung Ahok. Padahal, semboyan PPP adalah Rumah Besar Umat Islam dan berlambang Ka’bah pula. Mencermati peristiwa PPP tersebut, Chazali berkomentar “Ada baiknya PPP berganti lambang saja, karena akan menganggu kesucian Ka’bah sebagai rumah Allah,” ujarnya, Rabu (9/8).
Setali tiga uang dengan Golkar. Menurut Chazali, hanya Golkar sendiri yang tahu apakah telah terjadi politik barter (transaksional) dengan penguasa, termasuk PAN, yang belakangan terkesan mulai berseberangan dengan kubu pemerintah.
Baca: Naiknya Tito Karnavian Sebagai Tanda Bangkitnya Rezim Baru
Menurut Chazali, Golkar juga sebenarnya sudah tersandera terkait dengan dualisme kepengurusan. Dan ketika berhasil diselesaikan oleh pemerintah dengan mengangkat Setya Novanto sebagai Ketua Umum Golkar. “Balasannya juga luar biasa dengan call tinggi mengusulkan Jokowi menjadi Capres tahun 2019, yang membuat partai lain kelabakan termasuk PDIP,” ujarnya lebih lanjut.
Chazali juga melihat bahwa “call tinggi” Setnov dan kepatuhan gerbong pengurus Golkar kemudian mendapat balasan setimpal dengan memuluskan jalan Setnov menjadi Ketua DPR kembali. Sehingga boleh dibilang Golkar kini telah masuk ‘perangkap’ permainan politk transaksional pada level tinggi, jelasnya.
Baca juga: Implementasi Pancasila dalam Berbagai Aspek Kehidupan Politik dan Ekonomi
Demikian pula ketika KPK menjadikan Setnov sebagai tersangka dalam kasus e-KTP yang tidak mungkin dicabut status tersangkanya – di mana Setnov harus menjalani Pengadilan – tapi hebatnya pengurus Golkar tidak panik. Bahkan dalam rapat pleno mereka kompak menyatakan bahwa Setnov tetap ketua umum, dan diamini dalam rapat dewan pakar, dan pewan pembina Golkar.
“Namun kita tidak tahu sampai kapan sikap pemerintah dapat dipastikan sejalan dengan kepentingannya. Sekali lagi, yang jelas Golkar sudah tersandera. Ada yang memprediksi bahwa jika Golkar keluar dari koalisi pemerintah maka Golkar akan menjadi abu. Sedangkan jika bertahan seperti sekarang ini, akan menjadi debu. Tapi saya sendiri tidak sependapat dengan analisis tersebut, terlalu berlebihan,” ujar Chazali. Yang jelas, kata dia, politik sandera tidak sesuai dengan nilai-nilai Pancasila. (ed)
Editor: Eriec Dieda
Exit mobile version